“Perpisahan adalah keniscayaan dari sebuah pertemuan.
Sesungguhnya, kehilangan adalah jalan untuk menemukan.”
Pengalaman seorang laki-laki tua yang lebih dari
setengah abad itu seharusnya sudah cukup membuatnya bijak dan paham secara
mendalam tentang apa arti dari kata-kata itu. Namun, mengerti sebuah nilai
kebijaksanaan, belum menjamin siapa pun untuk bisa cukup kuat berpegang pada
kebijaksanaan itu sendiri. Pertemuan, perpisahan, kehilangan; manusia datang,
manusia pergi, hal-hal tersebutlah yang berlalu lintas di benak kakek ini. Kembang-kempis
paru-parunya menarik napas panjang, menemaninya merenungi umur yang sudah
banyak berlalu, dan menikmati yang tinggal sedikit tersisa. Kakek itu sedang
duduk sendirian saja di sebuah bangku taman. Melamun saat sore di antara
bunga-bunga, kupu-kupu, dan anak-anak yang berlarian. Semua itu menjadi hiburan
tersendiri baginya yang sudah berusia senja. Di tangannya dia pegang sebuah
tongkat kayu untuk menopang tubuhnya yang bungkuk dan lemah. Di wajahnya
menggantung sebuah kacamata. Bermahkotakan topi pet untuk menaungi rambut putih
milik kepala yang penuh memori. Berbusana setelan sederhana nan elegan yang
cukup untuk membalut tubuh kurusnya. Disandarkannya punggung rapuhnya di bangku
taman. Sebuah bangku taman yang akan menjadi saksi sebuah pertemuan.
Lamunan laki-laki tua itu terpecah saat dia
menyadari bahwa tiba-tiba ada seorang anak perempuan kecil menempati sisi
kosong di sampingnya. Tidak ada salam atau teguran apapun, isak tangis dan
sengal napas yang menyapa. Kedua telapak tangan anak itu menutupi seluruh
wajahnya, kepalanya yang menunduk menjadikan rambutnya tergerai hingga seluruh
wajahnya sempurna tiada terlihat.
“Kenapa menangis, Nak?” tanya sang kakek karena
iba. Anak perempuan itu tidak kunjung menjawab, nada tangisannya malah naik
turun membuat pria tua itu bingung.
Setelah jeda beberapa saat, anak itu akhirnya mengatakan
sesuatu, “HI ... HILAAANG ...”
“Apanya yang hilang?”
Terbata-bata anak itu berkata, “Pe ... pe ...
pel....”
“Apa ...?” Dengan lembut sang kakek bertanya
memastikan.
“Peluk ....”
Mendengar jawabannya, lelaki tua itu semakin
bingung. Peluk? Hilang? Maksudnya bagaimana? Apa memang dunia anak kecil
selalu lebih membingungkan? Apa bahasa anak-anak zaman sekarang memang berbeda?
Menolah-noleh mencari barang kali ada orang tuanya.
“Nak, di mana ayah dan ibumu?” Kini yang lebih
penting adalah kenapa anak kecil ini sendirian.
Gadis kecil itu akhirnya melepas kedua telapak
tangan dari wajahnya. Dilihat dari perangai dan fisiknya, anak ini berusia
sekitar lima sampai enam tahun. Pipi tembam menggemaskan muncul di balik tirai
rambutnya, matanya hitam tajam tapi tengah sembab sebab tangis. Raut wajahnya
mengerut. Dia menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan tadi.
“Sendirian saja?”
Anak itu mengangguk.
“Siapa namamu, Nak?”
Dengan napas yang masih terisak, dia menjawab,
“Seruni.”
“Nama yang indah sekali, Nak.” Lelaki sepuh ini
berusaha menghibur. “Pasti sedih sekali ya kehilangan ‘peluk’ itu. Tapi kalau
kakek boleh tahu, peluk yang hilang itu apa, Nak, atau siapa?”
Sambil terisak-isak, dia menjawab, “Pe ... Peluk
itu nama boneka Seruni, Kek. Tadi Seruni sedang bermain bersama Peluk, lalu
saat Seruni membeli es krim, Seruni tinggal Peluk. Sekarang Peluk tidak tahu
pergi ke mana. Seharusnya tadi Seruni mengajak Peluk saja untuk beli es krim.”
Suasana lengang sesaat. Seperti ada suara hati
yang ingin kakek ini ikuti. Setelah merenung sesaat, lelaki tua bertopi itu
memilih untuk berdiri dan menawarkan bantuannya. Dia ulurkan tangan keriputnya
untuk Seruni. “Apakah kakek boleh ikut
membantu mencarinya?”
Seruni masih terdiam. Kakek itu kembali bertanya, “Peluk
Seruni memang seperti apa?”
“Beruang ....”
