Header Ads Widget

Darussalam Audio

Surat dari Peluk

 

Karya: Ihya

 

“Perpisahan adalah keniscayaan dari sebuah pertemuan. Sesungguhnya, kehilangan adalah jalan untuk menemukan.”

Pengalaman seorang laki-laki tua yang lebih dari setengah abad itu seharusnya sudah cukup membuatnya bijak dan paham secara mendalam tentang apa arti dari kata-kata itu. Namun, mengerti sebuah nilai kebijaksanaan, belum menjamin siapa pun untuk bisa cukup kuat berpegang pada kebijaksanaan itu sendiri. Pertemuan, perpisahan, kehilangan; manusia datang, manusia pergi, hal-hal tersebutlah yang berlalu lintas di benak kakek ini. Kembang-kempis paru-parunya menarik napas panjang, menemaninya merenungi umur yang sudah banyak berlalu, dan menikmati yang tinggal sedikit tersisa. Kakek itu sedang duduk sendirian saja di sebuah bangku taman. Melamun saat sore di antara bunga-bunga, kupu-kupu, dan anak-anak yang berlarian. Semua itu menjadi hiburan tersendiri baginya yang sudah berusia senja. Di tangannya dia pegang sebuah tongkat kayu untuk menopang tubuhnya yang bungkuk dan lemah. Di wajahnya menggantung sebuah kacamata. Bermahkotakan topi pet untuk menaungi rambut putih milik kepala yang penuh memori. Berbusana setelan sederhana nan elegan yang cukup untuk membalut tubuh kurusnya. Disandarkannya punggung rapuhnya di bangku taman. Sebuah bangku taman yang akan menjadi saksi sebuah pertemuan.

Lamunan laki-laki tua itu terpecah saat dia menyadari bahwa tiba-tiba ada seorang anak perempuan kecil menempati sisi kosong di sampingnya. Tidak ada salam atau teguran apapun, isak tangis dan sengal napas yang menyapa. Kedua telapak tangan anak itu menutupi seluruh wajahnya, kepalanya yang menunduk menjadikan rambutnya tergerai hingga seluruh wajahnya sempurna tiada terlihat.

“Kenapa menangis, Nak?” tanya sang kakek karena iba. Anak perempuan itu tidak kunjung menjawab, nada tangisannya malah naik turun membuat pria tua itu bingung.

Setelah jeda beberapa saat, anak itu akhirnya mengatakan sesuatu, “HI ... HILAAANG ...”

“Apanya yang hilang?”

Terbata-bata anak itu berkata, “Pe ... pe ... pel....”

“Apa ...?” Dengan lembut sang kakek bertanya memastikan.

“Peluk ....”

Mendengar jawabannya, lelaki tua itu semakin bingung. Peluk? Hilang? Maksudnya bagaimana? Apa memang dunia anak kecil selalu lebih membingungkan? Apa bahasa anak-anak zaman sekarang memang berbeda? Menolah-noleh mencari barang kali ada orang tuanya.

“Nak, di mana ayah dan ibumu?” Kini yang lebih penting adalah kenapa anak kecil ini sendirian.

Gadis kecil itu akhirnya melepas kedua telapak tangan dari wajahnya. Dilihat dari perangai dan fisiknya, anak ini berusia sekitar lima sampai enam tahun. Pipi tembam menggemaskan muncul di balik tirai rambutnya, matanya hitam tajam tapi tengah sembab sebab tangis. Raut wajahnya mengerut. Dia menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan tadi.

“Sendirian saja?”

Anak itu mengangguk.

“Siapa namamu, Nak?”

Dengan napas yang masih terisak, dia menjawab, “Seruni.”

“Nama yang indah sekali, Nak.” Lelaki sepuh ini berusaha menghibur. “Pasti sedih sekali ya kehilangan ‘peluk’ itu. Tapi kalau kakek boleh tahu, peluk yang hilang itu apa, Nak, atau siapa?”

Sambil terisak-isak, dia menjawab, “Pe ... Peluk itu nama boneka Seruni, Kek. Tadi Seruni sedang bermain bersama Peluk, lalu saat Seruni membeli es krim, Seruni tinggal Peluk. Sekarang Peluk tidak tahu pergi ke mana. Seharusnya tadi Seruni mengajak Peluk saja untuk beli es krim.”

Suasana lengang sesaat. Seperti ada suara hati yang ingin kakek ini ikuti. Setelah merenung sesaat, lelaki tua bertopi itu memilih untuk berdiri dan menawarkan bantuannya. Dia ulurkan tangan keriputnya untuk Seruni.  “Apakah kakek boleh ikut membantu mencarinya?”

Seruni masih terdiam. Kakek itu kembali bertanya, “Peluk Seruni memang seperti apa?”

