Kepada Yang Menamakan Dirinya Hamba
Oleh: Percival
Azzam kembali
menatap cermin untuk kesekian kali, merapikan rambut, menata pakaian dan
kemudian kembali memakai parfum. Sepersekian detik kemudian menghembuskan nafas
pendek, hufft… sudah waktunya mengajar. Setelah itu ia pun berlalu keluar
kamar, dan menuju kelas. Dengan ekspresi yang disemangat-semangati, dia menyapa
murid-murid dan memulai untuk mengajar. Pelajaran Bahasa Arab.
Mengajar
anak-anak kelas 2 KMI (setara dengan kelas 2 SMP) membuatnya sedikit melupakan pertanyaan
yang sering kali mengganggunya akhir-akhir ini. Seusai mengajar dan mengucapkan
salam, Azzam pun melangkah keluar dan meninggalkan kelas. Di perjalanan menuju
kamar, dia disapa oleh rekan mengajar sesama guru, basa-basi menanyakan kabar
kemudian melontarkan pertanyaan yang membuatnya kembali termenung dan sejurus
kemudian menjawab dengan asal. Ya, pertanyaan yang mengganggunya belakangan
ini, tentang masa depannya yang masih belum ada kejelasan. Apakah lanjut di dalam
atau di luar pondok?
Hari
terakhir sebelum perpulangan, Azzam masih bimbang menentukan pilihannya.
Setelah mendengar pesan & nasehat kiai sebelum perpulangan santri tentang
hakikat hidup, sejurus kemudian berpikir seraya bergumam hmm benar juga,
ternyata aku sudah lama melupakan pertanyaan itu. Dengan mengucap doa dalam
hati, ia kemudian mengabarkan ke teman-temannya bahwa dia akan melanjutkan
pengabdian —
di luar pondok.
Sebenarnya
dia dari dulu sudah bertanya tentang banyak hal, dan kebanyakan dari
pertanyaan-pertanyaan itu berujung dengan jawaban yang menurut dia sebagian
besar memuaskan, sebagian lagi masih ia cari jawabannya hingga sekarang. Salah
satunya adalah pertanyaan yang membuat dia berada di titik ini. Ya, satu
pertanyaan yang melatarbelakanginya masuk ke ranah pondok pesantren yang
sebelumnya tidak pernah terbesit sama sekali di otaknya sekalipun. Secara dia
merupakan anak yang dikenal tertarik dengan bidang teknologi, sains, dan
videografi. Sifatnya pun selalu merencanakan apapun dari hal-hal terkecil
maupun hal-hal besar ke depannya. Otomatis rencana masuk pondok adalah hal yang
mengagetkan semua orang.
Setelah
mendapatkan segala sesuatu yang dia inginkan, apa yang seseorang itu rasakan?
apakah puas karena berhasil meraih semua ambisinya? atau justru merasa hampa?
Kemudian
pertanyaan itu berujung dengan kesimpulan yang menurutnya sampai saat ini
menjadi jawaban yang paling masuk akal. Dia meninggalkan teman-temannya,
keluarganya, dan siapapun yang mengenalnya di kampung halamannya untuk membuktikan
bahwa jawaban yang dia yakini selama ini adalah benar.
Azzam pun
pergi. Pergi meninggalkan semua. Meskipun dia tahu keputusannya saat itu sangat
mengejutkan banyak orang, termasuk si dia yang selalu menjadi alasannya tetap
semangat menjalani kehidupan sekolah selama 3 tahun terakhir. Belakangan baru
dia ketahui bahwa, ternyata juga pergi untuk melanjutkan studi ke luar pulau
sama sepertinya. Dia yang seperti matahari. Selalu memberi kehangatan dan aura
positif di setiap kehadirannya. Selalu memancarkan kesan ramah di setiap
senyumnya. Dia yang selalu menjadi bintang. Baik di dalam kelas maupun di luar
karena prestasi dan prestisenya. Dan tentu saja menurut Azzam ‘dia’ sulit
digapai.