Akhirnya Seruni pun ikut berdiri. Dia menggandeng
tangan kakek tua itu dan bertanya, “Kakek pasti orang baik. Siapa nama kakek?”
Kakek itu tersenyum mendengar ucapan polos dari
Seruni, dia pun menjawab, “Ali.”
Kakek Ali dan Seruni dipertemukan oleh takdir
melalui sebuah kehilangan. Mereka meninggalkan bangku taman itu. Berusaha
mengais-ngais kemungkinan kecil di hadapan kemustahilan yang kian nyata.
Perjalanan mencari boneka bernama ‘Peluk’ entah bagaimana nanti alurnya.
Mereka mulai mencarinya. Di tengah ramai
pengunjung, menyusuri dari sudut ke sudut dan dari rumput ke rumput.
Semak-semak disibak, tiang-tiang lampu sampai tong sampah juga dijamah. Wajah Seruni
belum menerbitkan senyum. Matahari perlahan membawa cahaya ikut tenggelam di
ujung cakrawala. Diubahnya hari menjelma malam. Sebelum sinar benar-benar
sirna, Kakek Ali menghentikan pencarian. Berdiri sejenak. Dia memandangi wajah
mungil Seruni yang ikut gelap. Sebelum dia lontarkan pertanyaan kepada Seruni,
gadis kecil itu yang lebih dahulu bertanya kepada Kakek Ali.
“Kenapa berhenti, Kek?”
Memanglah baterai tenaga mereka berdua jauh
berbeda. “Seruni memangnya tidak lelah?” Suasana hening, Seruni masih terdiam.
“Seruni masih mau mencari?”
Seruni mengangguk. Wajah polosnya menggurat sedih.
Kaca-kaca di matanya menyiratkan rasa lelah dan sedih. Seperti dia belum bisa
menerima kenyataan bahwa bonekanya telah hilang. Sangkalan. Rasanya kalau tidak
dihentikan oleh Kakek Ali, sampai satu abad pun Seruni akan terus melakukan
pencarian.
“Ini sudah mulai malam, Seruni ....”
Mulut anak itu mencucu. Mulai merajuk. Matanya pun
memerah. Tampaknya hampir turun hujan dari matanya.
“Seruni tidak dicari oleh orang tua?”
Seruni menggeleng. Suara Seruni terpatah-patah
menahan tangis. “Pokoknya, Seruni tidak mau pulang! Seruni mau pulang kalau ada
Peluk, kalau tidak ada, tidak mau! Aaa ...!” Rengek itu sudah tidak tertahan
lagi.
Kakek Ali tidak sepenuhnya mengerti apa yang
dimaksudkan oleh Seruni. Dia juga tidak mengerti bagaimana alur kisah ini
berjalan; kenapa dia terdorong untuk peduli pada anak kecil ini? Siapa anak
kecil ini? Takdir apa yang mempertemukan mereka? Jawaban apa yang telah
menunggu di akhir misteri pertemuan ini? Sepaham Kakek Ali, dirinya sekarang
sudah tidak sanggup lagi melanjutkan pencarian, dan sepahamnya Seruni juga harus
mau berhenti, sudah malam. Kakek tua itu duduk di atas rerumputan taman. Dia
letakkan tongkat kayunya, dia lepas topi petnya. Tangan keriput Kakek Ali
menggapai lengan mungil Seruni, menuntunnya untuk ikut duduk.
“Pasti boneka ini penting sekali ya untuk Seruni?”
“Iyaaa!” Air mata itu sudah tidak bisa dibendung
lagi.
Kakek Ali dengan lembut mengelus rambut halus
Seruni. Gadis kecil itu menundukkan kepalanya. “Apakah itu hadiah dari orang
tua?”
“Bukan, pe ..., pe, peluk itu dulu hadiah dari
kakek Seruni,” ucapnya terbata-bata sambil menangis. “Du ... dulu Kakek Seruni
yang selalu menemani Seruni bermain. Lalu kakek membawakan Peluk untuk jadi
teman Seruni. Kata kakek Seruni dia berasal dari tempat yang jauh sekali. Peluk
lucu sekali, lembut sekali untuk dipeluk. Jadi kata kakek, namanya Peluk. Bagus
sekali namanya, kan? Seruni sayang sekali sama Peluk. Kakek sekarang sudah tidak
ada. Seruni tidak punya teman di rumah. Seruni dan Peluk suka bermain bersama, belajar
bersama, dimarahi Papa dan Mama bersama-sama. Teman Seruni cuma Peluk, Kek.
Seruni tidak mau pulang!”
Kakek tua itu ingin kembali menilik seberapa
penting Peluk bagi Seruni, “Berarti Seruni benar-benar masih mau mencari
Peluk?”
“Iya. Seruni tidak mau pulang. Seruni mau mencari
lagi.” Gigih sekali.
