Header Ads Widget

Darussalam Audio

Tak Hilang

 

Karya: Ihya 

Menemukan pusara ini tidak mudah bagiku. Hampir saja nama di nisan ini tidak bisa terbaca. Memang siapa yang akan mengunjungi makam ini? Almarhum tidak punya siapa-siapa. Terbayang samar-samar wajah bijaknya saat kucabuti satu persatu rumput yang mulai menjelma rimba. Bersih sudah. Kuusap nisannya. Juga dua nisan dua pusara yang terbaring di sampingnya. Kuhela napas panjang. Surat berusia belasan tahun itu kubuka dan kubaca lagi di tempat ini.

Untuk Seruni.

Kakek tidak tahu pada umur berapa Seruni akan membaca surat ini. Pastilah Seruni sudah mengetahui bahwa kisah yang Kakek bawa ketika itu adalah tidak benar. Hanya sebuah khayalan. Tapi Kakek ingin Seruni tahu lebih dahulu bahwa menurut Kakek, pertemuan dengan Seruni adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang sangat luar biasa yang pernah Kakek rasakan. Karunia istimewa terindah di usia larut sebelum dipanggil oleh-Nya.

Nama Kakek, Abdi Azali. Dulu kakek adalah seorang jurnalis yang idealis dan ambisius. Setiap waktu turun ke medan pertempuran beramunisikan tulisan-tulisan. Tidak mudah untuk tetap tegar dan pantang menyerah. Serangan berdatangan dari berbagai arah. Banyak yang berusaha menggunakan cara culas untuk membungkam, tapi syukurlah kebenaran pada akhirnya yang selalu menang. Kemenangan demi kemenangan tadilah yang mengantarkan Abdi Azali muda ini menuju puncak kegemilangan karir.

Semakin naik ke puncak, semakin banyak dinas-dinas investigasi berdatangan. Proyek-proyek strategis untuk meriset ini dan itu menghujani. Dua puluh empat jam dipenuhi tugas mencari informasi ke sana ke mari layaknya detektif. Luar kota sampai luar negeri. Hari-hari di luar rumah lebih banyak dari di rumah. Istri dan putri Kakek dipaksa menjadi dua orang yang asing dan tidak terlalu akrab. Jurnalis ambisius itu lebih dekat dengan para tokoh dan para elit dibanding dengan keluarga sendiri. Di dalam diri ini sebenarnya ada suara hati yang meminta berhenti, tapi jurnalis ambisius itu mengubur suara hati dengan obsesi.

Iya, Kakek punya seorang putri. Seharusnya dia menjadi karunia terindah dalam hidup Kakek. Namanya Zhilla Azalia. Kakek dan istri memanggilnya Lia. Dia adalah anak yang cerdas dan menggemaskan. Sayang, kesibukan karir membuat Kakek lebih gandrung terhadap ambisi dan ambisi. Sesekali jarak yang membentang rindu di hati mendorong Kakek untuk menulis sebuah buku untuk Lia. “Bagaimana mungkin aku bisa menulis banyak buku untuk publik, sedangkan untuk putri semata wayang sendiri tidak bisa.” Suara hati itu ada. Sambil berdinas keluar, perlahan buku itu Kakek tuliskan. Selembar demi selembar hingga akhirnya selesai. Niat hati ingin diberikan sebagai hadiah saat ulang tahun Lia. Namun, harapan itu tidak pernah terwujud. Lia meninggal saat Kakek sedang sibuk-sibuknya mengejar ambisi. Sejak terbaring di rumah sakit hingga dikebumikan, Kakek tidak ada di sisinya. Saat itu umurnya enam tahun. Benar, umur yang kira-kira sama dengan Seruni saat dipertemukan tuhan dengan seorang ayah yang buruk ini.

Rasa berdosa itu ada. Setiap hari napas terasa berat, dada terasa sesak. Pandangan menjadi kabur dan langkah menjadi gontai. Apalagi saat melihat buku hadiah untuk Lia, hati seakan tertusuk oleh ingatan-ingatan. Bersama semua kenangan dan rasa berdosa, buku itu ikut Kakek ‘kubur’. Hari-hari yang sulit itu obatnya hanya satu, terus bekerja keras, bahkan lebih keras. Itulah isi pikiran Kakek saat itu. Pagi, siang, sore, dan malam tiada henti bekerja. Situasi masih, sama hari-hari di luar rumah lebih banyak dari di rumah. Selama itu juga istri kakek terus sendirian di rumah.

