Kemarin siang, penulis iseng mengajak salah
seorang sahabat seangkatan keberangkatan, Rahmat Saleh, untuk menemani sarapan
menjelang zuhur. Penulis masih anggap ini sarapan sebab meski sudah jam makan
siang, tetap saja pembukaan untuk lambung kosong ini. Sejenak kami berdiskusi,
mau makan apa dan dimana. Langkah mengarah ke jalan Khodrowy-Aslan, belum
sampai Juwaini kami sudah melewati empat matham yang buka. Kebingungan
sebab hendak pilih yang mana, semuanya buka, semua sajian terlihat enak. Pada
akhirnya, kami kembali ke titik pilihan pertama, Matham Husein.
Usai makan, kami berbincang tentang sudah berapa lama kami berada di Mesir dan bagaimana matham ini menjadi matham pertama penulis ketika pekan pertama menginjakkan kaki di Mesir ini. Obrolan menjadi semakin seru ketika kami bernostalgia tentang dinamika permathaman masisir ini. Seketika penulis tertarik untuk menjadikannya esai tentang kisah-kisah yang jarang ditulis para talib di sini. Lagian, untuk apa seorang talib menulis tentang matham? Tapi demikianlah catatan ini bermula.
Jujur, penulis pertama kali datang ke Mesir
pada akhir 2018. Kala DL masih di Mesir dan banyak hal masih belum seperti
sekarang. Kala itu, matham yang populer di Masisir Darrasah hanya 3. Matham
Husein di dekat Khadrawy tadi, Pantura Resto di dekat Sahah, dan Dapurindo (terakhir
ganti nama jadi Warmindo). Lalu Matham Kinanah dan Sahara Resto di
Gamaliya. Untuk Hay Sabi, hanya ada opsi Surabaya Resto. Apabila menambahkan
regional Asia Tenggara, paling hanya bertambah Nile Resto dan Hotrock (meski
penulis ragu mengategorikannya sebagai matham). Ada pun GH Corner, lebih
populer sebagai patokan daripada matham.
Lalu apabila di Asyir; opsi lebih banyak. Matham
Sedulur dan 22 di Bawabat, RM Kita di Gami, Ibing, ILC, dan Mie Aceh Pak Aji di
Musallas, dan Bakso Galaxy tentunya di akhir Asyir. Oh ya, dulu ada juga Samawa
di pinggir jalan, dekat jembatan penyeberangan Asyir sekarang. Ayam Geprek
Mubarok juga menjadi alternatif untuk opsi harga yang lebih terjangkau.
Pantura juga buka cabang di kantin DL, ya, Markaz Syaikh Zayed. DL angkatan penulis, jajan di kantin itu ada opsi ayam krispi dan balado. Untuk spesialis mie ayam, hadir terlebih dahulu Mie Ayam Bintan, baru Mang Ana. Untuk soto, penulis memiliki satu tempat favorit yakni Soto Banjar Warung Sekumpul khas Kalimantan. Sedangkan masakan padang tentunya Kinanah dan Djameans (baru muncul mid 2019).
Sedangkan Mie Aceh, dulu ada matham mie
aceh di simpang X yang penulis lupa namanya. Namun akhirnya pindah dan berubah
nama yang sekarang disebut Nabawi. Ada juga Cairo Resto tadi, yang akhirnya
tutup. Namun penulis dengar, kokinya pindah ke Kembara Sufi.
Kala itu, matham indo benar-benar
menjadi suatu hal yang mahal bagi masisir. Kalau bukan benar-benar butuh atau
kondisi keuangan yang aman, sepertinya akan lebih memilih pergi ke matham
Mesir saja. Toh isy dan kusyari lebih terjangkau. Bagaimana tidak, kala itu,
seporsi nasi ayam paling tidak seharga 22-25 Le sedangkan seporsi kusyari tidak
lebih dari 12 Le. Apalagi isy dynamit paling mahal 8 Le. Oh ya kala itu, nasi
goreng terbaik hanya tersedia di Cairo Resto. Lokasinya sekarang Podomoro.
Matham juga jadi salah satu pilar penyangga
eksistensi acara, kegiatan, dan dinamika organisasi. Sebab proposal sudah pasti
akan dilarikan ke matham, opsi selain travel dan bagasi. Kala itu juga matham
hanya beroperasi pukul 1 siang paling cepat hingga 11 malam, bahkan ada yang
tutup lebih cepat. Tidak ada yang namanya sarapan.
Setidaknya berjalan hingga 2019 akhir – awal 2020 sebelum pandemi menyerang. Pandemi di awal Maret 2020 benar-benar mengubah dunia, termasuk dunia cita rasa masisir. Kala semua pintu harus ditutup, pertemuan dilarang, segala rencana agenda di semua jenjang dipaksa berhenti.
Tentu matham terpaksa menghentikan operasionalnya, meski di beberapa matham seperti Sahara 2 (berada di gang tembusan Simpang X ke Maulana) tetap beroperasi secara sembunyi-sembunyi. Oh ya, pandemi itu juga yang menghadirkan tren baru yakni ayam geprek tausil. Sebelum pandemi, sebagian besar matham hanya menyediakan makan di tempat dan tidak menyediakan opsi tausil. Kita tidak mengenal opsi itu sebelumnya. Mau makan masakan indo, ya, ke matham.