“Tapi kan sudah malam, dingin, nanti taman juga
ditutup, pengunjung akan pulang semuanya. Tidak baik kalau Seruni mau terus
mencari. Ayo pulang ya, Nak.”
“Tidak mau pulang, Seruni mau Peluk, Kek.”
Di benak orang dewasa, kehilangan barang seperti
ini tidaklah rumit. Selama ada uang, beli saja barang yang baru, urusan
selesai. Sederhana sekali, bukan? Namun, sejatinya barang yang dimiliki
seseorang tidak melulu tentang harga materil saja. Lihatlah Seruni, hatinya
yang masih bersih mendikte benak angkuh orang dewasa yang terkadang lupa bahwa
di balik segala hal yang terlihat ada kisah-kisah yang terlampau berharga dan
membuat satu dua hal tidak ternilai dengan apapun. Ini bukan tentang siapa yang
masih anak kecil dan tentang siapa yang sudah dewasa. Keterikatan batin yang
erat dengan barang atau orang tidak bisa ditolak oleh hati mana pun. Kakek Ali
– dengan umur dan pengalamannya – sudah cukup bijaksana untuk memahami itu, dia
tidak akan mengatakan ke Seruni untuk jangan menangis, tinggal beli yang baru
saja. Tidak. Sambil mendengar isak tangis Seruni, Kakek Ali merenung dan
berpikir. Dia akhirnya memilih untuk melakukan sesuatu.
“Seruni tahu, Kakek punya rahasia.” Kakek Ali merayu
Seruni dengan sebuah cara. Tapi Seruni masih acuh, dia tidak tertarik dengan
kata-kata sang kakek. “Kakek ini sebenarnya detektif, Seruni.”
Mendengar kosakata sangar itu keluar, Seruni mulai
melirik. “Detektif?”
“Seruni tahu detektif, kan?”
“Tahu. Detektif itu yang pake topi bundar sama jas
panjang, terus mereka suka cari-cari petunjuk pakai kaca pembesar. Yang pintar
nyari orang jahat atau barang yang hilang, seperti main teka-teki, gitu, kan?! Kakek
beneran detektif?”
“Iya, lihat, Kakek ini detektif. Jadi Kakek bisa
membantu Seruni mencari Peluk. Kakek bisa mencari dengan alat-alat canggih
kakek, lalu mencari jejak lewat teman-teman detektif lainnya. Jadi nanti kita
bisa tahu ke mana Peluk pergi?” Kebetulan pakaian Kakek Ali saat ini mendukung
ucapannya.
Wajah Seruni mulai mengguratkan ekspresi tenang –
walau belum tersenyum. Baginya ucapan
Kakek Ali sangat meyakinkan. “Peluk memangnya pergi ke mana, Kek? Memangnya
kita bisa tahu?”
“Nanti bisa kita cari, tapi Seruni kali ini pulang
dulu. Teman-teman detektif kakek sudah istirahat malam ini. Besok kita akan
mencari lagi ya, kita akan bertemu lagi di taman ini ya?”
Tawaran yang menarik. Gadis kecil ini akhirnya
terbujuk, “Tapi kakek janji akan terus temani Seruni mencari Peluk? Janji kan
besok pasti datang?”
“Janji.”
Pertemuan itu berakhir ketika Seruni akhirnya mau
untuk kembali pulang. Karena sendirian, Kakek Ali yang menemani Seruni.
Rumahnya ternyata tidak jauh dari taman. Di depan gerbang tinggi dan bangunan
megah, Kakek Ali melepas Seruni dan beranjak pulang. Mata Kakek Ali memandangi
sesaat rumah itu, seperti ada sesuatu yang melintas di benaknya. Seruni
langsung masuk, dan tidak ada adegan pamitan.
***
Buku-buku bertaburan di
atas sebuah meja kayu, beberapa majalah usang tidak absen menyelinap di antara
tumpukannya. Letaknya yang ada di tengah ruangan memberikan aura prestisius untuk
meja kantor itu. Di sudut meja bertengger sebuah mesin ketik yang menambah
kesan klasik. Ada foto usang berisi beberapa gambar manusia terabadikan di
dalamnya. Ruangan pribadi ini juga diisi rak yang dihiasi buku-buku filsafat,
hukum, politik, ekonomi, psikologi, pendidikan, jurnalistik, dan bermacam-macam
urusan berat duniawi lainnya. Di sisi samping, rak lemari kaca elegan berdiri,
tersimpan di dalamnya sederet kamera, foto-foto, piala, dan cinderamata.
Pigura-pigura yang melekat di dinding mengabadikan warna-warni kliping berita
dengan berbagai headline di dalamnya. Di atas semua barang penuh
kenangan di ruangan ini, hinggapnya debu tidak terelakkan. Yang tidak kalah
penting, terpasang juga sebuah piagam penghargaan – yang juga berdebu –
bertuliskan “Abdi Azali”.
