Tulisan ini sebenarnya direncanakan untuk
ditulis dan segera terbit di awal tahun kemarin pasca diskusi saya dengan
Defri, mantan Depim MPA beberapa periode yang lalu. Di antara pembahasan kami
kala itu adalah evaluasi manajemen keuangan yang belum ada perkembangan sejak
kami sama-sama menjabat.
Untuk pembaca yang baru heboh tentang kasus 90 juta
kemarin, penulis ingin sampaikan bahwasanya problematika keuangan sudah menjadi
agenda tahunan kita. Jadi tidak perlu kaget. Sebelum ini, kita juga pernah
menghadapi masalah 40 ribu pound yang ‘digunakan nongkrong’ meski sebenarnya
tidak sesederhana itu. Sebelumnya lagi, ada 2525 USD yang diambil dari uang
mediator untuk PPMI namun malah ‘nyasar’ untuk biaya pernikahan. Ada juga kasus
penggelapan dana sisa panitia untuk alasan ‘kultural’. Jauh sebelumnya, ada
juga mismanajemen badan usaha yang akhirnya tidak menghasilkan keuntungan
signifikan setelah sekian tahun.
Belum lagi hal-hal yang sedikit lebih kecil
namun umumnya luput dari pengawasan kita, atau khususnya legislatif. Seperti
nota palsu; anggaran dicairkan namun inventaris yang dibeli tidak ada wujudnya;
uang yang dipinjam namun hilang dalam catatan semasa pergantian pengurus sebab
tidak ada surat resmi. Ya kurang lebih itu lah gambaran kondisi buruknya
manajemen keuangan organisasi induk kita. Ini belum membahas kerugian sebab
mismanajemen eksekutif dalam mengeksekusi program kerja, dana operasionalnya,
konsep keadilan manajemen keuangan sebagaimana yang dibahas di GBHO PPMI Mesir.
Ini juga belum membahas tentang ‘Dana Mati’ dan aset-aset yang entah bagaimana
kondisinya saat ini (seperti mobil dan vespa).
Sebagai esensi dari tulisan ini, penulis hendak
menyampaikan pesan kepada legislatif untuk melaksanakan beberapa target GBHO
yang tertunda. Target yang seharusnya sudah diselesaikan, setidaknya akhir
termin ini. Juga target untuk dua tahun ke depan yang bisa disegerakan. Sebab
apa makna dua tahun lalu kita melakukan riset panjang, menyusun strategi, dan
target yang disahkan dalam sebuah sidang ‘mahal’ namun hanya untuk formalitas
belaka. Namun apabila demikian, penulis tidak kaget sebab kita adalah miniatur
Indonesia. Data memang bukan prioritas pengambilan kebijakan. Tapi mari kita
lihat bersama bagaimana semua ini akan bermuara.
Pertama, rumuskan dan tetapkan Undang-Undang
Keuangan. UU ini akan mengatur segala kebijakan keuangan yang tersebar dari
uang masuk, berputar, hingga keluar dari bendahara kita. Termasuk hak dan
kewajiban seluruh pihak yang terlibat. UU ini akan menjadi landasan kebijakan
jangka pendek dan jangka panjang organisasi ke depannya. Di antara pembahasan
yang bisa dimasukkan adalah alokasi atau limitasi minimum 20% anggaran untuk
bidang pendidikan, sebagaimana yang sudah disampaikan di GBHO Bidang Pendidikan
dan Keilmuan.
Kedua, menyusun buku panduan keuangan
organisasi. Buku panduan ini akan membahas tentang teknis manajemen keuangan
seperti pengajuan, pencarian, urusan hutang piutang, mata uang (sebab keuangan
kita terpisah jadi tiga mata uang; Rupiah, Pound, dan Dollar), manajemen
rekening lembaga (seperti yang sedang ramai), hingga hal-hal kecil seperti
laporan nota pelaksanaan kepanitiaan. Buku ini akan menjadi ‘syarah’ dari UU
yang disusun sebelumnya.
Ketiga, tekan eksekutif untuk mengaktifkan
badan usaha meski itu kecil. Badan usaha di mata organisasi induk, sepertinya
selalu dianggap harus sebuah bisnis besar, ‘return’ nya harus besar dan
terlihat nyata. Padahal tidak harus, hal-hal kecil dapat dijadikan proses lahir
kembalinya badan usaha ini. Belajarlah dari senat mahasiswa yang berproses.
