“Bugghhhh…,” Suara vas bunga jatuh mengenai kepala seorang anak lelaki yang sedang terlelap nyenyak. “Aduhhhh, sakit sekali kepalaku ini. Bagaimana bisa benda ini jatuh?” gumam Samir yang seketika terbangun dari tidurnya. Perasaan kaget Samir pun membuat dia merasa ada sesuatu yang ganjal yang akan terjadi padanya. Ia masih dalam keadaan duduk dan bengong sejak terjatuhnya vas bunga tadi, berharap hari ini akan baik-baik saja.
Tidak lama kemudian, ia mendengar suara jeritan dari luar kamarnya, lalu bergegas menghampirinya. “Samirr…bapak sudah meninggal,” Ucap kakaknya dengan suara gemetar dan terbata-bata mencoba untuk menahan tangisannya. Tapi apalah, seketika air mata itu terjatuh ketika Samir menangis di hadapannya. Bagaimana tidak? Samir hanyalah seorang bocah enam tahun yang baru meranjak ke Sekolah Dasar. “Bapak...bapak…”, hanya itu yang dia ucapkan terus menerus sambil memeluk bapaknya. Kala itu, pagi hari yang seharusnya indah untuk memulai awal hari tetapi berbanding terbalik.
“Samir…, mari pulang nak, Bapak sudah tenang di rumah baru nya”, Ucap ibunya yang sedang membujuk Samir untuk beralih dari pemakaman bapaknya. “Kita pulang dulu ya Samir, Bapak harus beristirahat dulu, besok kita kesini lagi”, Timpal kak Rina. Samir pun hanya mengangguk merespon ucapan dari ibunya dan kakaknya. Ia anak yang baik hati, taat kepada orang tua dan kakaknya, tidak banyak menyusahi keluarga, membantu keluarga, dan selalu bersyukur atas apa pun pemberian orang tua nya. Keluarga Samir bisa dikatakan menengah kebawah, semua serba seadanya. Ketika almarhum ayah nya mengajaknya berjalan-jalan keliling desa hanya dengan sepeda ontel, ia pun sudah sangat senang. Bahkan, itu menjadi memori indah terakhir dengan ayahnya yang selalu ia ingat. Apabila ia merindukan ayahnya, memori itu akan selalu terbayang-bayang dalam ingatannya.
Rutinitas keseharian keluarga kecil itu berjalan seperti biasanya. Samir selalu mengikuti ibu dan kakaknya berjualan di pasar. Ketika Samir keluar dari kamarnya dan hendak mengambil barang jualan pasar, kakaknya berkata “Samir, ayok siap-siap pakai baju yang rapih!”. Karena Samir anak yang penurut, ia bergegas menuruti ucapan kaka nya tanpa banyak bertanya. Sepanjang perjalanan pun ia tak berpikiran apa pun hendak dibawa pergi kemana oleh kakaknya. Dan tiba lah mereka di suatu Gedung besar dengan gerbang yang tinggi, mereka pun memasuki gedung itu. “Kak…, siapa yang akan sekolah?”, tanya Samir. “Samir, kamu yang akan bersekolah di tempat ini, kakak dan ibu sangat berharap kepadamu, semoga hal ini berjalan baik”, jawab kak Rina dengan senyuman hangat di wajahnya. “Tapi kan kita ga punya uang ka, siapa yang akan membiayai sekolah Samir nanti?”, Tanya Samir lagi. “Tenang Samir, kakak akan usaha untuk membiayai sekolah kamu, jangan khawatir ya, sekolah yang baik! Mengerti?”, Jawab kakaknya dengan penuh senyum menyakinkan. Samir pun mengangguk menjawab pertanyaan kakaknya. Memang, saat itu sekolah belum gratis. Hanya orang-orang tertentu yang bisa sekolah, kak Rina saja pun tidak sekolah. Lalu, saat kak Rina hendak mendaftarkan adiknya, ia pun terkejut ketika melihat biaya pendaftaran nya. Tapi, Kak Rina tidak menyerah. Ia terus melobi pak guru agar adiknya bisa masuk sekolah. “Pak, saya janji akan melunasi pembayaran ini bulan depan. Saya mohon, saya yakin adik saya ini pintar pak, sayang sekali jika ia tidak bersekolah”. Ucapan kak Rina saat memohon kepada pak Guru. “Baiklah, saya terima. Tapi, kamu harus berjanji untuk melunasi pembayaran ini bulan depan”. Ucap pak Guru. “Baik Pak, saya berjanji. Terimkasih banyak Pak”. Jawab Kak Rina dengan penuh haru.