Satu tahun berlalu
setelah keputusanya untuk melanjutkan kehidupanya di luar pondok. Azzam
sekarang sudah mantap untuk melanjutkan studinya ke negeri para Nabi. Dengan
bekal lahir batin yang menurutnya sudah cukup, dia memantapkan kembali niatnya
di awal untuk menuntut ilmu. Dengan membaca basmalah di dalam hati ia
kemudian berkata lirih, aku akan menyelesaikan apa yang sudah aku mulai. Menurutnya
pengalaman yang dia dapat masih belum cukup ketika semasa di pondok dulu,
sehingga ia memutuskan merantau (lagi). Kali ini ke tempat yang lebih jauh lagi
dari tanah kelahirannya. Tujuannya kali ini: Mesir.
Di Mesir,
Azzam berkutat dengan banyak sekali hal baru. Budaya, kebiasaan, dan bahasa
yang baru ia lihat dan ia dengar semakin membuatnya kagum akan kebesaran Allah
SWT yang menciptakan manusia dengan berbagai macam keberagaman. Ia yakin
pengalaman baru yang akan ia dapat disini, akan menjadi warna tersendiri dalam
episode kehidupannya kali ini. Namun, baru beberapa saat yang lalu dia
memikirkan langkah-langkah apa saja yang akan dia ambil untuk rutinitasnya
selama menjalani kehidupan di Mesir, tepat di depannya berjalan seseorang
dengan wajah ceria seketika membuat Azzam terpatung untuk beberapa saat. Senada
dengan pakaian yang dikenakannya, senyumnya mampu membuat siapa saja yang
melihatnya terkesima.
“Astaghfirullahaladzim” ucap Azzam. Untuk beberapa saat jantungnya
berdesir melihat senyuman wanita itu. Dia buru-buru menata ulang pikirannya,
memaksanya untuk tetap fokus pada tujuannya. Menata dan merencanakan kehidupan
barunya sebagai mahasiswa baru. Mahasiswa baru Universitas tertua di dunia,
Al-Azhar.
Hari
berganti hari, minggu merajut minggu, dari purnama satu menuju purnama yang
lain. Akhirnya 4 tahun masa studi Azzam selama di Mesir telah usai. Setelah
melalui rangkaian acara menjelang perpulangan ke Indonesia seperti wisuda dan
pamit-pamitan, Azzam Bersiap-siap untuk pulang. Esok hari jam 7 pagi waktu
terakhir untuk check-in tiket pesawat. “Setelah ini aku sudah harus
fokus untuk mencari penghasilan dan mengabdikan diri ke masyarakat.” Janji
Azzam setelah mendapat predikat mumtaz/cumlaude kemarin malam.
Di pesawat…,
Azzam mendapat tempat duduk di dekat jendela bersebelahan dengan seorang wanita
bercadar dan seorang wanita bule yang memakai pakaian agak terbuka. Saat
melihat dua perbedaan yang kontras tersebut, Azzam semakin yakin dengan
keindahan ajaran islam, tentang bagaimana Islam mengatur semua aspek kehidupan.
Dari hal kecil sampai hal yang besar. Salah satunya adab atau sopan santun dalam
berpakaian. “Alhamdulillah bi ni’matil islam.” ucap Azzam, sebelum kemudian
membaca doa safar dan tertidur karena perjalanan memakan waktu hingga 12 jam.
Saat berada
di pesawat menuju kota Muscat, Oman dan waktu menunjukkan pukul 10:00 CLT, tiba-tiba Azzam
terbangun. Firasatnya mengatakan ada hal yang tidak beres. Dan benar saja wanita
bercadar di sebelahnya mendadak muntah dan mengenai celananya. Azzam pun dengan
sigap mengambil kantong muntah dan memberikannya ke wanita bercadar tersebut.