Kehadiran ayam geprek tausil ini juga
cukup menggemparkan sebab harga yang disajikan sangat terjangkau. Di tengah
opsi masakan ayam seharga 22-25Le dan hanya bisa makan di tempat, belum lagi
kondisi pandemi yang tidak semua matham beroperasi optimal. Ayam geprek tausil
ini hadir dengan harga 13 Le, free tausil. Tentu volumenya setengah dari
sajian ayam biasanya, namun apalah kondisi pandemi yang dipaksa harus berhemat
sana-sini. Ayam geprek dan opsi tausil ini menjadi tren. Hingga akhirnya
muncul beberapa brand ayam geprek tausil lainnya, dengan harga yang
bersaing, varian rasa yang juga beraneka ragam. Sesederhana opsi sambal yang
bisa custom; sambal merah, hijau, atau pelangi (campur). Favorit penulis kala
itu, ayam karege.
Di kala pandemi itu juga, pertama kali ada
Gargir Resto di Hay Sabi yang mempopulerkan ayam dengan bumbu ala richeese.
Ayam krispi dengan lumuran saus pedas, dan cocolan saus keju. Tentunya tidak
sehebat Richeese di Indonesia, tapi terbaik dan satu-satunya di Masisir. Kala
pandemi hanya tersedia tausil, dan mulai membuka restonya di area Mahkamah.
Sarapan juga kala pandemi, kalau tidak salah
Setia Budi yang memulainya. Dimulai dari tausil nasi uduk andalan Ridwan
Setiabudi. Sekarang sudah ada mathamnya malah. Ada juga inovasi baru
yang hadir kala itu adalah Kisah Kita; Eat and Play yang mempopulerkan Rice
Bowl dan beberapa dessert ala café. Kisah Kita sendiri sebenarnya sekitar awal
februari, tepat sebelum pandemi.
Beranjak ke era pasca pandemi, setiap distrik
secara merata matham-matham baru mulai bermunculan dan beberapa
berpindah. Beberapa juga tutup dan berpindah kepemilikan. Kala itu yang
teringat adalah dibukanya Kembara Sufi di belakang Gami, sekarang berubah nama
menjadi Indera Mahkota. Merupakan mie aceh dan nasi goreng terbaik versi selera
penulis. Di kala ini juga hadir Bee Kuliner spesialis masakan Indonesia Timur. Kualitas
Konro-nya gokil si.
Sedikit lebih dekat ke hari ini, setidaknya
sejak 2022 tren baru yakni model prasmanan ala warteg mulai bertumbuh. Meski
pencetus awalnya seingat penulis adalah Warmindo di dekat sekretariat FSI.
Sekarang, sudah banyak matham model prasmanan apalagi di penjuru
Darrasah.
Tiga titik paling dinamis tentunya di Darbul
Ahmar Darrasah, Mahkamah Hay Sabi, dan Gami-Musallas Hay Asyir. Tidak terhitung
berapa banyak matham yang tumbuh, beberapa mengutamakan kualitas cita
rasa, beberapa mengutamakan kuantitas. Dulu, yang paling mengenaskan adalah
Gamaliya. Awalnya hanya punya dua opsi, yakni Kinanah dan Sahara. Namun
semenjak pindahnya ke Darbul Ahmar, Gamaliya kehilangan persinggahannya.
Sedangkan matham Darbul Ahmar enggan untuk tausil ke Gamaliya.
Beberapa mensyaratkan minimum pemesanan.
Namun Gamaliya hari ini sudah berkembang; setidaknya ada 10 matham. Dua favorit penulis sendiri; Depot Cemal-Cemil dekat masjid AC dan Depot Satu Rasa di dekat Pasar Asia Gamaliya yang punya spesialis nasi gorengnya. Belum ditambah lagi opsi matham-matham Thailand-nya.
Bagi penulis sendiri, matham selain
merupakan tempat mengobati homesick akan cita rasa nusantara, juga
merupakan alternatif tempat kerja bagi teman-teman yang membutuhkan pemasukan
tambahan sembari menuntut ilmu. Meski utamanya tetap saja mengisi lambung
kosong sembari menghindari opsi makanan mesir.
Sebagai catatan tambahan, dulu matham
selalu menjadi opsi utama rapat-rapat organisasi. Setidaknya di angkatan
penulis. Sebab belum populer untuk rapat resmi di café-café Mesir. Apalagi yang
mengharuskan ada banat hadir di tempat. Di sisi lain juga café-café masisir
seperti Centang Biru atau ruang terbuka santai seperti Kampung Kafe dan Antara
belum ada. Mungkin di lain kesempatan, dunia percafean seperti café rooftop
pertama, user mesin kopi, dan geliatnya di masisir dapat menjadi esai
tersendiri apabila ada kesempatan. Sehingga matham selalu menjadi opsi
terbaik.
Hingga hari ini, banyak matham hadir, tumbuh,
beberapa buka cabang, beberapa bertahan, dan sebagian lainnya gugur. Jual
saham, berganti kepemilikan, atau hilang begitu saja. Peralatannya dijual bebas
di Pasar Mesir Original.
Tentunya, masih banyak matham-matham
yang tidak penulis sebutkan sebab terbatasnya ruang bercerita. Namun
setidaknya, sebagian masih dapat penulis ceritakan. Sebab setiap kita pasti
memiliki kenangan-kenangan tersendiri di matham-matham tersebut.
Baik yang disebutkan atau tidak, kisah itu ada. Semoga catatan-catatan ini
dapat menjadi ruang nostalgia bagi setiap kita yang pernah singgah dan
menikmati rasa atau suasana matham-matham itu.
Ohya, apa matham favoritmu?
0 Komentar