Beberapa jengkal dari meja kerja itu, Kakek tua
bernama Abdi Azali tengah tenggelam ke dalam secangkir kopi yang ada di genggamannya.
Di atas sofa, dia merenung ditemani seruputan-seruputan yang pahit dan hitam. Memandang
dari jengkalan rumah sebuah bayang-bayang yang telah hilang. Masih mengenakan
busana yang sama, Kakek Ali sedang merumuskan sesuatu. Setengah kopi sudah masuk ke dalam otak dan
berhasil mengisi tangki ide. Abdi Azali bangkit dari sofa, dia berpindah ke
balik meja kerja tua, yang sudah lama tidak digunakan bekerja. Diletakannya topi
pet yang sedari tadi menjadi mahkota. Telunjuk dan ibu jarinya mengusap-usap
jenggot tipis. Dia bersiap untuk melakukan sesuatu, dia melirik ke arah mesin
ketik usang – ah, mungkin tidak dengan ini. Diambilnya secarik kertas
dari rak, juga sebatang pena.
Beberapa malam terakhir, yang dihirup Kakek Ali
hanyalah dingin, hening, dan sepi mendalam. Kali ini dia seperti menjadi muda lagi.
Ruangannya meriah oleh ide di kepalanya. Bersama lampu ruangan yang berpendar
hangat, pijaran di dalam otak tuanya serasa kembali menyala. Jemari keriputnya
menari-nari. Demi Seruni, Abdi Azali kembali melakukan kesibukan lamanya: menulis.
***
Janji adalah janji. Selalu saja. Pastilah berisi
kehormatan dan harga. Sekali pun janji itu kepada anak kecil. Di senja yang
sama, di bangku yang sama, Kakek Ali kembali bertemu dengan Seruni. Kali ini
wajah Seruni sedikit lebih cerah, sebuah wajah yang percaya bahwa asa itu ada. Walau
senyum tak kunjung menampakkan fajarnya.
“Bagaimana, Kakek detektif? Ayo kita mulai cari
Peluk!” tagihnya.
Kakek detektif yang dipanggil itu tersenyum lalu
memberi tawaran, “Bagaimana kalau kita beli es krim dulu, Seruni?”
“Es krim? Hmm ....” Seruni berpikir sejenak. “Tapi
setelah itu kita akan mencari Peluk, kan?”
“Iya. Seruni tahu, kakek sudah mendapatkan kabar
tentang Peluk.”
“Benar???” Mata Seruni berbinar-binar.
Dua cone es krim telah mendarat di
genggaman dua manusia yang umurnya terpaut jauh ini. Mereka menikmati kesegarannya
sambil duduk di atas rumput. Hampir saja Seruni terlupa akan misi pencarian
Peluk, sebab terlena oleh nikmatnya es krim di tangannya. Kakek detektif –
dengan mulut dan lidah yang masih sehat – tidak butuh waktu lama untuk
menghabiskan es krim itu.
“Kakek ... slurp, jadi kita akan – slurp
– mencari Peluk dari mana?” tanya Seruni sambil sibuk menggapai halus es
krim dengan lidahnya.
Kakek Ali merespon pertanyaan itu dengan mengambil
sesuatu dari balik setelannya. Rupanya lipatan kertas, tampak ada tulisan
tangan di atasnya. “Lihat, Kakek mendapatkan surat. Seruni tahu ini surat dari
siapa?”
Awalnya Seruni menggeleng. Benak Seruni sejurus
kemudian membesitkan sesuatu. “Apakah surat dari Peluk?”
“Iya, benar. Seruni sudah bisa membaca?”
“Seruni
belum bisa membaca, Kek.” Seruni menggeleng.
Kakek Ali menatap dalam-dalam mata anak kecil itu.
“Seruni mau Kakek membacakannya untuk Seruni?”
Seruni mengangguk kencang. Tangannya masih
menggenggam es krim, lidahnya juga masih sibuk menjilatinya. Tapi mata Seruni
fokus tertuju pada kertas itu. Lenggang, hanya ada suara kertas yang dibuka
lipatannya.
“Hai, Seruni! Iya, ini Peluk. Maaf, Peluk tidak
langsung mengabari Seruni. Di taman, Peluk kemarin bertemu dengan saudara Peluk.
Dia sangat merindukan Peluk dan Peluk juga sangat merindukannya. Peluk sangat
bahagia bisa bertemu saudara Peluk itu. Sudah lama sekali kami tidak berjumpa,
Seruni. Dia mengajak Peluk pulang untuk menemui keluarga yang lain. Peluk tidak
bisa menahan diri, Peluk sangat rindu keluarga. Peluk ingin pulang, Peluk harus
pulang. Peluk tidak tahu sampai berapa lama perjalanan ini, Seruni. Maafkan
Peluk karena tidak berpamitan. Peluk sekarang sedang melakukan perjalanan
panjang. Doakan Peluk, Seruni, dan jangan menangis, Seruni anak yang kuat. Peluk
akan memberi kabar dan cerita untuk Seruni. Peluk akan mengajak Seruni ikut
berpetualang bersama Peluk lewat surat-surat Peluk ini.