“Beruang ....”

Akhirnya Seruni pun ikut berdiri. Dia menggandeng tangan kakek tua itu dan bertanya, “Kakek pasti orang baik. Siapa nama kakek?”

Kakek itu tersenyum mendengar ucapan polos dari Seruni, dia pun menjawab, “Ali.”

Kakek Ali dan Seruni dipertemukan oleh takdir melalui sebuah kehilangan. Mereka meninggalkan bangku taman itu. Berusaha mengais-ngais kemungkinan kecil di hadapan kemustahilan yang kian nyata. Perjalanan mencari boneka bernama ‘Peluk’ entah bagaimana nanti alurnya.

Mereka mulai mencarinya. Di tengah ramai pengunjung, menyusuri dari sudut ke sudut dan dari rumput ke rumput. Semak-semak disibak, tiang-tiang lampu sampai tong sampah juga dijamah. Wajah Seruni belum menerbitkan senyum. Matahari perlahan membawa cahaya ikut tenggelam di ujung cakrawala. Diubahnya hari menjelma malam. Sebelum sinar benar-benar sirna, Kakek Ali menghentikan pencarian. Berdiri sejenak. Dia memandangi wajah mungil Seruni yang ikut gelap. Sebelum dia lontarkan pertanyaan kepada Seruni, gadis kecil itu yang lebih dahulu bertanya kepada Kakek Ali.

“Kenapa berhenti, Kek?”

Memanglah baterai tenaga mereka berdua jauh berbeda. “Seruni memangnya tidak lelah?” Suasana hening, Seruni masih terdiam. “Seruni masih mau mencari?”

Seruni mengangguk. Wajah polosnya menggurat sedih. Kaca-kaca di matanya menyiratkan rasa lelah dan sedih. Seperti dia belum bisa menerima kenyataan bahwa bonekanya telah hilang. Sangkalan. Rasanya kalau tidak dihentikan oleh Kakek Ali, sampai satu abad pun Seruni akan terus melakukan pencarian.

“Ini sudah mulai malam, Seruni ....”

Mulut anak itu mencucu. Mulai merajuk. Matanya pun memerah. Tampaknya hampir turun hujan dari matanya.

“Seruni tidak dicari oleh orang tua?”

Seruni menggeleng. Suara Seruni terpatah-patah menahan tangis. “Pokoknya, Seruni tidak mau pulang! Seruni mau pulang kalau ada Peluk, kalau tidak ada, tidak mau! Aaa ...!” Rengek itu sudah tidak tertahan lagi.

Kakek Ali tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksudkan oleh Seruni. Dia juga tidak mengerti bagaimana alur kisah ini berjalan; kenapa dia terdorong untuk peduli pada anak kecil ini? Siapa anak kecil ini? Takdir apa yang mempertemukan mereka? Jawaban apa yang telah menunggu di akhir misteri pertemuan ini? Sepaham Kakek Ali, dirinya sekarang sudah tidak sanggup lagi melanjutkan pencarian, dan sepahamnya Seruni juga harus mau berhenti, sudah malam. Kakek tua itu duduk di atas rerumputan taman. Dia letakkan tongkat kayunya, dia lepas topi petnya. Tangan keriput Kakek Ali menggapai lengan mungil Seruni, menuntunnya untuk ikut duduk.

“Pasti boneka ini penting sekali ya untuk Seruni?”

“Iyaaa!” Air mata itu sudah tidak bisa dibendung lagi.

Kakek Ali dengan lembut mengelus rambut halus Seruni. Gadis kecil itu menundukkan kepalanya. “Apakah itu hadiah dari orang tua?”

“Bukan, pe ..., pe, peluk itu dulu hadiah dari kakek Seruni,” ucapnya terbata-bata sambil menangis. “Du ... dulu Kakek Seruni yang selalu menemani Seruni bermain. Lalu kakek membawakan Peluk untuk jadi teman Seruni. Kata kakek Seruni dia berasal dari tempat yang jauh sekali. Peluk lucu sekali, lembut sekali untuk dipeluk. Jadi kata kakek, namanya Peluk. Bagus sekali namanya, kan? Seruni sayang sekali sama Peluk. Kakek sekarang sudah tidak ada. Seruni tidak punya teman di rumah. Seruni dan Peluk suka bermain bersama, belajar bersama, dimarahi Papa dan Mama bersama-sama. Teman Seruni cuma Peluk, Kek. Seruni tidak mau pulang!”

Kakek tua itu ingin kembali menilik seberapa penting Peluk bagi Seruni, “Berarti Seruni benar-benar masih mau mencari Peluk?”

“Iya. Seruni tidak mau pulang. Seruni mau mencari lagi.” Gigih sekali.

