Bismillahirrahmanirrahim
Menjadi seorang mahasiswa; bertransisi dari ayunan emosi keremajaan menuju kedewasaan yang penuh dengan tanggung jawab. Bertahun-tahun mengenyam pendidikan dasar dan menengah bermuara pada titik ini. Sebelumnya, seorang anak mengikuti keputusan orang tuanya dalam urusan apa pun. Tapi tidak dengan mahasiswa, terutama di Indonesia. Umumnya, mereka sudah dipercaya untuk merancang masa depannya sendiri. Mereka pun akan menanggung konsekuensi dari pilihan itu. Bisa dianggap, itu adalah tantangan pertama dalam ujian kedewasaan.
Tidak heran apabila kemudian banyak mahasiswa yang menjatuhakan pilihannya pada sesuatu yang menantang. Merantau, pergi jauh dari kampung halaman untuk menjelajahi hal-hal baru. Masih banyak daratan yang belum terinjak, masih banyak pengalaman yang menunggu untuk diungkap. Orang-orang dewasa pemula ini bertekad untuk keluar dari zona nyaman, kendati harus hidup jauh dari orang tua. Hal ini didukung data dari UNESCO pada tahun 2024 yang menyebutkan bahwa Indonesia memiliki hampir 60 ribu mahasiswa di luar negeri – terbanyak kedua di ASEAN. Dengan penuh pertimbangan, mereka memilih untuk berpisah dengan orang tua yang selama ini menasehati, membantu mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah, serta membahagiakan mereka.
Akan selalu ada dua sisi dari setiap cerita perantauan, sisi yang meninggalkan dan yang ditinggal. Dalam hal mahasiswa perantau, di sisi pertama ada orang tua yang telah mendidik dan membesarkan anaknya hingga dewasa. Memercayakan seorang anak untuk merantau tentu berat. Besar harapan orang tua bahwa anaknya dapat tumbuh mandiri dan sukses di masa depan. Di sisi lain ada pemuda yang walau berbekal pengalaman seluas lautan dari masa sekolah, tak lebih dari sebuah gelas kosong di hadapan tantangan baru kehidupan mahasiswa. Ikan yang lincah berenang, tapi belum pernah bermain di kawasan para nelayan. Dengan begitu, apakah mahasiswa perantau single-player dalam perantauan atau masihkah mereka di dalam naungan pendidikan orang tua?
Jarak yang jauh bukan sebuah masalah bagi orang tua untuk mendidik anaknya. Tak hanya berperan dalam memberikan ilmu kehidupan dan membantu kesehatan emosional, orang tua juga memainkan peran yang penting di balik pencapaian akademis mahasiswa. Harvard Family Research Project menyampaikan bahwa keterlibatan keluarga dalam pendidikan berhubungan erat dengan tingginya prestasi dan meningkatnya kemungkinan menamatkan pendidikan. Hal ini diperkuat dengan hasil sebuah penelitian dari Universitas Paramadina yang mengungkapkan bahwa 91,7% dari responden menyatakan bahwa orang tua memiliki keterlibatan dalam pendidikan mereka. Di samping itu, manfaat yang paling sering dirasakan oleh mahasiswa dari orang tua adalah semangat kuliah, seperti semangat menyelesaikan pendidikan dan semangat menyelesaikan skripsi.
Peran orang tua dalam mendidik mahasiswa tentu tidak terbatas pada menunjang performa akademis. Mahasiswa yang masih belajar untuk dewasa dan hidup mandiri membutuhkan arahan dan pertimbangan dari orang tua dalam pengambilan keputusan. Keputusan yang bisa terkait dengan pendidikan, memilih kegiatan, tempat tinggal, atau hal-hal lainnya. Patricia Noller, seorang Emeritus Professor dari The University of Queensland, menyampaikan dalam bukunya Communication in Family Relationships, bahwa pemuda lebih sering menceritakan perihal pendidikan dan kebutuhan kepada orang tua. Dia menambahkan bahwa pengambilan keputusan merupakan kegiatan yang sentral dalam keluarga. Maka diperlukan sebuah dialog antara mahasiswa dan orang tuanya, sehingga mahasiswa mendapatkan saran, nasihat, dan menemukan alternatif-alternatif yang sesuai dengan kebutuhan.
Dinamika kehidupan di perantauan juga tidak akan terlepas dari masalah-masalah. Susan L. Prieto-Welch, seorang psikolog klinis, yang meneliti tentang kesehatan mental pada mahasiswa internasional mendapatkan bahwa sebagian besar masalah yang menimpa mereka adalah terkait akulturasi dan sumber stres lainnya. Mahasiswa perlu beradaptasi dengan budaya dan bahasa setempat, memahami sistem pendidikan yang seringkali berbeda, dan kehilangan lingkaran sosial yang biasa membersamainya semasa di rumah. Maka orang tua dan keluarga menjadi pelipur dan penawar bagi hati anak-anaknya, dan ini terwujud dengan adanya komunikasi yang baik antara mereka. Fethullah Gulen, seorang cendekiawan dan aktivis asal Turki, menjelaskan dalam bukunya Dari Benih ke Pohon Cedar bahwa anak akan jatuh dalam pengaruh yang buruk apabila orang tua tidak terlibat secara konstruktif dalam pendidikan mereka. Maka intervensi positif dari orang tua harus ada meskipun anak sedang merantau jauh dari mereka.
Lebih dari sekedar fasilitator, motivator, dan problem solver, keluarga menjadi sumber kebahagiaan dengan ikatan batinnya yang sangat erat. Bahkan, penelitan dari Fakultas Psikologi South China Normal University memaparkan bahwa keluarga adalah faktor yang memilki pengaruh terbesar terhadap kebahagiaan, di mana 96.9% menganggapnya sebagai sumber kebahagiaan, diikuti oleh kesehatan, teman-teman, dan lain sebagainya. Di antara segala deadline yang perlu dikejar, rapat yang perlu dihadiri dan pelajaran yang belum dipahami, mahasiswa perantau masih memiliki keluarga sebagai tempat kembali.
Pendidikan orang tua adalah air yang menumbuhkan pokok dari biji hingga menjulang tinggi. Menumbuhkan akar-akar yang kuat, kayu yang bermanfaat, dan buah nan lezat. Di mana pun seorang anak itu pergi merantau, dia takkan lepas dari didikan orang tuanya. Di samping membantu anak secara akademis, orang tua merupakan support system yang tidak pernah bosan membantu dan sumber kebahagiaan yang selalu setia. Hendaknya para mahasiswa perantau menjalin hubungan yang baik dengan orang tua, selalu menjaga komunikasi, dan berusaha membanggakan serta mendoakan mereka.
0 Komentar