Oleh: Ilmi Hatta Dhiya’ulhaq
“Wara’a kulli ‘azhim imra’ah”
Di balik setiap orang hebat terdapat sosok perempuan. Karena bagi laki-laki
perempuan berperan penting dalam mendukung perjalanan hidup bahkan membangun
dirinya. Peran tersebut ada pada sosok istri selaku pendamping hidup, dan juga
yang lebih penting adalah sosok ibu selaku ejawantah dari kasih sayang dan rida
ilahi di dunia. “Al-Ummu madrasatul ula, idza a’dadtaha a’dadta sya’ban
thayyibal a’raq”[1]
– Seorang ibu ialah sekolah pertama; jika engkau menyiapkannya dengan baik,
maka artinya engkau telah menyiapkan generasi yang hebat. Semakin hebat
seseorang tumbuh, artinya semakin hebat juga peran ibu yang menanamkan karakter
di baliknya. Apabila kita menyaksikan seseorang yang hebat, perlulah kita
menyadari bahwa kemungkinan besar di balik itu ada peran hebat sesosok ibu.
Sejarah telah hadir dengan banyak kisah epik pengasuhan seorang ibu, salah
satunya ada di Gontor.
Gontor adalah sebutan familiar untuk sebuah pesantren modern bernama
“Darussalam” yang didirikan di desa Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Pondok Modern
Darussalam Gontor, pada tahun 2026 nanti akan memasuki umurnya yang keseratus
(dihitung dari 1926). Proses perjalanan sejarah yang tiada sebentar ini –
dengan seizin Allah – mengantarkan Gontor kepada pencapaian-pencapaian yang
tidak kecil. Saat ini Gontor telah memiliki lebih dari 20.000 santri dari dalam
dan luar negeri yang menempuh studi di 20 kampus cabang yang tersebar di pulau Jawa,
Sumatra, dan Sulawesi; 12 untuk laki-laki dan 8 untuk perempuan. Tanah Gontor
yang pada awalnya hanya belasan hektar, setelah dikelola dan dikembangkan kini
telah mencapai ribuan hektar. Selain 20 kampus yang dimiliki pondok sendiri,
Gontor juga memiliki ratusan alumni yang telah mendirikan pondok pesantren di penjuru
tanah air. Tidak luput juga, eksistensi Universitas Darussalam Gontor menjadi
salah satu pencapaian dari perjalanan panjang sejarah Gontor. Selama hampir
satu abad Gontor melahirkan banyak alumni hebat yang memiliki peran penting
untuk umat dan bangsa, KH. Idham Khalid salah satu contohnya, dan masih banyak
lainnya. Ketika seseorang mendapati sebuah lembaga pendidikan telah berhasil
bertahan melewati segala proses selama satu abad, serta berhasil menghimpun
pencapaian-pencapaian besar, maka seseorang itu akan bertanya siapa atau apa
yang ada di balik lembaga tersebut. Pondok Modern Darussalam Gontor tidak akan
mencapai semua melainkan karena cita-cita luhur, gagasan visioner, sistem
komprehensif, dan bahkan tirakat spiritual yang telah ditanamkan sejak awal
oleh pendirinya, yaitu tiga bersaudara yang kerap disebut Trimurti.
Foto Pondok Modern Darussalam Gontor. Sumber: gontor.ac.id
Trimurti adalah sebutan untuk KH. Ahmad Sahal, KH. Zainuddin Fannanie, dan
KH. Imam Zarkasyi; tiga bersaudara yang memiliki kesatuan tekad dan visi untuk
membangun pesantren. Yang tertua, KH. Ahmad Sahal, lahir pada tahun 1901.
Beliau merupakan lulusan pondok Tremas di Pacitan rintisan KH. Abdul Mannan
Dipomenggolo. Setelah mengenyam pendidikan di Tremas, Kiai Ahmad Sahal
melanjutkan ke Siwalan Panji, Sidoarjo. Sedangkan KH. Zainuddin Fannanie lahir
tahun 1908. Sebelum berdirinya Gontor, beliau juga mengenyam pendidikan ke
Tremas dan Siwalan Panji[2].