“Tapi kan sudah malam, dingin, nanti taman juga ditutup, pengunjung akan pulang semuanya. Tidak baik kalau Seruni mau terus mencari. Ayo pulang ya, Nak.”

“Tidak mau pulang, Seruni mau Peluk, Kek.”

Di benak orang dewasa, kehilangan barang seperti ini tidaklah rumit. Selama ada uang, beli saja barang yang baru, urusan selesai. Sederhana sekali, bukan? Namun, sejatinya barang yang dimiliki seseorang tidak melulu tentang harga materil saja. Lihatlah Seruni, hatinya yang masih bersih mendikte benak angkuh orang dewasa yang terkadang lupa bahwa di balik segala hal yang terlihat ada kisah-kisah yang terlampau berharga dan membuat satu dua hal tidak ternilai dengan apapun. Ini bukan tentang siapa yang masih anak kecil dan tentang siapa yang sudah dewasa. Keterikatan batin yang erat dengan barang atau orang tidak bisa ditolak oleh hati mana pun. Kakek Ali – dengan umur dan pengalamannya – sudah cukup bijaksana untuk memahami itu, dia tidak akan mengatakan ke Seruni untuk jangan menangis, tinggal beli yang baru saja. Tidak. Sambil mendengar isak tangis Seruni, Kakek Ali merenung dan berpikir. Dia akhirnya memilih untuk melakukan sesuatu.

“Seruni tahu, Kakek punya rahasia.” Kakek Ali merayu Seruni dengan sebuah cara. Tapi Seruni masih acuh, dia tidak tertarik dengan kata-kata sang kakek. “Kakek ini sebenarnya detektif, Seruni.”

Mendengar kosakata sangar itu keluar, Seruni mulai melirik. “Detektif?”

“Seruni tahu detektif, kan?”

“Tahu. Detektif itu yang pake topi bundar sama jas panjang, terus mereka suka cari-cari petunjuk pakai kaca pembesar. Yang pintar nyari orang jahat atau barang yang hilang, seperti main teka-teki, gitu, kan?! Kakek beneran detektif?”

“Iya, lihat, Kakek ini detektif. Jadi Kakek bisa membantu Seruni mencari Peluk. Kakek bisa mencari dengan alat-alat canggih kakek, lalu mencari jejak lewat teman-teman detektif lainnya. Jadi nanti kita bisa tahu ke mana Peluk pergi?” Kebetulan pakaian Kakek Ali saat ini mendukung ucapannya.

Wajah Seruni mulai mengguratkan ekspresi tenang – walau  belum tersenyum. Baginya ucapan Kakek Ali sangat meyakinkan. “Peluk memangnya pergi ke mana, Kek? Memangnya kita bisa tahu?”

“Nanti bisa kita cari, tapi Seruni kali ini pulang dulu. Teman-teman detektif kakek sudah istirahat malam ini. Besok kita akan mencari lagi ya, kita akan bertemu lagi di taman ini ya?”

Tawaran yang menarik. Gadis kecil ini akhirnya terbujuk, “Tapi kakek janji akan terus temani Seruni mencari Peluk? Janji kan besok pasti datang?”

“Janji.”

Pertemuan itu berakhir ketika Seruni akhirnya mau untuk kembali pulang. Karena sendirian, Kakek Ali yang menemani Seruni. Rumahnya ternyata tidak jauh dari taman. Di depan gerbang tinggi dan bangunan megah, Kakek Ali melepas Seruni dan beranjak pulang. Mata Kakek Ali memandangi sesaat rumah itu, seperti ada sesuatu yang melintas di benaknya. Seruni langsung masuk, dan tidak ada adegan pamitan.

***

              Buku-buku bertaburan di atas sebuah meja kayu, beberapa majalah usang tidak absen menyelinap di antara tumpukannya. Letaknya yang ada di tengah ruangan memberikan aura prestisius untuk meja kantor itu. Di sudut meja bertengger sebuah mesin ketik yang menambah kesan klasik. Ada foto usang berisi beberapa gambar manusia terabadikan di dalamnya. Ruangan pribadi ini juga diisi rak yang dihiasi buku-buku filsafat, hukum, politik, ekonomi, psikologi, pendidikan, jurnalistik, dan bermacam-macam urusan berat duniawi lainnya. Di sisi samping, rak lemari kaca elegan berdiri, tersimpan di dalamnya sederet kamera, foto-foto, piala, dan cinderamata. Pigura-pigura yang melekat di dinding mengabadikan warna-warni kliping berita dengan berbagai headline di dalamnya. Di atas semua barang penuh kenangan di ruangan ini, hinggapnya debu tidak terelakkan. Yang tidak kalah penting, terpasang juga sebuah piagam penghargaan – yang juga berdebu – bertuliskan “Abdi Azali”.