Wanita bule yang berada di paling ujung terlihat tidak suka dengan kejadian
barusan. Kemudian berkata lirih dengan nada mengejek dalam Bahasa Inggris “What
a country woman”. Azzam yang mendengarnya menjelaskan kepada wanita bule itu
bahwa wanita bercadar ini sepertinya sedang sakit sehingga terjadi kejadian
yang tidak diinginkan ini.
Namun wanita bule itu tetap memasang wajah
ketus seolah tidak mau tahu. Azzam pun tersenyum dan tidak ingin memperpanjang
urusan dengan wanita bule itu. Ia dengan sigap meminta tolong kepada pramugari
yang bertugas untuk membantu si wanita bercadar dan membersihkan bekas muntahan
yang tersisa. Kemudian dia mengambil celana cadangan yang berada di tasnya, dan
pamit untuk mengganti celana yang terkena muntahan tadi di kamara mandi.
Beberapa saat kemudian wanita tersebut
kembali dan kali ini dia sudah tidak memakai cadar. Azzam yang tidak sengaja
melihat ke arah wanita itu tiba-tiba tersentak. Ternyata wanita di sebelahnya
adalah dia yang pertama kali membuat hati Azzam berdesir setibanya pertama kali
di Mesir. Dia yang senyumannya selalu ramah dan membuat siapapun yang
melihatnya ikut tersenyum. Dia yang namanya disebutkan pada malam wisuda
kemarin. Ya, setelah 4 tahun Azzam baru
mengetahui namanya kemarin malam, Ayatul Maghfiroh. Lulusan terbaik seangkatan.
Dan entah kenapa detik-detik berlalu begitu
lambat, hati Azzam kembali berdesir. Azzam berkali-kali mengucap istighfar dalam
hati agar pikirannya tetap jernih.
“Maaf ya soal kejadian tadi,
aku memang sedang sakit. Dan terimakasih karena sudah membantu tadi,” ucap Ayatul
Maghfiroh membuka percakapan.
“Tidak apa, sudah kewajiban
membantu sesama muslim,” Balas Azzam seolah-olah tidak ada yang terjadi barusan.
“Oh ya nama antum siapa ustadz?” Tanya Ayatul Maghfiroh.
”Fathi Azzam. Panggil saja
Azzam.” jawab Azzam singkat seraya menolehkan pandangannya kebawah.
”Ayatul Maghfiroh panggil saja
Aya” ucap Aya memperkenalkan diri.
Aya mengangguk, kemudian
menelungkupkan tangan seolah-olah memberi isyarat kata ‘Afwan’. Senyap sejenak
setelah Azzam memutuskan untuk menolehkan pandangan ke jendela pesawat. Sampai Azzam
melihat Aya sudah memakaikan headphone dan tertidur.
Sang burung besi pun melepas perjalanannya
yang begitu lama dan panjang dari sangkarnya, Bandara Soekarno-Hatta. Pukul
24:00 dini hari mereka sudah menginjakkan kaki dengan selamat, dan 15 menit
kemudian para penumpang sudah bertemu dengan sanak keluarga atau kerabat yang
menjemput di bandara. Tidak terkecuali dengan Azzam yang sudah bertemu dengan ayah-ibu
beserta kedua saudarinya. Suasana menyambut kepulangan Azzam setelah 4 tahun merantau
buncah dengan keharuan. Azzam tidak kuasa menahan tangis saat melihat
Ayah-Ibunya sudah semakin berumur dan kedua saudarinya yang semakin dewasa.
Sangat berbeda dengan ingatan terakhir yang terpatri dalam memorinya. Sungguh
suasana yang mengharu biru!
Pada hari ke-3 kepulangan Azzam, teman-teman
semasa sekolah dulu berkunjung ke rumah Azzam untuk sekedar melepas rindu.
Modelnya ada yang bermacam-macam. Ada yang menurut Azzam penampilannya dari
dulu masih tidak berubah. Ada yang berubah 180 derajat. Ada yang sudah membawa
pasangan bahkan ada yang sudah dikaruniai momongan. Beraneka nasib mereka
ketika mengunjungi Azzam di rumahnya.