Kemudian putra terakhir, KH. Imam Zarkasyi lahir tahun 1910. Pada saat mudanya
beliau belajar di Solo pada tiga lembaga sekaligus, yaitu Pesantren Jamsaren,
Manbaul Ulum, dan Madrasah Arabiyyah Islamiyyah (MAI); kemudian pada tahun 1930
beliau melanjutkan belajar di Ranah Minang. Di
Sumatra ini, beliau belajar terlebih dahulu di Sumatra Thawalib School,
Jembatan Besi[3], yang
didirikan oleh Dr. H. Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Haji Rasul
(Ayah Buya Hamka). Selama masa belajar, masing-masing dari Trimurti tercatat
cerdas, aktif, dan cinta akan ilmu pengetahuan. Hal ini tumbuh karena mereka dibesarkan
dengan pengasuhan yang baik, lalu mereka tumbuh menjadi pribadi yang tekun sehingga
proses belajar ini mematangkan lagi karakter mereka untuk nantinya sanggup
menuangkan pikiran-pikiran brilian yang melampaui zaman. Masa pembelajaran ini ditempuh
oleh masing-masing pendiri Gontor selama bertahun-tahun adalah untuk membekali
diri sebelum mendirikan Gontor baru untuk memenuhi wasiat sakral dari sang ibu.
Foto Trimurti. Sumber: gontor.ac.id
Ibu Trimurti adalah Nyai Sudarmi. Beliau merupakan keturunan dari Kanjeng
Bupati Suradiningrat yang menjadi istri dari Kiai Santoso Anom Besar yang merupakan
putra dari Kiai Archam Anom Besari, keturunan KH. Sulaiman Djamaluddin pendiri
pesantren Gontor lama. Sejarah Gontor lama berawal dari pesantren Tegalsari tepatnya pada masa Kiai Khalifah. Sulaiman Djamaluddin merupakan salah satu
santri dari Cirebon (keturunan kasepuhan Cirebon) yang dipilih untuk menjadi
menantu lalu diamanahi untuk menyebarkan dakwah Islam bersama 40 santri di desa
Gontor. Desa Gontor pada saat itu terkenal dengan maksiat dan kriminalitas
sebagaimana namanya: Nggon Kotor. Berkat adanya pesantren yang didirikan
oleh KH. Sulaiman Djamaluddin, lingkungan yang buruk di wilayah Gontor hilang
secara perlahan. Pesantren Gontor lama terus mengajarkan nilai-nilai Islam
selama beberapa generasi, sampai pada masa KH. Santoso Anom Besari (ayah
Trimurti) Gontor lama tidak dapat bertahan lagi setelah berpulangnya sang kiai sekitar
tahun 1918[4].
Karena kehilangan figur kiai, santri berpulangan. Ini merupakan titik akhir
bagi Gontor lama. Pada tahun inilah Nyai Sudarmi menjadi janda, dan ketujuh
putra-putrinya menjadi yatim-piatu. Sejak saat ini keluarga Nyai Sudarmi harus
hidup prihatin, di mana beliau sendiri harus menggantikan figur sang suami yang
telah tiada untuk menghidupi anak-anaknya. Tanggung jawab moral dan sejarah
yang berat ditanggung oleh Nyai Sudarmi. Cahaya pesantren boleh redup, tapi
tidak dengan cita-cita mulia yang masih hidup. Pesantren Gontor akan hidup
lagi, bahkan bangkit lebih besar, itulah keyakinan yang dipegang teguh oleh
Nyai Sudarmi. Sang ibu tidak putus asa.
Asa itu terus bersemayam di dalam sanubari Nyai Sudarmi. Dalam masa penuh
keprihatinan, beliau bermimpi melihat seekor ayam betina dan tiga ekor anak ayam,
lalu seseorang yang tidak dikenalinya datang dan memberitahu Nyai Sudarmi untuk
menjaga tiga anak ayam itu. Sebagai seorang istri kiai, beliau adalah sosok
yang bersih, mimpi tersebut bukan hanya bunga tidur melainkan juga isyarat.
Dari mimpi itu, firasat dan pikiran Nyai Sudarmi mengarah kepada putra kelima,
keenam, dan bungsu-ketujuh: Ahmad Sahal, Zainuddin Fannanie, dan Imam Zarkasyi.