Beberapa jengkal dari meja kerja itu, Kakek tua bernama Abdi Azali tengah tenggelam ke dalam secangkir kopi yang ada di genggamannya. Di atas sofa, dia merenung ditemani seruputan-seruputan yang pahit dan hitam. Memandang dari jengkalan rumah sebuah bayang-bayang yang telah hilang. Masih mengenakan busana yang sama, Kakek Ali sedang merumuskan sesuatu.  Setengah kopi sudah masuk ke dalam otak dan berhasil mengisi tangki ide. Abdi Azali bangkit dari sofa, dia berpindah ke balik meja kerja tua, yang sudah lama tidak digunakan bekerja. Diletakannya topi pet yang sedari tadi menjadi mahkota. Telunjuk dan ibu jarinya mengusap-usap jenggot tipis. Dia bersiap untuk melakukan sesuatu, dia melirik ke arah mesin ketik usang – ah, mungkin tidak dengan ini. Diambilnya secarik kertas dari rak, juga sebatang pena.

Beberapa malam terakhir, yang dihirup Kakek Ali hanyalah dingin, hening, dan sepi mendalam. Kali ini dia seperti menjadi muda lagi. Ruangannya meriah oleh ide di kepalanya. Bersama lampu ruangan yang berpendar hangat, pijaran di dalam otak tuanya serasa kembali menyala. Jemari keriputnya menari-nari. Demi Seruni, Abdi Azali kembali melakukan kesibukan lamanya: menulis.

***

Janji adalah janji. Selalu saja. Pastilah berisi kehormatan dan harga. Sekali pun janji itu kepada anak kecil. Di senja yang sama, di bangku yang sama, Kakek Ali kembali bertemu dengan Seruni. Kali ini wajah Seruni sedikit lebih cerah, sebuah wajah yang percaya bahwa asa itu ada. Walau senyum tak kunjung menampakkan fajarnya.

“Bagaimana, Kakek detektif? Ayo kita mulai cari Peluk!” tagihnya.

Kakek detektif yang dipanggil itu tersenyum lalu memberi tawaran, “Bagaimana kalau kita beli es krim dulu, Seruni?”

“Es krim? Hmm ....” Seruni berpikir sejenak. “Tapi setelah itu kita akan mencari Peluk, kan?”

“Iya. Seruni tahu, kakek sudah mendapatkan kabar tentang Peluk.”

“Benar???” Mata Seruni berbinar-binar.

Dua cone es krim telah mendarat di genggaman dua manusia yang umurnya terpaut jauh ini. Mereka menikmati kesegarannya sambil duduk di atas rumput. Hampir saja Seruni terlupa akan misi pencarian Peluk, sebab terlena oleh nikmatnya es krim di tangannya. Kakek detektif – dengan mulut dan lidah yang masih sehat – tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan es krim itu.

“Kakek ... slurp, jadi kita akan – slurp – mencari Peluk dari mana?” tanya Seruni sambil sibuk menggapai halus es krim dengan lidahnya.

Kakek Ali merespon pertanyaan itu dengan mengambil sesuatu dari balik setelannya. Rupanya lipatan kertas, tampak ada tulisan tangan di atasnya. “Lihat, Kakek mendapatkan surat. Seruni tahu ini surat dari siapa?”

Awalnya Seruni menggeleng. Benak Seruni sejurus kemudian membesitkan sesuatu. “Apakah surat dari Peluk?”

“Iya, benar. Seruni sudah bisa membaca?”

 “Seruni belum bisa membaca, Kek.” Seruni menggeleng.

Kakek Ali menatap dalam-dalam mata anak kecil itu. “Seruni mau Kakek membacakannya untuk Seruni?”

Seruni mengangguk kencang. Tangannya masih menggenggam es krim, lidahnya juga masih sibuk menjilatinya. Tapi mata Seruni fokus tertuju pada kertas itu. Lenggang, hanya ada suara kertas yang dibuka lipatannya.

“Hai, Seruni! Iya, ini Peluk. Maaf, Peluk tidak langsung mengabari Seruni. Di taman, Peluk kemarin bertemu dengan saudara Peluk. Dia sangat merindukan Peluk dan Peluk juga sangat merindukannya. Peluk sangat bahagia bisa bertemu saudara Peluk itu. Sudah lama sekali kami tidak berjumpa, Seruni. Dia mengajak Peluk pulang untuk menemui keluarga yang lain. Peluk tidak bisa menahan diri, Peluk sangat rindu keluarga. Peluk ingin pulang, Peluk harus pulang. Peluk tidak tahu sampai berapa lama perjalanan ini, Seruni. Maafkan Peluk karena tidak berpamitan. Peluk sekarang sedang melakukan perjalanan panjang. Doakan Peluk, Seruni, dan jangan menangis, Seruni anak yang kuat. Peluk akan memberi kabar dan cerita untuk Seruni. Peluk akan mengajak Seruni ikut berpetualang bersama Peluk lewat surat-surat Peluk ini.                