Tangis Seruni tak pelak merembes di pipinya. “Peluk
.... Ternyata dia sedang pergi bersama saudaranya.” Seruni mengusap air matanya
– berusaha kuat. Dengan suara lembut dan lugu, Seruni berkata, “Semoga Peluk
baik-baik saja. Seruni rindu sekali dengan Peluk. Seruni juga khawatir sekali.
Tapi Seruni senang karena sudah tahu kabar Peluk. Tapi Peluk pulang ke mana?
Apakah dia akan baik-baik saja?”
“Kakek juga belum tahu, tapi
bagaimana perasaan Seruni ketika tahu kabar Peluk?”
Seruni menganggukkan
kepala beserta segenap geraian rambut hitam lembutnya. Jawaban ini membuat
Kakek Ali bertenang hati. Seruni rasanya belum puas. “Memangnya bagaimana
caranya Peluk menulis surat? Bukannya sedang dalam petualangan? Memangnya Peluk
membawa kertas dan pena?”
Kakek Ali termenung. Inilah
ajaibnya anak kecil, mereka akan selalu membawa kejutan tak terduga. “Sebenarnya
Peluk tidak membawanya, tapi teman detektif kakek yang memberi bantuan.”
Seruni mengangguk seperti paham dan percaya. Masih
belum puas dia bertanya lagi, “Apakah Kakek bisa mengirimkan pesan untuk Peluk
juga dari Seruni?”
Kakek Ali terdiam
sejenak lalu mengangguk. “Kalau begitu, setiap hari kita bisa bertemu lagi di
taman ini untuk mendapatkan kabar perjalanan dari Peluk. Bagaimana, Seruni?”
Seruni menatap mata sang
kakek dan mengangguk tenang – walau belum tersenyum. Saat jingga langit semakin
redup dan menjelma hitam, Seruni diantar pulang oleh tuntunan tangan Kakek Abdi
Azali – lagi. Perjalanan kaki yang pelan terhampar setelah mendengar perjalanan
fiksi yang berisi ‘khayalan’. Di depan gerbang tinggi rumah Seruni, mereka
berpisah tanpa adegan pamitan – lagi. Ketika punggung Seruni telah hilang dari
balik pintu, Kakek detektif itu memandangi bangunan itu untuk merenung – lagi. Dia
menghela napas dan bertolak pulang.
Abdi Azali, pensiunan
‘detektif’ itu menghabiskan kesendirian malamnya dengan mengundang imajinasi untuk
berpesta di dalam kertas yang penuh goresan tinta. Di rumah dengan hinggapan
debu yang tak lagi terurus, sekali lagi dia ciptakan sebuah mahakarya (atau
kebohongan?).
Hari baru datang
menggelar ribuan detik baru yang penuh dengan misteri. Di senja yang sama, di
bangku yang sama, mereka berdua bertemu lagi. Wajah Seruni masih sama. Kakek
Ali masih dengan penampilan khasnya; klasik bak detektif sungguhan. Kembali dia
keluarkan sebuah surat dari balik setelan jasnya. Surat dari Peluk yang kedua:
“Hai, Seruni. Terima
kasih, Seruni ikut senang dengan kabar Peluk. Terima kasih sudah
mengkhawatirkan Peluk juga. Peluk benar-benar baik-baik saja di perjalanan ini.
Seruni belum tahu ke mana Peluk pulang bersama saudara Peluk? Untuk pulang, Peluk
harus menempuh perjalanan ke barat. Perjalanan yang panjang dan melelahkan.
Peluk harus melewati dunia-dunia baru yang belum pernah Peluk lihat sebelumnya.
Sekarang Peluk harus melewati padang rumput yang sangat luas. Sejauh mata
memandang hanya ada ilalang. Terlihat ada banyak sekali binatang di sini. Ada
jerapah, singa, gajah, banteng, rusa, zebra, dan masih banyak yang lainnya. Di
atas juga banyak burung terlihat beterbangan, bermacam-macam sekali, Seruni. Di
depan sana, Peluk melihat ada gunung yang menjulang. Tinggiii sekaliii. Peluk
akan mendaki gunung itu. Mungkin besok pagi. Karena malam ini Peluk dan saudara
Peluk akan istirahat terlebih dahulu. Seruni tahu tidak? Malam hari di alam
liar seperti ini sangat berbahaya. Jadi, Peluk harus berhati-hati sekali. Jadi
Peluk meminta doa dari Seruni, semoga Peluk dan saudara Peluk baik-baik saja.