Sejak saat itu, ketiga putranya itu benar-benar dididik untuk dipersiapkan
sebagai generasi penerus perjuangan para pendahulu Pondok Gontor Lama.
Dalam suatu kesempatan, kakak ipar Ibu Nyai Sudarmi (paman Trimurti), Raden
Imam Anompuro, penghulu di Ponorogo, tiba-tiba meminta Nyai Sudarmi untuk sowan
di kediamannya dengan membawa ketiga putranya. Perjalanan ditempuh dengan penuh
rasa penasaran karena permintaan sowan ini tidak disertai alasan. Di kediaman
Raden Imam Anompuro, pertemuan diawali dengan pertanyaan seputar kabar keluarga
di Gontor. Lalu sang Paman memandang ketiga keponakannya seakan ada yang ingin
disampaikan. Ketiga saudara itu hanya tertunduk tidak berani membalas tatapan
dari sesepuh keluarga tersebut. Kemudian, sang paman memanggil mereka satu
persatu secara berurutan ke dalam sebuah bilik. Mereka diminta untuk membaca
bacaan yang berbeda-beda tanpa ada yang saling mengetahui bacaan apa yang
dimintakan untuk dirinya[5].
Setelah proses itu usai, terjalin sebuah percakapan yang sangat mendalam, Raden
Imam Anompuro berpesan kepada Nyai Sudarmi, “Wes, Yu, tamponono!” (sudahlah,
Mbakyu, terimalah). Tidak mengerti apa yang dimaksud sang kakak ipar, beliau
menjawab, “Menapa ingkang kula tampi?” (apa yang saya terima?). Raden
Imam Anampuro kembali merespon, “Anakku ora ono sing kuat.” (Anakku
tidak ada yang kuat). Nyai Sudarmi kembali menjawab, “Menapa ingkang kula
tampi?” (apa yang saya terima?). “Wes to, iyanono wae,” ucap sang
Kakak Ipar (Sudahlah, katakan iya saja). “Inggih,” ucap ibu dari tiga
bersaudara itu sebagai penutup. Kejadian ini disimpan oleh Nyai Sudarmi sebagai
bekal untuk membulatkan tekad mendidik ketiga putranya sebagai penerus
perjuangan Gontor lama dengan cinta sepenuh hati.[6]
Nyai Sudarmi terkenal sebagai pribadi yang ramah, penuh empati, dan luwes
dalam bergaul dengan masyarakat. Beliau akan ringan tangan membantu apa saja
untuk sekadar meringan beban mereka, baik diminta maupun tidak. Perhatian
terhadap masyarakat sekitar dalam keadaan mudah maupun susah. Beliau juga
pribadi yang cekatan (multitasking), selain memikul tanggung jawab rumah
tangga, beliau juga menggarap sawah untuk menghidupi keluarga. Dari karakter
yang luhur tadi, beliau menjadi sosok yang disegani di masyarakat. Di berbagai
pertemuan, Ibu Nyai sering menyampaikan petuah dan nasehat tentang senantiasa
mengingat Allah, tidak bermegah-megahan, hidup sederhana, rukun, sampai saling
tolong menolong.
Ibunda Trimurti juga merupakan muslimah yang salehah. Beliau gemar
bersedekah untuk masyarakat. Dalam perjalanan menghidupi keluarga dan juga
mendidik ketiga anaknya, beliau mengiringi ikhtiarnya dengan tirakat, puasa
sunnah, zikir, dan panjatan doa. Di samping rumah beliau, ada sebuah masjid. Di
tempat inilah Nyai Sudarmi mencurahkan semua cinta dan citanya kepada Yang Maha
Kuasa. Hari-hari setelah sibuk mengerjakan berbagai urusan, beliau beriktikaf
menenggelamkan diri untuk bermunajat kepada ilahi. Tempat itu menjadi pelipur
lara dan peringan beban baginya, meski atap masjid itu bocor, dindingnya
terbuat dari anyaman bambu yang sudah lapuk, lantainya dari iratan bambu yang
terkadang di bawahnya ada ular dan lipan. Upaya Nyai Sudarmi dalam berpasrah
dan berserah ini menjadikan usaha-usaha penuh berkah dan doa-doanya di-istijabah.