Tangis Seruni tak pelak merembes di pipinya. “Peluk .... Ternyata dia sedang pergi bersama saudaranya.” Seruni mengusap air matanya – berusaha kuat. Dengan suara lembut dan lugu, Seruni berkata, “Semoga Peluk baik-baik saja. Seruni rindu sekali dengan Peluk. Seruni juga khawatir sekali. Tapi Seruni senang karena sudah tahu kabar Peluk. Tapi Peluk pulang ke mana? Apakah dia akan baik-baik saja?”

              “Kakek juga belum tahu, tapi bagaimana perasaan Seruni ketika tahu kabar Peluk?”

              Seruni menganggukkan kepala beserta segenap geraian rambut hitam lembutnya. Jawaban ini membuat Kakek Ali bertenang hati. Seruni rasanya belum puas. “Memangnya bagaimana caranya Peluk menulis surat? Bukannya sedang dalam petualangan? Memangnya Peluk membawa kertas dan pena?”

              Kakek Ali termenung. Inilah ajaibnya anak kecil, mereka akan selalu membawa kejutan tak terduga. “Sebenarnya Peluk tidak membawanya, tapi teman detektif kakek yang memberi bantuan.”

Seruni mengangguk seperti paham dan percaya. Masih belum puas dia bertanya lagi, “Apakah Kakek bisa mengirimkan pesan untuk Peluk juga dari Seruni?”

              Kakek Ali terdiam sejenak lalu mengangguk. “Kalau begitu, setiap hari kita bisa bertemu lagi di taman ini untuk mendapatkan kabar perjalanan dari Peluk. Bagaimana, Seruni?”

              Seruni menatap mata sang kakek dan mengangguk tenang – walau belum tersenyum. Saat jingga langit semakin redup dan menjelma hitam, Seruni diantar pulang oleh tuntunan tangan Kakek Abdi Azali – lagi. Perjalanan kaki yang pelan terhampar setelah mendengar perjalanan fiksi yang berisi ‘khayalan’. Di depan gerbang tinggi rumah Seruni, mereka berpisah tanpa adegan pamitan – lagi. Ketika punggung Seruni telah hilang dari balik pintu, Kakek detektif itu memandangi bangunan itu untuk merenung – lagi. Dia menghela napas dan bertolak pulang.

              Abdi Azali, pensiunan ‘detektif’ itu menghabiskan kesendirian malamnya dengan mengundang imajinasi untuk berpesta di dalam kertas yang penuh goresan tinta. Di rumah dengan hinggapan debu yang tak lagi terurus, sekali lagi dia ciptakan sebuah mahakarya (atau kebohongan?).

              Hari baru datang menggelar ribuan detik baru yang penuh dengan misteri. Di senja yang sama, di bangku yang sama, mereka berdua bertemu lagi. Wajah Seruni masih sama. Kakek Ali masih dengan penampilan khasnya; klasik bak detektif sungguhan. Kembali dia keluarkan sebuah surat dari balik setelan jasnya. Surat dari Peluk yang kedua:

              “Hai, Seruni. Terima kasih, Seruni ikut senang dengan kabar Peluk. Terima kasih sudah mengkhawatirkan Peluk juga. Peluk benar-benar baik-baik saja di perjalanan ini. Seruni belum tahu ke mana Peluk pulang bersama saudara Peluk? Untuk pulang, Peluk harus menempuh perjalanan ke barat. Perjalanan yang panjang dan melelahkan. Peluk harus melewati dunia-dunia baru yang belum pernah Peluk lihat sebelumnya. Sekarang Peluk harus melewati padang rumput yang sangat luas. Sejauh mata memandang hanya ada ilalang. Terlihat ada banyak sekali binatang di sini. Ada jerapah, singa, gajah, banteng, rusa, zebra, dan masih banyak yang lainnya. Di atas juga banyak burung terlihat beterbangan, bermacam-macam sekali, Seruni. Di depan sana, Peluk melihat ada gunung yang menjulang. Tinggiii sekaliii. Peluk akan mendaki gunung itu. Mungkin besok pagi. Karena malam ini Peluk dan saudara Peluk akan istirahat terlebih dahulu. Seruni tahu tidak? Malam hari di alam liar seperti ini sangat berbahaya. Jadi, Peluk harus berhati-hati sekali. Jadi Peluk meminta doa dari Seruni, semoga Peluk dan saudara Peluk baik-baik saja. Apa kabar Seruni? Seruni baik-baik saja, kan? Seruni yang kuat sudah tidak sedih, kan?