Apa kabar Seruni? Seruni baik-baik saja, kan? Seruni yang kuat sudah tidak
sedih, kan?
Seruni memang tidak sedih, setidaknya dia
tampak antusias mendengarkan petualangan Peluk di alam lepas sampai akhirnya terbaca
sebuah pertanyaan di akhir surat. Seruni memang tidak sedih, setidaknya memang
tidak ada air mata yang mengalir ke pipinya. Namun, air di matanya saat ini laksana
banjir yang kesulitan ditahan oleh bendungan pelupuk mata. “Seruni baik kok,
Peluk.” Suara lembut yang nyaris parau itu diikuti gerakan lengan yang menyapu
mata. Seruni tampak tengah belajar untuk tegar. Bibir mungil Seruni mulai
teriris mencipta senyum tipis. Sebuah perkembangan.
Hal ini menjadi rutinitas. Di malam, sebuah kisah
petualangan ditulis oleh tangan keriput yang pada waktunya nanti akan berhenti
menari. Pagi dan siang adalah bentangan alur kisah petualangan boneka beruang
bernama Peluk. Sore harinya, kisah khayal itu dibacakan. Diakhiri dengan adegan
mengantar pulang ke rumah Seruni, yang tidak ada pamitan di ujungnya. Berulang
terus seperti ini.
Taburan hari menumbuhkan pekan. Tumbuhan pekan
menjelma hutan bertajuk bulan. Tak terasa waktu yang berlalu juga menyumbang
angka untuk umur mereka. Kakek Ali dan Seruni semakin akrab, semakin hangat.
Laksana kakek dan cucu yang sesungguhnya. Surat demi surat dibacakan. Kisah Peluk
menempuh perjalanan ke barat dipenuhi petualangan dan tantangan. Setelah
melewati savana, Peluk mendaki gunung, menerobos hutan, menyelami danau,
berlayar mengarungi lautan; gurun, kota, desa, dan masih banyak lagi. Serangan
dari manusia, binatang, dan hantu mendatangi Peluk dan saudaranya. Dengan epik
dia lawan. Jatuh bangun Peluk terkisahkan dengan megah. Tak luput Seruni dan
Peluk saling bertukar rasa dan kabar.
Bawah tanah kesadaran Seruni perlahan ditanami
benih-benih kebijaksanaan, Seruni belajar tentang dunia, dan kehidupan.
Dihirupnya pelajaran-pelajaran moral tentang nilai keikhlasan, kesabaran,
tanggung jawab, sampai rasa syukur. Setiap kali Kakek Ali membacakan surat, mata
Seruni tampak ikut menikmati sajian lezat yang dikunyah telinganya, karena
saking serunya kisah perjalanan Peluk. Hampir saja Seruni lupa bahwa dia sedang
kehilangan. Senyuman Seruni melebar hari demi hari, sampai pada suatu akhir
senja, Seruni bertanya, “Memang asyik sekali petualangan Peluk. Tapi Peluk
nanti pasti akan kembali ke Seruni kan, Kek?”
Kakek ‘detektif’ itu terdiam. Melihat setiap sisi
wajah Seruni yang penuh harap. Senyum riang kembali menguap darinya. “Nanti
coba kakek tanyakan ya, Seruni.” Hanya itu yang bisa terucap oleh Kakek Ali.
Dia mulai menyadari bahwa kisah Peluk ini sesegera mungkin harus menemukan
akhir terbaiknya. Batuk yang semakin keras, kepala pening, kaca mata yang
semakin kabur, tongkat kayu yang kian lemah; Abdi Azali memantapkan diri untuk
menyelesaikan kisah ini untuk menjadi akhir dari kisahnya sendiri.
Perjalanan pulang seperti biasa. Dilanjutkan
sebuah malam panjang untuk menuliskan penutup dari sebuah kisah yang telah dia
mulai. Jemari Kakek Ali sudah tidak tangguh lagi untuk menari. Tapi tulisan ini
harus jadi. Harga mati. Malam panjang yang menguras emosi.
Senja yang kesekian kalinya, di bangku taman yang
sama. Bagi Kakek Ali, menulis akhir cerita selalu saja tidak mudah, sangat
menguras tenaga. Apalagi kini usianya sudah lebih senja dari suasana dan waktu
yang tengah meliputinya. Namun karena pengalaman panjang, tulisan itu tetap
bisa ditaklukan olehnya walau harganya mahal. Kali ini dia datang tidak hanya
dengan surat, tapi ada sesuatu yang lain.
Seruni masih dengan wajah yang datar. Dia yang
masih sebelia itu berlatih menampung dan mengatur naik turun sebuah perasaan.
Harap-harap cemas. Senyum yang pernah terbit beberapa waktu terakhir, terbenam
terlampau cepat. Pahit atau manis. Indah atau sampah. Bagaimanapun, kisah harus
diakhiri.