Dari sekian banyak teman-temannya yang
berkunjung, Azzam tidak melihat ‘dia’. Mungkin sedang ada keperluan sehingga
tidak bisa hadir atau sudah tidak tinggal di sini lagi. Saat sedang bercengkerama
dengan teman-teman seangkatannya dulu, tiba-tiba dari pintu ada seseorang yang
sangat Azzam kenali senyumnya. Ya, senyuman yang selalu sama baginya. Tetap
mengundang keceriaan dan kebahagiaan bagi orang yang memandangnya. Selalu
menebar energi positif bagi siapa saja yang bertegur sapa dengannya. Dia si ‘Matahari’.
Namanya ‘Aynul Maghfiroh. Panggilannya Ayna.
Wanita periang, supel, dengan senyuman 100 watt-nya begitu kata
orang-orang. Cerdas dan berbakat. Pakaiannya yang seingat Azzam dahulu selalu
tertutup, namun kini berbeda. Dan yang lebih mengejutkannya lagi terlihat sudah
tidak memakai hijab. Saat ini Ayna berjalan menghampirinya dan menyapanya.
“Assalamualaikum pak ustadz.”
Sapanya dengan ramah.
“Waalaikumussalam, Na.” jawab
Azzam dengan sopan berusaha untuk setenang mungkin dan mengatur ekspresi
wajahnya untuk menyembunyikan rasa terkejutnya.
Setelah berbasa-basi sebentar, Ayna pamit
pergi untuk menyapa teman-teman yang lain. Dari lubuk hati yang terdalam,
sebenarnya Azzam sedih dengan perubahan Ayna sekarang. Ayna yang sekarang tidak
terlalu dia kenali. Ayna yang sekarang bukan 4 tahun yang lalu.
“Apa yang membuat Ayna berubah
sampai seperti ini.” Batin Azzam.
Ketika sedang melamun itu,
tiba-tiba dari samping teman karib Azzam semasa sekolah menepuk pundaknya.
“Oi, ngelamunin apa lu?” sapa
Rahmat membuyarkan lamunan Azzam.
“Eh gak ada kok, hehe. Cuman
agak kaget saja melihat Ayna sekarang. Sudah tidak seperti terakhir kali
bertemu.” tukas Azzam.
“Ya iyalah, ente kira cuman
ente doang yang berubah. Kita juga kali termasuk si Ayna.” Sahut Rahmat dengan
nada santainya, khas tidak berubah semenjak dulu.
“Haha iya juga sih. Yaudah yuk kita shalat
berjamaah ke Masjid, sudah masuk waktu Maghrib soalnya.” Saran Azzam.
“Yuk!”
Setelah shalat maghrib berjaamah di masjid
selesai, mereka Kembali ke rumah Azzam untuk menyantap makanan yang sudah
disediakan oleh sang tuan rumah. Berbincang-bincang sebentar mengenang masa
lalu, masa-masa sekolah. Ada yang tertawa ada juga yang menahan malu karena
cerita masa lalu mereka diungkit ketika itu. Kemudian satu-persatu pamit karena
waktu sudah semakin larut tidak terkecuali Ayna.
Keesokan harinya, setelah shalat subuh
berjamaah dan me-murajaah hafalan Qur’annya, Azzam bergegas membuka
laptopnya sembari mengucap basmalah. Kali ini ia berniat untuk mencari
beasiswa untuk program S2-nya di salah satu universitas di Eropa, di Inggris
tepatnya. Sesuai dengan mimpinya dulu. Setelah lama berkutat dengan laptopnya,
ia pun memutuskan untuk mendaftarkan CV-nya di beberapa kampus kemudian meng-upload
berkas-berkas yang diperlukan sesudah mengucap basmalah terlebih dahulu.
“Mudahkanlah urusanku ya Allah.” Doanya.