              Seruni memang tidak sedih, setidaknya dia tampak antusias mendengarkan petualangan Peluk di alam lepas sampai akhirnya terbaca sebuah pertanyaan di akhir surat. Seruni memang tidak sedih, setidaknya memang tidak ada air mata yang mengalir ke pipinya. Namun, air di matanya saat ini laksana banjir yang kesulitan ditahan oleh bendungan pelupuk mata. “Seruni baik kok, Peluk.” Suara lembut yang nyaris parau itu diikuti gerakan lengan yang menyapu mata. Seruni tampak tengah belajar untuk tegar. Bibir mungil Seruni mulai teriris mencipta senyum tipis. Sebuah perkembangan.

Hal ini menjadi rutinitas. Di malam, sebuah kisah petualangan ditulis oleh tangan keriput yang pada waktunya nanti akan berhenti menari. Pagi dan siang adalah bentangan alur kisah petualangan boneka beruang bernama Peluk. Sore harinya, kisah khayal itu dibacakan. Diakhiri dengan adegan mengantar pulang ke rumah Seruni, yang tidak ada pamitan di ujungnya. Berulang terus seperti ini.

Taburan hari menumbuhkan pekan. Tumbuhan pekan menjelma hutan bertajuk bulan. Tak terasa waktu yang berlalu juga menyumbang angka untuk umur mereka. Kakek Ali dan Seruni semakin akrab, semakin hangat. Laksana kakek dan cucu yang sesungguhnya. Surat demi surat dibacakan. Kisah Peluk menempuh perjalanan ke barat dipenuhi petualangan dan tantangan. Setelah melewati savana, Peluk mendaki gunung, menerobos hutan, menyelami danau, berlayar mengarungi lautan; gurun, kota, desa, dan masih banyak lagi. Serangan dari manusia, binatang, dan hantu mendatangi Peluk dan saudaranya. Dengan epik dia lawan. Jatuh bangun Peluk terkisahkan dengan megah. Tak luput Seruni dan Peluk saling bertukar rasa dan kabar.

Bawah tanah kesadaran Seruni perlahan ditanami benih-benih kebijaksanaan, Seruni belajar tentang dunia, dan kehidupan. Dihirupnya pelajaran-pelajaran moral tentang nilai keikhlasan, kesabaran, tanggung jawab, sampai rasa syukur. Setiap kali Kakek Ali membacakan surat, mata Seruni tampak ikut menikmati sajian lezat yang dikunyah telinganya, karena saking serunya kisah perjalanan Peluk. Hampir saja Seruni lupa bahwa dia sedang kehilangan. Senyuman Seruni melebar hari demi hari, sampai pada suatu akhir senja, Seruni bertanya, “Memang asyik sekali petualangan Peluk. Tapi Peluk nanti pasti akan kembali ke Seruni kan, Kek?”

Kakek ‘detektif’ itu terdiam. Melihat setiap sisi wajah Seruni yang penuh harap. Senyum riang kembali menguap darinya. “Nanti coba kakek tanyakan ya, Seruni.” Hanya itu yang bisa terucap oleh Kakek Ali. Dia mulai menyadari bahwa kisah Peluk ini sesegera mungkin harus menemukan akhir terbaiknya. Batuk yang semakin keras, kepala pening, kaca mata yang semakin kabur, tongkat kayu yang kian lemah; Abdi Azali memantapkan diri untuk menyelesaikan kisah ini untuk menjadi akhir dari kisahnya sendiri.

Perjalanan pulang seperti biasa. Dilanjutkan sebuah malam panjang untuk menuliskan penutup dari sebuah kisah yang telah dia mulai. Jemari Kakek Ali sudah tidak tangguh lagi untuk menari. Tapi tulisan ini harus jadi. Harga mati. Malam panjang yang menguras emosi.

Senja yang kesekian kalinya, di bangku taman yang sama. Bagi Kakek Ali, menulis akhir cerita selalu saja tidak mudah, sangat menguras tenaga. Apalagi kini usianya sudah lebih senja dari suasana dan waktu yang tengah meliputinya. Namun karena pengalaman panjang, tulisan itu tetap bisa ditaklukan olehnya walau harganya mahal. Kali ini dia datang tidak hanya dengan surat, tapi ada sesuatu yang lain.

Seruni masih dengan wajah yang datar. Dia yang masih sebelia itu berlatih menampung dan mengatur naik turun sebuah perasaan. Harap-harap cemas. Senyum yang pernah terbit beberapa waktu terakhir, terbenam terlampau cepat. Pahit atau manis. Indah atau sampah. Bagaimanapun, kisah harus diakhiri.