Nyai Sudarmi tidak hanya berdoa untuk dirinya sendiri atau mendoakan
anak-anaknya, beliau juga sering meminta doa kepada siapapun yang ia temui untuk
kebaikan anak-anaknya. Terlebih jika beliau kedatangan tamu seorang ulama,
beliau akan memintanya untuk mendoakan anak-anaknya. “Doakan ya, semoga
anak-anak saya bisa menjadi seperti Anda.”
Kesungguhan Nyai Sudarmi dalam mendidik anak-anaknya tercermin dari
lisannya yang tiada berhenti menggumamkan zikir. Saat memasak, menjahit,
menggarap sawah, beliau selalu mengucapkan kalimah thayyibah. Imam
Zarkasyi kecil penasaran dan tidak mengerti apa yang diucap-ucap oleh
ibundanya. Nyai Sudarmi menjawab, “Zar, kalau kamu merasa khawatir akan apa
yang akan terjadi ucapkanlah ‘Subhanallah’. Kalau kamu merasa mendapat
nikmat Allah, ucapkanlah ‘Alhamdulillah’. Kalau kamu merencanakan
sesuatu, ucapkanlah ‘Allahu Akbar’.[7]
Dalam ‘membangun para pembangun’, Nyai Sudarmi selalu meyakini bahwa ilmu
di atas segalanya. Beliau berpesan kepada putra-putranya, “Daripada mempunyai
harta, lebih baik mempunyai ilmu, Nak. Percuma memakai baju bagus bila tidak
berilmu.” Beliau berkerja keras untuk bisa menyekolahkan Ahmad Sahal, Zainuddin
Fannanie, dan Imam Zarkasyi ke sekolah-sekolah agama supaya bisa tumbuh menjadi
orang yang alim. “Kamu harus menjadi alim dan saleh,” pesan dari Nyai Sudarmi
yang selalu diingat oleh Trimurti. Pesan tersebut sekaligus wasiat, juga
harapan tinggi dari sesosok ibu.
Sepanjang hidupnya, perjuangan Nyai Sudarmi dikerahkan dengan landasan
keyakinan yang kokoh. Nyai Sudarmi meyakini bahwa semua kebaikan dan cita-cita
mulia yang ia tanam, kelak akan ditumbuhkan berkali-kali lipat oleh Yang Maha
Kuasa. Beliau yakin upayanya – dengan seizin Allah – akan mengantarkan ketiga
anaknya untuk mendirikan Gontor baru. Keyakinan yang teguh dan ketulusan
sebagai landasan perjuangan Nyai Sudarmi dalam membangun anak-anaknya itu
sangat nyata pada dirinya, karena beliau sendiri menutup usia bahkan sebelum
Gontor baru berdiri. Beliau sama sekali tidak pernah menyaksikan seperti apa
Gontor baru yang berhasil dibangun ketiga anak terakhirnya. Artinya beliau
telah menanam dan merawat benih-benih pohon yang buahnya tidak pernah beliau sendiri
makan, tetapi pohon itu tetap tumbuh hingga rimbun untuk dinikmati generasi
selanjutnya. Allah telah mendengar doa-doa dan melihat perjuangan sang ibu.
Maha Besar dan Maha Benar Allah yang mewujudkan segala cita-cita baik. Seratus
tahun sudah Gontor baru berdiri melewati perjalanan sejarah panjang dalam
memberikan dedikasi terbaiknya untuk umat. Perjalanan panjang sejarang Gontor berawal
dari usaha dan doa sebagai ejawantah dari cinta dan cita dari seorang ibu. Ketika
seorang ibu mencurahkan cinta dan cita-citanya, generasi-generasi unggul
terbentuk, peradaban pun terbangun. Kisah Nyai Sudarmi, melampaui sejuta
inspirasi.
[1] Hafizh Ibrahim.
[2] Muhammad
Husein Sanusi dkk. Trimurti:
Menelusuri Jejak, Sintesa, dan Genealogi Berdirinya Pondok Modern Darussalam
Gontor. (Bantul: Etifaq Production, 2021)
[3] Ibid.
[4] Tim
Penulis. 1996. KH Imam Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pesantren Modern.
Ponorogo: Gontor Press.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
0 Komentar