2 bulan kemudian jawaban itu datang. Seusai
shalat subuh berjamaah di masjid, Azzam bergegas menuju kamarnya. Dengan hati
yang berdebar dan jemari yang bergetar, Azzam membuka laptop dan mengamati
kotak masuk g-mail. “Alhamdulillah Ya Allah!” Serunya kemudian ia
langsung bersujud mengagungkan kebesaran Tuhannya. Ia dengan hati yang dipenuhi
rasa syukur dan gembira mengabarkan berita baik tersebut kepada ayah dan ibunya.
“Pak, Bu, Azzam diterima di Oxford University!”
Satu bulan sebelum keberangkatannya ke
Inggris, Azzam diberi pesan oleh ibunya agar menikah terlebih dahulu. Demi
mendengar permintaan dari ibundanya tercinta, raut mukaAzzam yang biasa
terlihat tenang berubah drastis.
“Enggih bu, Insyaallah Azzam
usahakan.” Jawabnya menenangkan Ibunya, walau dalam hati ia sangatlah bingung
menjawab pertanyaan orang-orang mengenai perkara yang satu ini.
Karena Azzam merupakan orang yang selalu patuh
kepada ibunya. Ia dengan segera meminta saran dari kedua saudarinya. Sang kakak
yang notabene sudah berkeluarga menyarankan Azzam agar menikahi adik dari
keluarga suaminya. Sedangkan sang adik memberikan foto teman-temannya yang
sebentar lagi selesai masa kuliahnya.
Dihadapkan dengan beberapa pilihan Azzam
menjadi bingung. Namun, setelah memberikan kriteria yang ia inginkan kepada
kedua saudarinya. Justru saudarinya yang sekarang menjadi bingung. Bagi Azzam
paras bukan menjadi tolak ukur, namun kecantikan hatilah yang ia cari. Karena
apalah cantiknya paras yang semakin berjalannya waktu akan semakin pudar tetapi
tidak dengan hati ataupun sifatnya. Tetapi Azzam pun memberi syarat dalam hal
berpakaian bahwa ia ingin calon pendamping hidupnya berpakaian sopan dan menurut
syariat islam.
“Wah ternyata memang tinggi ya
kriteriamu ya, Zam.” Kata Rina kakak Azzam.
“Hmm begitulah, mbak. Karena
aku ingin mendidik anakku dimulai dari memilih ibunya.” Jawab Azzam dengan
tersenyum.
Mendengar hal itu kedua
saudarinya mengangguk. Dalam hati kakaknya tidak menyangka bahwa adiknya yang
dahulu sering menangis karena hal sepele sebatas tidak dibelikan mainan oleh
Ayahnya itu, kini telah menjadi seorang lelaki dewasa. Hal ini membuat sang kakak
kagum dengan adik lelaki satu-satunya tersebut.
Di tengah kebimbangannya tersebut, Azzam
memutuskan melakukan shalat hajat dan berikhtiar dengan dibantu oleh kedua
saudarinya. Orang tua mereka pun tidak mau kalah dalam membantu Azzam. Ayah
Azzam menghubungi keluarga mereka baik jauh maupun dekat, berharap dari mereka
masih ada yang belum berkeluarga. Ibu Azzam menanyakan ke sana ke mari kabar
teman-temannya dahulu, sekaligus menanyakan perihal anak-anak mereka. Namun,
dari tawaran yang datang belum ada yang pas di hati Azzam maupun kedua orang
tuanya.
Azzam terus memohon kepada Sang Maha Pemberi
agar dimudahkan dalam menjalankan amanah dari ibunya tersebut. Yang membuat
Azzam kepikiran beberapa hari sebelum keberangkatannya ke tanah Britania. Ibadah
terlama yang akan dilaksanakannya seumur hidup, Pernikahan.