Dari balik setelan jas, surat dari Peluk yang terakhir muncul dan siap disabdakan. Sampai Seruni memotong terlebih dahulu, “Kenapa suratnya seperti lusuh, Kek, apakah terkena hujan?”

Kakek itu tersenyum dan menjawab seadanya. “Iya.” Lalu dia mulai membaca surat, Seruni mendengar dengan seksama.

Seruni, Peluk sudah sampai di kampung halaman ...

Seruni memotong lagi, “Wah, Peluk akhirnya sudah sampai!” Kakek Ali menebar senyum hambar. Surat itu dia baca lanjutannya.

Di sini Peluk bertemu dengan keluarga. Setelah sekian lama, Peluk bisa bertemu dengan keluarga Peluk. Peluk sangat senang di sini, dan setelah berpikir, akhirnya Peluk harus mengambil sebuah keputusan. Maafkan Peluk, Seruni. Peluk tidak bisa kembali pulang ke Serun ...

“TIDAK! TIDAK BOLEH!!!” Seruni langsung menyambar, sebuah fajar riang yang tadi mulai muncul diterjang mendung berisi petir. Kakek Ali tidak heran. Dia sudah bersiap bahwa anak ini akan pundung. Tidak mungkin tidak. Dia yakin telah menyiapkan akhir cerita terbaik.

“TIDAK MUNGKIN, KEK! Peluk sayang Seruni, Peluk pasti mau pulang. Ada apa dengan Peluk? Kenapa? Tidak mungkin!” Seruni merajuk dan menangis sejadi-jadinya. Air matanya menghujani rerumputan taman. Isaknya semakin deras. “Apakah benar ini semua dari Peluk? Kakek tidak bohong, kan? Kakek kan orang baik.”

Meski tertohok, Kakek ‘detektif’ ini berupaya membujuk anak kecil polos itu, “Seruni ..., tapi suratnya belum selesai ....”

“AAA!!!” Seruni tidak peduli lagi, tidak ada lagi harapan di balik parau jeritnya.

Abdi Azali ikut iba melihat tangis Seruni. Tapi sebelum pertemuan ini, bola mata kakek tua itu telah menghabiskan air matanya hingga tetes yang benar-benar terakhir. Sudah tiada lagi yang tersisa. Tiada lagi yang akan menetes.

Senja usai. Malam dimulai. Tapi Seruni masih saja menetap di hadapan telungkup lengan mungilnya yang basah. Tidak ada perkembangan, baik dari rajukan Seruni, maupun dari pembacaan kisah Peluk. Satu-satunya hal yang pasti, dingin malam adalah musuh terburuk bagi uban Kakek Ali yang sudah rentan.

              Menit-menit membiarkan Seruni terus merengek. Sampai akhirnya dia kelelahan. Dia hapus air matanya, bangkit dari duduk lalu berjalan pulang. Kekecewaan itu membuatnya tak menghiraukan Kakek Ali. Langkah-langkah kecil Seruni mengeringkan sisa air matanya. Kakek Ali tidak mungkin membiarkan gadis kecil berjalan sendirian tanpa adanya orang dewasa. Langkah-langkah lemahnya menyeimbangi laju anak kecil itu, dia mengikuti dari belakang. Sampai tiba-tiba Seruni memutuskan untuk menghentikan langkahnya. Berdiri dan memandangi Kakek Ali yang dari tadi dia tahu terus mengikutinya. Sorot mata gadis kecil ini mengisyaratkan sesuatu pada Kakek Ali.

              “Suratnya belum selesai, Nak.” Kakek Ali menunjukkan kertas lusuh itu. “Apakah Seruni mau mendengarnya sampai habis?” Mendengar itu akhirnya Seruni mengangguk pelan. “Mari Kakek bacakan sambil jalan ya, Seruni.”

Sekarang Peluk sangat bahagia bersama keluarga Peluk. Peluk bahagia sekali setiap kali mendapatkan kabar baik dari Seruni, apakah Seruni juga bahagia jika Peluk bahagia? Hari-hari Peluk bersama Seruni sangat luar biasa sekali! Kita bermain bersama, belajar bersama, sampai dimarahi Papa dan Mama bersama-sama. Wah, seru sekali. Seruni kita tidak seharusnya sedih karena kita telah berpisah, tapi kita seharusnya bersyukur karena kita pernah bertemu. Apakah Seruni hanya bisa bahagia ketika bersama Peluk saja? Memang Seruni tidak lagi bersama Peluk, tapi jangan sampai Seruni lupakan Peluk, dan lupa bagaimana caranya memeluk diri Seruni sendiri.