Kak Rina yang berprofesi sebagai penjahit langsung membuatkan baju seragam untuk Samir. Kak Rina sebelumnya tidak mahir menjahit, ia sengaja mengikuti kelas menjahit itu dengan tujuan menyekolahi adiknya. Ia sangat yakin, adiknya memiliki otak yang cerdas, ia tidak mau nasib Samir di masa depan terus menerus seperti keadaan seperti ini. Selain merupakan harapan Kak Rina, ini juga harapan besar bagi ibunya. Juga, agar orang-orang tidak menghina keluarga nya lagi. Ada kejadian di suatu waktu, saat Samir bermain dengan teman-teman nya yang tempat nya tidak jauh dari kediaman nya dan bertepatan di depan sebuah rumah yang besar. Tiba-tiba, ada seorang lelaki keluar dari rumah itu dengan membawa kue untuk dibagikan kepada anak-anak yang sedang bermain di depan rumahnya. Ia memanggil anak-anak itu satu persatu sambil memberikan nya. “Hei kamu yang berbaju kuning, kemarilah”, Ucap lelaki itu. Anak itu pun menghampirinya dengan penuh senang, lalu mengambil satu kue untuk dirinya. Samir pun tidak sabar menunggu dirinya dipanggil, ia terus memperhatikan setiap panggilan dari lelaki itu. Hingga tiba lah diri nya yang belum dipanggil. “Sepertinya setelah ini giliranku, karna semuanya sudah dapat” gumam Samir dalam hati. Setelah anak sebelumnya mengambil kue dan beralih kembali ke tempat bermain nya, Samir tidak menyangka bahwa lelaki itu pergi begitu saja. Padahal, Samir sudah mendekatkan jarak diri nya dengan lelaki tua itu, agar dipanggil untuk di berikan kue. Samir pun sangat sedih, kenapa memberi makanan harus pilih-pilih? Apakah karna ia miskin? Justru yang patutnya diberi ialah orang yang kekurangan. Ia tidak mengerti mengapa ia dibenci karena kemiskinan nya. Tapi, Samir adalah anak yang baik, ia tetap menghadapinya dengan sabar dan tenang. Bukan itu saja, perlakuan yang di alami Samir pun juga dirasakan oleh kakaknya dan ibunya. Akan tetapi, mereka tetap kuat dan sabar. Karena hal ini juga lah, kakaknya dan ibunya sangat bertekad besar untk menyekolahkan Samir.
Setelah beberapa tahun berlalu, Samir akhirnya menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar. Berkat nilai nya yang bagus, ia berhasil masuk ke SMP favorit, dan melanjutkan juga ke jenjang berikutnya. Sampai tiba lah di jenjang paling tinggi, yaitu perkuliahan. Sama seperti sebelumnya, karena Samir anak yang cerdas, juga betapa Maha Adil nya tuhan, ia berhasil masuk ke perkuliahan yang sangat ketat persaingan nya. Perasaan senang dan bahagia dirasakan oleh keluarga Samir. Namun, lagi-lagi Samir terfikirkan oleh biaya yang akan jauh lebih besar untuk diperlukan. Untungnya Kak Rina sangat hebat dan kuat, ia sangat mendukung Langkah adiknya untuk maju tanpa mengkhawatirkan biaya.
“Ibu, Kak Rina, Samir pamit dulu, Do’akan perjalanan Samir, Assalamu’alaikum”, Ucap Samir saat hendak meninggalkan kediaman nya untuk melanjutkan kuliah di Jakarta sambil mengecup tangan ibu dan kakaknya. “Wa’alaikum Salam, hati-hati ya nak, semoga kamu selalu diberi kemudahan”, Jawab ibunya. “Hati-hati ya dek, kamu belajar saja yang baik, tidak perlu khawatir, oke?”, Kak Rina juga ikut menjawab.