Seminggu sebelum keberangkatannya, setelah
mengerahkan segala ikhtiar yang ada dan tentu dibarengi dengan doa. Azzam
tiba-tiba bermimpi. Mimpi yang sangat aneh sekali. Di mana dia berada di sebuah
taman yang indah. Sekilas taman ini mirip dengan Hadiqah Azhar namun
versi berkali-kali lebih indah. Di taman itu, Azzam melihat dua ekor rusa. Rusa
yang sama-sama memiliki bentuk yang sangat indah. Rusa pertama berlarian ke
sana ke mari dengan lincahnya, bermain-main dengan kawanannya. Kemudian ia
terjerat perangkap pemburu. Rusa itu melenguh-lenguh meminta pertolongan. Azzam
yang melihat itu segera bergegas menolong rusa tersebut. Namun, entah mengapa
kakinya tidak bisa bergerak walau selangkah pun. Akhirnya rusa pertama pun
tertangkap oleh pemburu dan dengan segera di bawa entah ke mana.
Sedangkan rusa kedua sedang memakan rumput di
suatu padang yang sangat lapang. Saat sedang makan itu, tiba-tiba segerombolan
pemburu menghampiri rusa tersebut. Mereka segera mengeluarkan perlengkapan
berburu mereka. Anjing mereka dengan ganas mengejar rusa tersebut. Anehnya,
rusa tersebut hanya diam di tempat seolah tidak merasa sedang berada dalam bahaya.
Saat anjing pemburu itu bersiap menerkam sang rusa, tiba-tiba dari belakang
muncul seekor singa yang gagah menghalau anjing tadi. Singa tersebut kemudian
berduel dengan anjing tersebut. Anjing itu langsung pontang-panting ketakutan
saat tahu yang ia hadapi adalah seekor singa. Para pemburu yang melihat hal itu
langsung menembakkan senapan-senapan mereka ke arah singa tersebut. Singa itu
dengan gesitnya, menghindari tembakan-tembakan pemburu tersebut dan menghabisi
mereka satu-persatu. Singa itu kemudian pergi meninggalkan si rusa yang tetap
di posisinya semula. Azzam yang melihat kejadian tersebut terheran-heran tidak
mengerti.
Tiba-tiba kedua rusa itu mendatangi Azzam.
Rusa pertama dengan kondisi yang menyedihkan karena sudah terkena perangkap
pemburu tadi berubah menjadi sosok yang Azzam sangat kenali, Ayna! Sedangkan
rusa kedua yang baru diselamatkan oleh singa tadi berubah menjadi sosok yang
Azzam kenal baru-baru ini, Aya. “Astaghfirullah.” Azzam ber-istighfar 3
kali setelah itu bergegas menuju kamar mandi dan berwudhu. “Mimpi yang sangat
aneh sekali.” Batin Azzam. Kemudian ia melaksanakan shalat tahajjud dan mengaji
menunggu waktu subuh tiba.
Selepas subuh, Azzam menceritakan mimpinya
tersebut kepada anggota keluarganya. Ayah dan ibunya kemudian menyarankan Azzam
agar menyegerakan proses ta’aruf. Dan sang kakak, Rina ditugaskan untuk
menghubungi Ayna. Sedangkan Sang Adik, ditugaskan untuk menghubungi Aya.
Setelah beberapa kali melakukan panggilan
lewat telepon. Kedua keluarga wanita setuju untuk mengirimkan CV. kepada Azzam.
Dengan membaca basmalah Azzam membuka CV. yang baru diterimanya. Setelah
membacanya Azzam baru tahu bahwa Ayna ternyata selama ini tinggal di kota
sebelah dan merupakan seorang wanita karir yang bekerja di sebuah bank ternama
di kotanya. Dan ternyata Ayna sudah pernah menikah sebelumnya atau sekarang
berstatus sebagai janda. Sedangkan Aya merupakan seorang anak kyai di salah
satu pondok pesantren besar yang berada di pulaunya. Dan untuk Aya ia kini
masih menjadi salah seorang ustadzah di pondok ayahnya dan masih belum
berkeluarga.
“Zam sini dulu setelah Ibu
membaca CV. dari kedua wanita yang kamu pilih kamu yakin dengan yang namanya
Ayna ini?” Tanya ibunda Azzam.
“Insyaallah saya yakin, Bu.