Peluk juga merindukan Seruni. Mungkin Seruni sekarang belum bisa terlalu paham. Namun, saat Seruni mau berlapang dada menerima kepergian Peluk, di saat itulah Peluk akan kembali dan terus menetap ke dalam diri Seruni dengan wujud lain yang lebih indah yaitu sebagai sebuah ingatan yang penuh dengan pelajaran.

Setahu Peluk, Seruni adalah gadis yang kuat dan hebat. Jadi, Seruni harus terus jadi Seruni yang kuat dan hebat seperti yang Peluk kenal. Ini ada buku kenang-kenangan dari Peluk. Besok kalau Seruni sudah bisa membaca, Seruni bisa berpetualang keliling dunia dari buku seperti Peluk.

              Akhir kisah telah dibacakan. Kisah itu berakhir tepat sekali di depan gerbang besar rumah Seruni. Kali ini lebih larut, tapi tetap saja seperti tidak ada yang menyambut Seruni atau mencari Seruni dari dalam rumah. Buku ‘titipan’ Peluk diserahkan oleh tangan kriput Kakek Abdi Azali.

“Te ... ter ... terima kasih, Peluk.”

Detektif ini akhirnya telah purna tugas. Mereka berdua saling memberi tatapan hangat. Seruni pun mengalirkan air mata. Sebuah tangis yang berbeda, tanpa merajuk, tanpa terisak. Seruni langsung masuk ke gerbang besar rumahnya. Kakek Ali juga berbalik badan. Hatinya berucap, tumbuhlah menjadi manusia yang seutuhnya, Seruni. Mereka hampir berpisah tanpa pamitan lagi, sampai Seruni berlari kembali dan memanggil kakek detektif itu, “Kakek!!!”

Kakek Ali menoleh, dan tiba-tiba gadis kecil berusia enam tahun itu telah tenggelam, mendekapnya. Sebuah kehangatan yang menantang dingin malam. “Terima kasih, Kakek.”

              “Kakek yang berterima kasih, Seruni.” Jawaban aneh dari Kakek Ali.

              Tanpa keheranan, dalam dekapan Seruni menyampaikan pertanyaan mendalam, “Apakah besok kita akan bertemu di taman lagi, Kek?”

              “Semoga saja, Seruni.”

Seruni akhirnya tersenyum. Gemas dan cantik wajahnya menjadi lebih sempurna. Mereka berdua tidak pernah berjumpa lagi setelah itu. Itulah pertemuan terakhir mereka, ditutup dengan perpisahan berupa hangatnya sebuah peluk.

***

Epilog

Seperti inilah hidupku; harus mandiri, harus peduli. Mau tidak mau aku harus rajin merapikan kamarku dengan kesadaran diriku sendiri. Kalau aku tidak peduli, siapa lagi? Papa? Mama? Mereka paling akan mengomel saja setiap pulang dari kantor. Mau berapa pun umurku aku akan tetap jadi anak kecil di mata mereka. Ya, memang sebenarnya ada Bi Siwi, tapi aku tidak boleh bergantung padanya. Lagi-lagi, semakin dewasa, aku harus semakin tumbuh jadi perempuan hebat yang peduli dan mandiri.

Hari libur sekolah ini kumanfaatkan untuk mengurus buku-buku milikku. Sejak umur tujuh tahun aku suka sekali dengan buku. Sekarang aku sudah punya banyak sekali. Saking banyaknya aku kekurangan tempat. Rak bukuku penuh – agak berantankan dan berdebu juga. Buku-buku lama kusimpan di kardus-kardus. Semua inilah yang harus kubereskan. Kemoceng jadi teman terbaik pada saat ini. Satu persatu buku kuusap dan kuelus dengan lembut. Kuurus dengan telaten supaya tidak ada lagi debu yang hinggap. Kardus-kardus kubuka. Di salah satu kardus, kutemukan sebuah buku usang, yang rasanya sangat dekat. Buku kisah fantasi. Aku menarik napas saat mengingat buku ini. Buku pertamaku. Kubuka lembaran demi lembarannya sambil senyam-senyum sendiri. Kunikmati semua isinya, sampai ketemukan sebuah surat terselip di akhir halaman. Tertulis untuk Seruni. Dahiku mengernyit saat kubaca isi surat itu, kerenungi, dan kudapati banyak kebenaran yang baru kutahu. Seperti kepingan puzzle yang tersembunyi. Sangat menyentuh. Di akhir surat, tertulis sebuah nama lengkap yang asing tapi akrab: dari Abdi Azali.

Tanpa pikir panjang aku langsung bangkit dan pergi. Pergi untuk mencari.

 – Bersambung

 

(Adaptasi dari Kafka and The Doll oleh Dora Diamant)     

Posting Komentar

0 Komentar