Sesampainya Samir di Jakarta, ia pun mencari tampat tinggal untuk dirinya. Berkeliling kesana kemari mencari harga tempat tinggal paling termurah. Wajar saja, biaya hidup di Kota sangat berbeda dengan di desa. Setelah berkeliling beberapa rumah, akhirnya Samir mendapatkan tempat yang pas untuknya. Tempat itu terdiri dari beberapa kamar yang setiap kamar nya telah ada penghuni masing-masing. Rumah itu juga tidak jauh dari tempat Samir kuliah, jadinya ia tidak perlu mengeluarkan ongkos pulang dan pergi.
Hari demi hari terus berlalu, Samir sekolah dengan penuh giat. Sampai terkadang, Kesehatan nya pun menjadi korban. Ia sering mengalami sakit selama kuliah, karna vitamin yang harus ia dapatkan untuk tubuhnya tidak sepadan dengan kerja keras yang ia lakukan selama ini. Penjaga warteg tempat Samir makan pun hafal dengan menu makanan Samir yang selalu ia pesan. Ia tidak pernah mengganti menu itu, hanya nasi dan tempe yang setiap hari ia makan. Walaupun seperti itu, ia tetap sering mengalami kekurangan uang, belum lagi jika kakaknya terkadang terlambat mengiriminya uang. Karena keadaan ini, Samir sempat berfikir untuk mengakhiri sekolahnya. Selain karena ia sakit, kakaknya juga tidak perlu bersusah payah untuk membiayai masa sekolahnya, dan ia pun bisa membantu kakaknya di rumah untuk mencari uang. Tentu saja, hal ini sangat di tentang oleh ibu dan kakaknya. Dan akhirnya, Samir pun pulang untuk berobat dan melanjutkan sekolahnya kembali.
Di suatu waktu, Ketika Samir pulang ke tempat tinggal nya setelah sekolah, ia mendapati beberapa barang nya berada di luar rumah. Ia sangat heran, bagaimana bisa barang-barang ini ada di luar. Tidak lama kemudian, datang lah pemilik rumah itu dan berkata, “Samir, mulai sekarang kamu harus meninggalkan rumah ini, saya tidak senang dengan kamu”. Samir pun bertambah heran, ia tidak tahu apa penyebab kejadian ini. “Bagaimana bisa pak? saya membayar biaya rumah sesuai dengan waktunya. Kenapa saya harus pergi?”, jawab Samir. “Saya sudah lama meperhatikan kamu, kamu tidak pernah sekali pun mencuci pakaian di toko loundy saya. Sedangkan, semua orang disini mencuci disana kecuali kamu”, Ucap bapak pemilik rumah. Keheranan Samir semakin bertambah karena alasan yang tidak masuk akal ini. “Tttapii pak, saya tidak bermaksud apa-apa. Saya memang tidak mempunyai uang lebih, makanya saya selalu mencuci baju saya sendiri. Saya mohon pak, jangan usir saya, saya tidak punya tempat tinggal lain lagi pak”, Samir memohon kepada bapak itu secara terus-menerus. Dan akhirnya, bapak itu pun luluh dan tidak jadi mengusir Samir.
Hari-hari yang ditunggu pun tiba. Hari ini hari kelulusan Samir dari dunia perkuliahan nya, ia berhasil lulus dengan predikat yang membanggakan. Kak Rina dan ibunya tidak bisa menyembunyikan air mata haru. "Kita berhasil, Samir," ucap Kak Rina sambil menggenggam tangan adiknya erat. Samir tersenyum dan menunduk. Ia mengingat semua pengorbanan keluarganya. Dari ayah yang mengajaknya berkeliling desa dengan sepeda ontel hingga Kak Rina yang bekerja siang malam untuk menyekolahkannya. Setelah itu, Samir pun langsung bekerja setelah usai dari kuliahnya. Kampus Samir termasuk kampus favorit, mahasiswa nya di didik sesuai lapangan kerja yang akan mereka selami setelah lulus. Wajar saja, masuk ke kampus itu mempunyai saingan yang banyak dan ketat untuk bisa masuk. Setelah beberapa bulan bekerja, ia pun memiliki penghasilan yang di dapat dari kerja keras nya sendiri. Sejak itu, bukan Kak Rina lagi yang memberikan nya uang, tapi Samir lah yang bergantian memberikan Kak Rina uang. Kini, mereka bisa hidup dengan nyaman dengan pelangi kebahagiaan setelah hujan air mata.
0 Komentar