Secara saya dan dia pun pernah satu sekolah semasa SMP dahulu. Saya lumayan
kenal dengan dia.” Jawab Azzam menenangkan.
“Tapi Zam, dia sekarang
berstatus sebagai janda.” Ibu Azzam mengingatkan.
“Bu, Baginda Nabi yang mulia
saja menikahi seorang Khadijah yang notabene merupakan seorang janda. Maksud Azzam,
mau ia berstatus janda atau bukan. Selama ia memiliki akhlak yang baik dan
ingin sama-sama diajak untuk beribadah menggapai ridho-Nya Azzam tidak
mempermasalahkan. Menikahi seorang janda bukanlah suatu aib bagi Azzam. Aib
adalah apabila kita memiliki akhlak yang buruk, Bu. Itu yang guru-guru Azzam
katakan.” Jawab Azzam mantap.
Ibu Azzam terlihat lebih
tenang dengan jawaban anak laki-laki semata wayangnya itu. Tersirat dari
wajahnya bahwa ia sangat berharap putranya itu mendapatkan apa yang menjadi
doa-doa malamnya selama ini. Esok hari, kakak Azzam menghubungi keluarga Ayna.
Berdiskusi singkat mengenai berapa lama proses ta’aruf akan dilaksanakan
beserta tempat dan waktu pelaksanaannya. Akhirnya kedua belah pihak setuju
proses ta’aruf akan berlangsung selama tiga hari dan pertemuan pertama
diadakan nanti malam setelah shalat isya’ di kediaman Ayna.
Malam harinya, dengan didampingi kedua orang
tuanya Azzam bertolak ke rumah Ayna.
Setelah mengucapkan salam dan mengetuk pintu. Terlihatlah Ayna dengan
memakai kerudung merah muda dan gamis berwarna senada membukakkan pintu dan
tersenyum mempersilakan masuk. Azzam yang melihat itu langsung membalas
senyumnya kemudian masuk disusul kedua orang tuanya. Setelah beramah-tamah
singkat Ayah Azzam kemudian memulai sesi ta’aruf dengan menanyakan
pertanyaan-pertanyaan singkat dan ringan mengenai kehidupan Ayna. Pertemuan
pertama itu walaupun berlangsung singkat dan lebih diisi dengan perkenalan satu
sama lain. Namun, membuka pandangan Azzam tentang sosok Ayna.
Setelah pertemuan kedua dan ketiga, akhirnya
Azzam memantapkan pilihannya. Ia sudah yakin dengan pilihannya untuk menikahi
Ayna. Selepas melaksanakan ta’aruf selama 3 hari, ia memohon kepada
kedua orang tuanya untuk diizinkan menikahi Ayna. Orang Tua Azzam yang sudah
mengetahui perihal calon mantunya itu pun menyetujui. Pernikahan pun digelar
seminggu sebelum kepergian Azzam ke Inggris.
Berpuluh-puluh
tahun kemudian, kini Azzam telah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Inggris.
Suatu hal yang belum pernah terpikirkan olehnya sejak dulu. Di saat ia terduduk
di ruang kerjanya, ia tiba-tiba berdiri kemudian berjalan menuju jendela besar
ruang kerjanya dan menoleh keluar. “Wah sekarang sudah musim salju, ya”
Gumamnya. Dulu saat pertama kali merasakan musim salju, ia begitu merasa
gembira tak terkira. Bak anak kecil yang mendapat mainan baru, ia bermain
lempar-lemparan bola salju dengan istrinya.
“Akhirnya aku
mengetahui jawaban dari pertanyaanku selama ini, ya, jawabannya yaitu,
seseorang tersebut akan bahagia selama dia yakin bahwasanya hidup di dunia
pasti akan berakhir dan berganti dengan kehidupan yang lebih kekal, ataupun
seseorang tersebut tidak akan merasakan kehampaan selama dia percaya bahwa
hidup di dunia tidak semata-mata untuk mengejar keberhasilan di mata manusia
saja. Alhamdulillahirabbil ‘Aalamin.”
0 Komentar