Badan usaha yang dahulu hanya mengelola perputaran tidak jauh dari beberapa ribu
pound, sekarang sudah bisa menghasilkan puluhan ribu pound. Bahkan bisa membuat
senat mandiri secara finansial tanpa bantuan dari organisasi induk. Atau Wihdah
yang bisa mendanai sekretariat barunya sendiri.
Keempat, perketat seleksi pengesahan anggaran
baik untuk tupoksi organisasi dan program kerja. Pelajari lagi skala prioritas
yang sudah ditetapkan agar dana yang ada dapat digunakan seefektif, efisien,
dan sestrategis mungkin. Legislatif tentunya memiliki kuasa untuk membekukan
anggaran yang disahkan sebab kondisi-kondisi tertentu. Apalagi apabila
alokasinya hanya untuk hal-hal seremonial yang tidak sesuai dengan target
jangka panjang kita. Mari kita cukupkan program kerja berlandaskan ego pengurus
di berbagai jenjang itu.
Kelima, kaji ulang keadilan manajemen keuangan
yang ada di dalam organisasi kita, bahkan apa-apa yang sudah tertulis dalam UU
sebelumnya dapat dikaji ulang relevansinya. Tidak semua peraturan yang sudah
ditetapkan sebelumnya, akan relevan hari ini. Itulah fungsinya sidang perubahan
ada untuk AD ART dan UU organisasi. Sebab relevansinya perlu dikaji ulang.
Apa saja yang perlu dikaji ulang dalam konteks
keuangan; penulis akan bantu sebagaimana catatan yang menjadi evaluasi kala
meriset problematika untuk GBHO kala itu. Blockgrant untuk Lembaga
Otonom, mengapa terjadi inkonsistensi alokasi blockgrant untuk
kekeluargaan misalnya. Atau menetapkan nominal wajib iuran Temus yang selama
ini belum ditetapkan. Padahal denda-dendanya ditetapkan, bahkan dalam mata uang
Dollar.
Atau mengkaji ulang jatah Temus untuk (ketua)
senat, atau sekedar kecipratan hasilnya juga bisa. Atau juga anggaran kabinet
mahasiswa baru yang dibentuk organsisasi induk, dituntut bergerak dan
menyatukan angkatan, namun tidak diberikan anggaran untuk bergerak. Padahal di
tahun yang sama, mereka lah penyumbang dana masuk ke organisasi induknya Banyak
hal yang perlu dikaji ulang.
Keenam, kaji ulang hak, kewajiban, hingga
konsekuensi-konsekuensi yang berhubungan dengan transparansi dan akuntabilitas
keuangan sampai level terbawah. Sesederana berapa alokasi sisa anggaran yang
etis digunakan untuk tasyakuran panitia. Apakah boleh sedemikian besar hingga
bisa mengakomodir rihlah panitia, atau cukup makan-makan. Tentunya akan
kembali ke seberapa kompleksitias acara dan besarnya pendanaan kan, namun tetap
saja perlu ada aturan yang mengikat. Sebab sebelumnya ada pernah ada panitia
yang mengklaim seluruh sisa anggaran acara. Dulu.
Ketujuh, untuk mengakomodir berbagai tugas yang
diemban baik tupoksi berjalan juga tuntutan seperti di atas, susunlah Tim Ad
Hoc. Berhenti berfikir bahwasanya kalian bisa melakukannya sendiri. Kalian
punya banyak orang yang bisa membantu menyelesaikan permasalahan ini satu per
satu. Susun tim, berikan segala akses dan kebutuhan yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugas ini. Sebagaimana yang dilakukan legislatif terdahulu.
Kurang lebih itulah enam hal yang penulis ingin
sampaikan sebagai surat terbuka pada legislatif menjabat. Penulis sebenarnya
sudah tidak banyak memperhatikan proses organisasi dan detail pelaksanaan serta
langkah-langkah yang diambil. Namun tetap saja, garis besar kondisi selalu
menjadi informasi bersama di kedai kopi sisi jalan Hay Asyir itu.
Manajemen keuangan organisasi induk memang lah
tidak mudah. Bagaimana perputaran dana yang nyaris mencapai 1 Miliar rupiah itu
menjadi dinamika tarik ulur politik, menjadi motor pergerakan, dan sumber
konflik berkepanjangan.
Terakhir, mari legislatif untuk kembali
merenungkan pepatah lama dan pesan-pesan guru-guru kita. Easy come easy go.
Utamakan kebutuhan, bukan keinginan. Besar pasak daripada tiang. “Administrasi
yang rapi wajib mutlak untuk menjaga kepercayaan.”
0 Komentar