Dari balik setelan jas, surat dari Peluk yang
terakhir muncul dan siap disabdakan. Sampai Seruni memotong terlebih dahulu,
“Kenapa suratnya seperti lusuh, Kek, apakah terkena hujan?”
Kakek itu tersenyum dan menjawab seadanya. “Iya.”
Lalu dia mulai membaca surat, Seruni mendengar dengan seksama.
Seruni, Peluk sudah sampai di kampung
halaman ...
Seruni memotong lagi, “Wah, Peluk akhirnya sudah
sampai!” Kakek Ali menebar senyum hambar. Surat itu dia baca lanjutannya.
Di sini Peluk bertemu dengan keluarga. Setelah
sekian lama, Peluk bisa bertemu dengan keluarga Peluk. Peluk sangat senang di
sini, dan setelah berpikir, akhirnya Peluk harus mengambil sebuah keputusan. Maafkan
Peluk, Seruni. Peluk tidak bisa kembali pulang ke Serun ...
“TIDAK! TIDAK BOLEH!!!” Seruni langsung menyambar,
sebuah fajar riang yang tadi mulai muncul diterjang mendung berisi petir. Kakek
Ali tidak heran. Dia sudah bersiap bahwa anak ini akan pundung. Tidak mungkin
tidak. Dia yakin telah menyiapkan akhir cerita terbaik.
“TIDAK MUNGKIN, KEK! Peluk sayang Seruni, Peluk
pasti mau pulang. Ada apa dengan Peluk? Kenapa? Tidak mungkin!” Seruni merajuk
dan menangis sejadi-jadinya. Air matanya menghujani rerumputan taman. Isaknya
semakin deras. “Apakah benar ini semua dari Peluk? Kakek tidak bohong, kan?
Kakek kan orang baik.”
Meski tertohok, Kakek ‘detektif’ ini berupaya
membujuk anak kecil polos itu, “Seruni ..., tapi suratnya belum selesai ....”
“AAA!!!” Seruni tidak peduli lagi, tidak ada lagi
harapan di balik parau jeritnya.
Abdi Azali ikut iba melihat tangis Seruni. Tapi
sebelum pertemuan ini, bola mata kakek tua itu telah menghabiskan air matanya
hingga tetes yang benar-benar terakhir. Sudah tiada lagi yang tersisa. Tiada
lagi yang akan menetes.
Senja usai. Malam dimulai. Tapi Seruni masih saja menetap
di hadapan telungkup lengan mungilnya yang basah. Tidak ada perkembangan, baik
dari rajukan Seruni, maupun dari pembacaan kisah Peluk. Satu-satunya hal yang
pasti, dingin malam adalah musuh terburuk bagi uban Kakek Ali yang sudah
rentan.
Menit-menit membiarkan
Seruni terus merengek. Sampai akhirnya dia kelelahan. Dia hapus air matanya,
bangkit dari duduk lalu berjalan pulang. Kekecewaan itu membuatnya tak menghiraukan
Kakek Ali. Langkah-langkah kecil Seruni mengeringkan sisa air matanya. Kakek
Ali tidak mungkin membiarkan gadis kecil berjalan sendirian tanpa adanya orang
dewasa. Langkah-langkah lemahnya menyeimbangi laju anak kecil itu, dia mengikuti
dari belakang. Sampai tiba-tiba Seruni memutuskan untuk menghentikan
langkahnya. Berdiri dan memandangi Kakek Ali yang dari tadi dia tahu terus
mengikutinya. Sorot mata gadis kecil ini mengisyaratkan sesuatu pada Kakek Ali.
“Suratnya belum selesai,
Nak.” Kakek Ali menunjukkan kertas lusuh itu. “Apakah Seruni mau mendengarnya
sampai habis?” Mendengar itu akhirnya Seruni mengangguk pelan. “Mari Kakek
bacakan sambil jalan ya, Seruni.”
Sekarang Peluk sangat bahagia bersama
keluarga Peluk. Peluk bahagia sekali setiap kali mendapatkan kabar baik dari
Seruni, apakah Seruni juga bahagia jika Peluk bahagia? Hari-hari Peluk bersama
Seruni sangat luar biasa sekali! Kita bermain bersama, belajar bersama, sampai
dimarahi Papa dan Mama bersama-sama. Wah, seru sekali. Seruni kita tidak
seharusnya sedih karena kita telah berpisah, tapi kita seharusnya bersyukur
karena kita pernah bertemu. Apakah Seruni hanya bisa bahagia ketika bersama
Peluk saja? Memang Seruni tidak lagi bersama Peluk, tapi jangan sampai Seruni
lupakan Peluk, dan lupa bagaimana caranya memeluk diri Seruni sendiri.