Namanya, Ayudya Ratna Ningsih. Seharusnya dia juga menjadi salah satu karunia Tuhan yang sangat teramat indah. Dia adalah perempuan yang sangat tangguh. Setiap detik dia memupuk tabah, setiap menit dia menyirami sabar, dan setiap jam dia rawat sebuah tegar di hatinya. Sehingga dia telah menjadi pohon kokoh yang tidak bisa digoyang oleh angin apapun, tidak bisa ditebang oleh gergaji mana pun. Dalam kesendirian dia terus menjadi pohon kokoh itu. Rindang penuh dengan sayang. Besar dan sabar. Tinggi untuk menaungi. Sayangnya, keindahan Ratna tidak pernah bisa sempurna Kakek peluk, sebab semua kehebatannya baru bisa Kakek sadari saat melihat bayang-bayang kosong yang tersisa dari kepergiannya. Dari masa muda sampai tua, Kakek tidak pernah benar-benar berusaha untuk memahaminya. Pastilah sedih sekali kehilangan buah hati, pastilah menyedihkan sekali berdampingan dengan suami yang tidak punya hati. Ayu berpulang setahun sebelum Seruni dipertemukan Tuhan dengan seorang suami yang sangat buruk ini.

Di antara debu-debu yang hinggap, Kakek merasakan kehampaan yang sempurna mutlak. Hati ini seperti patah dan tidak tumbuh, hilang dan takkan berganti.  Kekayaan itu datang, popularitas, penghargaan, semua tepuk tangan selalu menghampiri. Sayang itu semua benar-benar tidak bermakna di hadapan semua kehilangan ini. Hari-hari terakhir ditempuh sendirian, cuma ditemani piala yang bermulut saja tidak, apalagi memotivasi. Sisa hidup dilewati sendirian, cuma ditemani piagam-piagam penghargaan yang bergerak saja tidak, apalagi memeluk. Andai waktu bisa terulang. Andai mereka bisa hidup kembali.

Pergi ke taman untuk merenung menjadi satu-satunya hiburan (atau pelarian?). Memikirkan dalam-dalam tentang arti pertemuan, perpisahan, hingga kehilangan. Sampai Kakek dipertemukan oleh Tuhan dengan Seruni. Di taman itu, di setiap sore yang sama, di bangku yang sama. Sungguh bangku itu telah mempertemukan dua manusia yang sama-sama kehilangan, Seruni.

Sore itu, di bangku taman, ketika Seruni mengisi sisi kosong di samping Kakek, Seakan Tuhan mengirimkan seorang utusan pada Kakek untuk mengisi sisi kosong di ruang kebijaksanaan laki-laki tua ini. Tangis polos itu mengundang jiwa Kakek untuk akhirnya menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu dengan mengikuti bagian diri yang selama ini dikubur, suara hati. Hati nurani.

Maafkan Kakek, Seruni, jika surat dari Peluk itu hanya khayalan dan tidak nyata. Memanglah itu tidak lebih hanya kisah pelipur lara di mata anak kecil, dan bisa jadi adalah kebohongan di mata orang dewasa. Kakek hanya ingin berbagi sebuah pemahaman besar ke kepala kecil Seruni dengan cara perlahan, hingga kehilangan itu tidak berujung pada kesedihan mendalam, tapi sedikit demi sedikit menuntun pada pemahaman yang baik.

Kehilangan adalah kebenaran yang terlalu nyata sekaligus sangat pahit untuk diterima, dan kepahitan itu akan terasa berkali-kali lipat apabila yang hilang adalah hal yang sangat kita cintai, apalagi jika juga diiringi rasa bersalah. Itulah yang sebenarnya saat itu sedang sama-sama kita rasakan, bukan? Namun, sepahit apapun sebuah kehilangan, manusia mau tidak mau harus menerima kebenaran itu. Ditambah juga rasa bersalah itu. Justru hanya dengan penerimaanlah rasa kehilangan itu akan hilang. Seruni, semua kisah yang Kakek tuliskan itu tidak hanya untuk mengantarkan Seruni menuju penerimaan saja, tapi sebenarnya juga untuk mengantarkan Kakek sendiri menuju rasa penerimaan bagi kehilangan yang Kakek sendiri rasakan.