Peluk juga merindukan Seruni. Mungkin
Seruni sekarang belum bisa terlalu paham. Namun, saat Seruni mau berlapang dada
menerima kepergian Peluk, di saat itulah Peluk akan kembali dan terus menetap
ke dalam diri Seruni dengan wujud lain yang lebih indah yaitu sebagai sebuah
ingatan yang penuh dengan pelajaran.
Setahu Peluk, Seruni adalah gadis yang
kuat dan hebat. Jadi, Seruni harus terus jadi Seruni yang kuat dan hebat
seperti yang Peluk kenal. Ini ada buku kenang-kenangan dari Peluk. Besok kalau
Seruni sudah bisa membaca, Seruni bisa berpetualang keliling dunia dari buku seperti
Peluk.
Akhir kisah telah
dibacakan. Kisah itu berakhir tepat sekali di depan gerbang besar rumah Seruni.
Kali ini lebih larut, tapi tetap saja seperti tidak ada yang menyambut Seruni
atau mencari Seruni dari dalam rumah. Buku ‘titipan’ Peluk diserahkan oleh
tangan kriput Kakek Abdi Azali.
“Te ... ter ... terima kasih, Peluk.”
Detektif ini akhirnya telah purna tugas. Mereka
berdua saling memberi tatapan hangat. Seruni pun mengalirkan air mata. Sebuah
tangis yang berbeda, tanpa merajuk, tanpa terisak. Seruni langsung masuk ke
gerbang besar rumahnya. Kakek Ali juga berbalik badan. Hatinya berucap, tumbuhlah
menjadi manusia yang seutuhnya, Seruni. Mereka hampir berpisah tanpa
pamitan lagi, sampai Seruni berlari kembali dan memanggil kakek detektif itu,
“Kakek!!!”
Kakek Ali menoleh, dan tiba-tiba gadis kecil
berusia enam tahun itu telah tenggelam, mendekapnya. Sebuah kehangatan yang
menantang dingin malam. “Terima kasih, Kakek.”
“Kakek yang berterima
kasih, Seruni.” Jawaban aneh dari Kakek Ali.
Tanpa keheranan, dalam dekapan
Seruni menyampaikan pertanyaan mendalam, “Apakah besok kita akan bertemu di
taman lagi, Kek?”
“Semoga saja, Seruni.”
Seruni akhirnya tersenyum. Gemas dan cantik
wajahnya menjadi lebih sempurna. Mereka berdua tidak pernah berjumpa lagi
setelah itu. Itulah pertemuan terakhir mereka, ditutup dengan perpisahan berupa
hangatnya sebuah peluk.
***
Epilog
Seperti inilah hidupku; harus mandiri, harus peduli.
Mau tidak mau aku harus rajin merapikan kamarku dengan kesadaran diriku
sendiri. Kalau aku tidak peduli, siapa lagi? Papa? Mama? Mereka paling akan
mengomel saja setiap pulang dari kantor. Mau berapa pun umurku aku akan tetap
jadi anak kecil di mata mereka. Ya, memang sebenarnya ada Bi Siwi, tapi aku
tidak boleh bergantung padanya. Lagi-lagi, semakin dewasa, aku harus semakin tumbuh
jadi perempuan hebat yang peduli dan mandiri.
Hari libur sekolah ini kumanfaatkan untuk mengurus
buku-buku milikku. Sejak umur tujuh tahun aku suka sekali dengan buku. Sekarang
aku sudah punya banyak sekali. Saking banyaknya aku kekurangan tempat. Rak
bukuku penuh – agak berantankan dan berdebu juga. Buku-buku lama kusimpan di
kardus-kardus. Semua inilah yang harus kubereskan. Kemoceng jadi teman terbaik pada
saat ini. Satu persatu buku kuusap dan kuelus dengan lembut. Kuurus dengan
telaten supaya tidak ada lagi debu yang hinggap. Kardus-kardus kubuka. Di salah
satu kardus, kutemukan sebuah buku usang, yang rasanya sangat dekat. Buku kisah
fantasi. Aku menarik napas saat mengingat buku ini. Buku pertamaku. Kubuka
lembaran demi lembarannya sambil senyam-senyum sendiri. Kunikmati semua isinya,
sampai ketemukan sebuah surat terselip di akhir halaman. Tertulis untuk Seruni.
Dahiku mengernyit saat kubaca isi surat itu, kerenungi, dan kudapati banyak
kebenaran yang baru kutahu. Seperti kepingan puzzle yang tersembunyi.
Sangat menyentuh. Di akhir surat, tertulis sebuah nama lengkap yang asing
tapi akrab: dari Abdi Azali.
Tanpa pikir panjang aku langsung bangkit dan
pergi. Pergi untuk mencari.
– Bersambung
(Adaptasi dari
Kafka and The Doll oleh Dora Diamant)
0 Komentar