Seruni, sungguh bagi Kakek upaya menuliskan kisah tentang Peluk sejatinya adalah proses untuk menuliskan apa saja yang telah Kakek renungkan. Sebuah perenungan yang hampir saja terlambat. Renungan atas kehilangan besar ini membuat Kakek benar-benar paham, bahwa semua tepuk tangan yang diberikan dunia ini akan sirna meriahnya, piala-piala yang dianugerahkan oleh dunia itu akan lenyap kilauannya. Yang abadi adalah cinta. Yang abadi adalah cinta di hati, Seruni. Hal inilah yang hilang dari nurani Kakek selama ini. Buruk sekali, jika sampai mati nanti, ternyata Kakek masih memaknai kehidupan ini dengan arti-arti yang keliru. Suara hati yang muncul saat bertemu Seruni adalah sebuah panggilan kasih sayang Tuhan. Sebuah kesempatan terakhir supaya Kakek tidak mengulangi salah paham dan sikap buruk yang sama terhadap dunia.

Kakek tidak tahu pada umur berapa Seruni akan membaca surat ini, atau surat ini pada akhirnya tidak terbaca oleh Seruni pun Kakek tidak akan pernah tahu, tapi jika memang Seruni membaca tulisan ini Kakek ingin berterima kasih. Terima kasih sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya; terima kasih telah menjadi gadis kecil yang mengetuk pintu kebijaksanaan di hati kakek tua ini. Kebijaksanaan sungguh tidak memandang usia. Setiap kali bertemu Seruni, Kakek seperti bertemu dengan Lia. Rasa kehilangan yang berat, rasa berdosa yang sulit, semua guratan penuh rasa sakit atas kehilangan putri dan istri perlahan hilang seiring dengan kata yang dituliskan dan kalimat yang dibacakan pada surat dari Peluk. Sehingga setelah menulis surat ini jika Kakek menutup usia, maka Kakek akan bisa berpulang dengan damai.

Terimalah buku itu, Seruni, untuk Kakek, Istri Kakek, dan untuk Lia. Teruslah bertumbuh. Jadilah manusia yang utuh Seruni dengan tubuh sehat yang kokoh laksana bumi, pikiran cemerlang yang jernih laksana langit, serta hati tulus yang luas laksana samudera.

Kujeda bacaan ini, satu kalimat penutup tersisa. Di umurku sekarang, Aku mulai mengerti asin pahit kehidupan. Aku merenungi kehidupan melalui tulisan Kakek Ali, huruf demi huruf. Dewasa ini Aku tumbuh mulai insaf bahwa manusia sejatinya lahir tidak membawa apapun, lalu nantinya mati dengan tidak membawa apapun juga. Jangankan barang yang kita elu-elukan, jangankan orang yang kita sayang, diri kita sendiri ini saja bukan milik kita. Hidup dan dunia yang kita cintai saja pemberian. Setiap kali datang sesuatu ke kita, secepat mungkin seharusnya kita sadar bahwa hal ini adalah fana dan kapanpun bisa hilang. Orang-orang yang kita temui hari ini niscaya akan berpisah dengan kita pada akhirnya. Hal-hal yang menghampiri genggaman tangan dan kantong saku kita hanyalah titipan Tuhan. Kita diuji dengan pemberian dan titipan itu. Apakah kita akan terlena dan merasa itu jadi milik kita sampai kita takut akan kehilangan, atau kita sadar bahwa semua itu hanyalah titipan lantas kita manfaatkan sebanyak-banyaknya untuk kebaikan. Semua yang hadir dalam hidup seorang manusia adalah bagian dari suratan takdir Yang Maha Kuasa. Semua yang datang adalah ujian, semua yang hilang adalah pelajaran. Kakek Ali telah datang padaku sebagai pelajaran yang berharga.

Guratan tinta hitam di hadapanku membuat memori-memori pertemuan saat masih kecil itu kembali seperti kepingan puzzle yang tersusun. Kilasan-kilasan penuh gambar menggelar teater di kepalaku. Kini, akhirnya Aku tahu kenapa surat terakhir dari Kakek Ali waktu itu lusuh. Ternyata hujan benar-benar turun mengenai surat itu. Aku tahu betul itu, karena sekarang hujan juga turun membasahi surat yang sedang kepegang. Hujan itu turun dari mataku. Dan surat itu selesai kubaca.

“Perpisahan adalah keniscayaan dari sebuah pertemuan. Sesungguhnya, kehilangan adalah jalan untuk menemukan.”

Dari, Abdi Azali

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar