Header Ads Widget

Darussalam Audio

Jangan Panggil Saya Ustadzah

Jangan Panggil Saya Ustadzah
Oleh: Nabila Balqis

Pagi menjelang saat seorang gadis yang biasa dipanggil Rara mulai menjerang air untuk membuat segelas susu hangat. Rara adalah seorang gadis lugu yang tidak pernah mengetahui kerasnya dunia luar. Ia hidup dalam lingkup keluarga yang sangat Islami sehingga ia sudah memakai cadar sejak masih sekolah dasar.

Rara merupakan gadis ceria dari keluarga berkecukupan, penuh kasih sayang, dan bisa dibilang cukup kaya. Ia adalah anak terakhir dari tiga bersaudara; semuanya laki-laki, dan salah satu di antaranya sudah menikah.

Ia adalah putri dari seorang tokoh ternama. Bahkan bisa dibilang, siapa yang tidak tahu ayah dari Ratu Azzahra ini? Ia adalah pendiri Pondok Pesantren ternama dan Pondok pertama di daerah tersebut. Rumahnya yang sulit dijangkau membuat Rara sangat dibatasi dalam pergaulan. Kehidupannya hampir 24 jam penuh dihabiskan di rumah.

“Ummi ... aku berangkat dulu, ya. Aku sudah menghabiskan makanannya tadi.” Rara mencium tangan ibunya, sosok yang dicintainya. Ibunya tersenyum melihat anak gadisnya yang mulai beranjak dewasa. Tahun ini adalah tahun Rara setelah menyelesaikan pendidikannya dari Pondok Pesantren. Ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah dan memilih membantu ibunya menjadi ustadzah di Pondoknya sendiri. Selain itu, ia juga membantu orang tuanya berjualan makanan ringan dan mengirimkan pesanan keluar Pondok Pesantren.

Hari ini, Rara sangat kelelahan karena banyaknya pesanan yang membeludak, hingga ia harus pulang larut malam. Ia pulang menggunakan mobil mini cooper hadiah ulang tahunnya yang ke-17, berwarna biru muda. Dalam perjalanan, rasa lapar tiba-tiba menyerangnya jadi ia memutuskan untuk membeli martabak cokelat sebagai ganjalan perut.

Setelah mendapatkan martabaknya, Rara kembali ke mobil. Namun, di tengah jalan ia mendengar suara tangisan samar seorang pria. Dengan hati-hati dan sedikit takut, ia mendekati sumber suara itu, sesekali menengok kanan dan kiri. Di depannya, ia melihat seorang pria terluka, dengan kaki berlumuran darah dan kepala yang tergores.

“Tolong ... siapapun itu ... tolong aku ... ” pria itu berteriak, sekuat tenaga. Rara kaget melihat pria tersebut dengan tubuh penuh luka dan pakaian robek, serta rantai di lehernya. Dalam pikirannya, ada perasaan iba dan takut. Pria itu kembali bersuara, “Apa yang kamu lihat? Apakah membantu seseorang harus dilihat dari pakaiannya dahulu? Apakah berbuat baik hanya untuk orang baik saja?”

Rara segera menepis pikirannya sendiri dan meyakinkan diri bahwa ia harus menolong pria ini. Karena darah yang keluar dari kaki pria itu sangat banyak, ia pun tidak bisa berjalan. Rara tidak punya pilihan lain selain memikirkan cara menghentikan darah tersebut. Dengan cemas, Rara melihat sekelilingnya dan merasa perlu kain bersih untuk menghentikan pendarahan. Akhirnya, ia memutuskan melepas cadarnya sambil menangis. “Ya Allah, aku melakukan ini karena-Mu, dan aku menolong orang ini karena-Mu, ya Rabb,” serunya.

Lalu, ia melepaskan cadarnya di hadapan pria yang bukan mahramnya dan mengikatnya kuat pada bagian yang terluka untuk menghentikan aliran darah. Setelah itu, ia segera menelepon rumah sakit.

Rara pulang larut malam. Keesokan harinya, kepalanya sedikit pusing karena kejadian semalam. Setelah ia mengecek ruang makan dan tidak menemukan seorang pun di rumah, ia melihat jam ternyata sudah pukul 10.00 pagi. Seluruh keluarganya tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Hembusan angin sepoi-sepoi membuatnya hanyut dalam suasana dan memejamkan mata sejenak, hingga beberapa detik kemudian, teleponnya berbunyi, menampilkan rangkaian nomor tanpa nama. Alisnya mengerut dan dengan ragu, ia mengangkat telepon itu lalu berkata, “Assalamualaikum?” Ternyata panggilan itu dari rumah sakit. Karena tidak ada keluarga lain yang bisa dihubungi, pihak rumah sakit akhirnya meneleponnya.

Tok tok tok … Rara mengetuk pintu rumah sakit dengan tangan halusnya. “Assalamualaikum,” serunya. Ia melihat pria yang kemarin ditolongnya terbaring di sana, dan segera menundukkan pandangan. Rara bertanya, “Tidak adakah keluarga yang bisa dihubungi?”

Pria itu tersenyum tipis dan berkata, “Haha, apa yang dibicarakan, Ustadzah? Saya hanya ingin membalas budi dan mengucapkan terima kasih. Kalau bukan karena bantuan Ustadzah, mungkin saya sudah tidak bernapas pagi ini.” Sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, ia berkata, “Ambillah, semoga ini bisa membalas apa yang telah Ustadzah lakukan untuk saya.”

Rara terheran dan berkata, “Apakah semua bentuk terima kasih harus dibalas dengan uang?” Pria itu terdiam sesaat, lalu mengeluarkan lebih banyak uang dari sebelumnya dan berkata sinis, “Dasar wanita, kupikir pakaianmu akan membuatmu berbeda dari yang lain, ternyata…”

Sontak Rara merasa tersinggung dan berkata tegas, “Saya membantu kamu karena Allah. Jika kamu merasa keberatan dengan pakaian yang saya pakai, itu bukan salah pakaiannya, tetapi saya yang terus berusaha menjadi lebih baik. Jika karena ini kamu mengira saya buruk, lalu bagaimana dengan pakaianmu sendiri?”

Pria itu marah dan berkata, “Cuih, wanita ini! Bicara seolah paling benar, padahal kamu sendiri melepas cadar di depan laki-laki yang bukan mahrammu!” Dengan menahan air mata dan penuh kesal, Rara tidak ingin berdebat lagi dan pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Dalam perjalanan, hatinya terasa sesak seperti ada gumpalan api. Secara refleks, ia menekan klakson mobilnya untuk meluapkan emosinya. Sore itu, Rara bergumam dalam hati, merasa tak habis pikir bagaimana ada manusia yang tidak memiliki hati seperti itu, dan berharap tidak akan bertemu dengannya lagi di lain waktu.

“Assalamualaikum, Pah, Bun,” sapanya ketika tiba di rumah, berusaha menampilkan senyum di wajah yang terlihat lelah.

“Astagfirullah, anakku…,” Bunda Alfin berbisik lirih.

“Biarlah, Bunda. Anak kita sudah remaja, ia tahu ke mana jati dirinya akan dibentuk,” sahut Ayah sambil membawa secangkir teh dan sesekali menyeruputnya.

“Bagaimana urusan kantor, Fin? Apakah kamu sudah menanganinya hari ini?” Ayah bertanya.

Dengan tatapan malas, Rara hanya diam seribu bahasa dan pergi begitu saja dari hadapan orang tuanya. Bunda Alfin pun menatap sinis ke arah Ayah, berkata, “Ih, Ayah ini. Anaknya habis kecelakaan, masih saja ditanya urusan kantor.”

Dengan santai, Ayah Alfin menjawab, “Lagipula dia masih bisa jalan dan nyetir mobil sendiri, kan, Bun? Berarti dia baik-baik saja,” sambil tersenyum simpul.

Di sisi lain, Rara sibuk dengan segala urusannya di Pondok karena sebentar lagi ujian akan segera dimulai. Rara bertugas membuat soal untuk ujian kali ini. Saat sedang fokus membuat soal, kakak kedua Rara yang bernama Ulya datang dan berkata, “Dik, ada teman Mas di sana. Bisa tolong belikan makanan ringan dan air lalu suguhkan, ya? Soalnya Mas mau masuk jam pelajaran, dan ini sudah waktunya.”

Dengan sedikit kesal karena merasa terganggu, Rara pun mengiyakan perintah kakaknya sambil berkata, “Siap, Kakak Gantengku.”

Mata Rara mencari-cari sosok yang disebutkan kakaknya sambil membawa segelas minuman dan makanan ringan. Ketika mulai putus asa, ia berniat untuk kembali ke tempatnya dan bertanya kepada kakaknya apakah temannya sudah pulang atau masih di sana. Namun, ketika hendak berbalik badan, matanya bertemu dengan sepasang mata cokelat pekat. Untungnya, ia membawa makanan dan minuman sehingga ada jarak di antara mereka.

Namanya Ali. Ternyata, ia adalah orang yang sejak tadi dicari-cari oleh Rara. Ali baru lulus dari Universitas Al-Azhar, Kairo, dan baru sebulan berada di Indonesia. Ia berencana melanjutkan S2 di Madinah, tetapi memutuskan pulang terlebih dahulu ke Indonesia. Rara mengetahui sedikit ceritanya dari kakaknya. Setelah itu, ia pun kembali melanjutkan tugasnya membuat soal.

Hari ini Rara libur dan memutuskan pergi ke perpustakaan. Ia sangat suka membaca, sehingga perpustakaan menjadi tempat favoritnya. Ketika sedang membaca salah satu buku, ia melihat dari kejauhan sosok yang pernah dikenalnya. Dari gaya rambut, cara berpakaian, serta rantai di tangan dan lehernya, ia mengenalinya. Benar, itu adalah pria yang pernah Rara bantu.

Rara berusaha mengabaikan kehadirannya, tetapi ketika selesai membaca buku tersebut, pria itu melihatnya dan langsung mengejar Rara dengan tergesa-gesa. Kini, Rara sudah berhadapan dengan pria itu, dan ia pun mengulurkan tangannya.

“Assalamualaikum, Ustadzah. Salam kenal, aku Reza Alfian. Hm, saya juga mau minta maaf atas perbuatan saya kemarin. Tidak sepantasnya saya berkata seperti itu kepada orang yang telah menolong saya,” ucapnya dengan wajah tulus.

Rara menyatukan tangannya di depan dada dan menundukkan pandangannya. “Waalaikumussalam. Jangan panggil saya ustadzah. Saya sudah melupakan hal itu, dan saya berharap kita tidak akan bertemu lagi,” katanya, lalu pergi meninggalkan Reza sendirian di depan perpustakaan.

Dengan wajah kebingungan, Alfin tidak percaya dengan jawaban yang diterimanya. Kata-kata "Jangan panggil saya ustadzah" terngiang di otaknya dan tanpa sadar membuatnya tertawa kecil. Setelah kesadaran penuh kembali, Alfin langsung menuju tempat parkir dan berniat untuk bertemu dengan teman dekatnya, Arya. Kedua orang tua mereka bersahabat dan membangun bisnis bersama dari nol hingga sekarang.

Meskipun kehilangan orang tua, Arya tidak merasa haus akan kasih sayang, karena ia selalu dianggap seperti anak sendiri oleh keluarga Alfin. Jadi, wajar saja banyak yang mengira mereka berdua adalah adik-kakak, bahkan wajah mereka yang hampir mirip bisa disebut sebagai anak kembar.

“Lu di mana, ya? Hampir setengah abad ini gua nungguin lu! Sampai Upin Ipin udah pada kuliah ini!” ucap Alfin dengan nada candanya.

Dari kejauhan, Arya datang dengan santai, gaya casual, dan senyum simpul di wajahnya, seperti sudah paham dengan watak saudaranya. Ia menjawab, “Kenapa, Pin? Emosinya selalu diluapin ke gua terus? Kayaknya cerita yang sekarang bisa dijadikan bahan skripsi nih buat gua.”

Keduanya kini sedang menikmati kopi kesukaan masing-masing. Alfin tidak suka pahit, sedangkan Arya sangat mencintai rasa pahit. Meskipun keduanya memiliki kebiasaan yang sama, tidak demikian halnya dengan urusan kopi, karena Arya sangat pemilih dalam hal makanan.

Dengan tatapan Alfin yang sudah menjadi teduh, ia memulai percakapan. “Akhir-akhir ini, gua selalu dibuat pusing sama ayah. Ia selalu mengurusi kehidupannya sendiri, selalu mementingkan bisnisnya dibanding anaknya,” ujarnya dengan wajah sedih.

Dibalas dengan senyuman Arya, ia melirik dan melihat Alfin dengan dalam. Jika dilihat dari luar, mereka seperti sedang berkomunikasi tanpa kata.

Setelah mengobrol panjang, hampir semua percakapan mereka berisi tentang keluarga Alfin. Tiba-tiba, lewat di depan mereka seorang wanita berpakaian seperti ustadzah dan memakai cadar, juga makan di tempat yang tidak jauh dari mereka berdua.

Dengan kesadaran penuh, Arya mengetok kepala Alfin. “Heh! Jangan berlebihan. Nanti lu dapat jodoh yang bercadar, anak pimpinan pondok. Beuh, masya Allah banget, saudara gua!” ucapnya dengan sangat santai. Alfin pun tidak membalas perkataan Arya, dan mereka berdua pergi meninggalkan tempat tersebut.

Sesampainya di rumah, Alfin langsung ingin beristirahat. Namun, ayahnya memanggilnya dari ruang TV dan membuka percakapan, “Bagaimana harimu? Apakah kamu ke kantor hari ini? Besok ada rapat besar dengan klien ayah di luar kota. Apa sudah dipersiapkan?”

Belum selesai ayahnya berbicara, dengan nada sedikit meninggi, Alfin pun menjawab, “Kantor, kantor, kantor lagi. Selalu itu yang ditanyakan! Semuanya sudah diurus oleh Arya, Pah. Lagi pula, itu kan bisnis ayah. Kenapa nggak ayah saja yang mengatur semuanya? Atau suruh anak buah ayah?”

Alfin pun langsung menaiki anak tangga dengan cepat dan membantingkan badannya di atas kasur sambil membuang napas.

“Oke, Om. Aman saja. Nanti urusan itu biar Arya bicarakan lagi ya sama Alfin. Sepertinya ia juga sedang memikirkan banyak hal akhir-akhir ini.” Di waktu yang bersamaan, chat Alfin pun muncul di layar telepon milik Arya. Saat itu juga, Arya memutuskan sambungan telepon dengan orang yang ada di seberang sana.

Ketika terbangun dari tidurnya, ia menceritakan tentang kegelisahannya akhir-akhir ini karena dihantui seorang gadis bercadar. Entah kenapa, setelah bertemu dengan gadis itu, banyak masalah yang ia dapatkan. Dalam pikirannya yang kacau, ia beranggapan bahwa wanita ini mendoakannya dengan hal-hal tidak baik, sehingga membuat harinya terasa lebih sulit dari sebelumnya.

Dengan senyum yang merekah di bibirnya, wajah itu semakin manis dibuatnya. Sambil menyirami tanaman di sekitar rumahnya, sesekali ia bernyanyi kecil agar bisa lebih bersemangat. “Adik, bisa bantu Umi sebentar, Sayang?” serunya dari dalam rumah, sehingga membuat Rara berhenti melakukan aktivitasnya. Rara pun langsung menuju dalam rumah dan mencari sumber suara yang ia dengar.

Ketika ia telah mendapatkan perintah dari Uminya, ia segera menuju tempat yang selalu ia kunjungi, yaitu parkiran. Hari ini, Umi sedang tidak enak badan, membuat Rara mengambil alih semua pekerjaan rumah dan juga pekerjaan yang bisa ia lakukan. Setelah mengantarkan pesanan makanan, ia langsung berbelanja bulanan untuk sehari-hari dan juga untuk jualan Uminya.

Hari ini, lalu lintas tidak bersahabat dengannya, membuatnya pulang di malam hari. Saat berada di pertengahan jalan, ia melintasi jalan pintas yang bisa dibilang sangat sepi, membuat dirinya sedikit ketakutan. Ketika ia memikirkan hal buruk, hal itu pun terjadi. Mobil yang ia gunakan mogok tiba-tiba, sehingga ia harus berhenti, dan secara bersamaan, teleponnya juga lowbat. Jalan pada saat itu benar-benar sepi.

Malam ini, ia mengecek kembali bisnis yang ia buat, yaitu clubing. Ia mendirikan ini semata-mata untuk teman-temannya yang masih suka berkumpul. Karena klub ini lebih diperuntukkan untuk pertemuan bisnis atau pertemuan antar klien yang berasal dari luar negeri. Namun, malam itu sangat berbeda, ia merasa dirinya tidak ada di sana. Lalu, Alfin pun memutuskan untuk pergi dan mencari angin. Tapi sialnya, ia malah terjebak macet yang membuatnya harus mengambil jalur pintas lainnya.

Dari kejauhan, ia melihat mobil berwarna baby blue yang tak asing dilihatnya. Ketika itu pula, ia merasa bahwa mobil itu mogok dan membutuhkan bantuan. Akhirnya, ketika ia memutuskan untuk membantunya, ia tidak melihat orang di dalamnya. Ternyata, ia melihat sosok hitam dari belakang mobil, ia adalah sang pemilik mobil tersebut. Yang lebih mengejutkannya lagi, sosok itu adalah Rara Azzahra, yang ia panggil Ratu.

“Ada apa dengan mobilmu? Apakah kamu membutuhkan bantuan?” tanya Alfin.

Sedikit tercekang dengan apa yang dilihatnya, Rara pun menjawab, “Eh... iya, ini mobilku tiba-tiba mogok, dan aku tidak tahu apa yang salah dengan mobilku.” Mata Rara membulat karena memelas.

Dengan santai, Alfin menjawab, “Sepertinya ini hal yang sangat sulit, tapi sayangnya aku punya kesibukan yang lebih penting dari ini. Jadi, maaf ya, Ratu.” Dengan wajah yang tak kalah melas darinya.

Dengan rasa khawatir yang menyelimutinya, ditambah telepon Rara yang sudah mati, mendorong keberaniannya untuk bicara kepada Alfin. “Hmmm ... baiklah, tapi sebelum kamu pergi, bolehkah pinjam teleponmu sebentar untuk menghubungi keluargaku? Karena HP-ku mati dan aku tidak ...”

Belum selesai bicara, Alfin langsung melihat mobil Rara yang mogok itu. Ternyata, mobil itu tidak bisa dibetulkan sekarang, dan membuatnya harus menumpang mobil milik Alfin.

Keadaan hening dan sepi di dalam mobil, kini hanya ada suara mesin yang terdengar. Namun, berbeda dengan perasaan cemas yang dirasakan oleh Rara. Entah dari awal, ia mengiyakan pertanyaan itu, ia merasa khawatir dan takut dalam hatinya.

“Khm, tidak perlu takut. Penampilan saya tidak mencerminkan sifat saya,” ucap Alfin santai sambil menyapu jalan sekitar.

Dengan rasa malu dan sedikit tersipu, Rara memalingkan wajahnya ke luar jendela mobil sambil melihat pepohonan di jalan.

Di tengah perjalanan, mobil mendadak mengerem, membuat mereka berhenti dan keluar. Orang yang hampir mereka tabrak adalah seorang santri dari pondok Rara. Dia mengenakan sarung, topi hitam dan sandal jepit hijau, membuat mereka terkejut. Mereka tidak percaya bahwa Ning, kebanggaan mereka telah melakukan zina di luar pondoknya. Tanpa betanya, mereka bertiga pun pergi.

Keesokan harinya, ketika Rara sudah siap mengajar, pergi ke dapur untuk secangkir susu hangat. Di sana, terlihat sosok yang teduh dengan tatapan tenang, tetapi seperti ada setitik kesedihan di wajahnya.

“Kamu sudah bangun, cantik. Jangan lupa habiskan susunya, lalu segera pergi mengajar dan jangan lupa baca bismillah,” kata umi.

Saat menghabiskan susu, Uminya berbisik, “Jika ada masalah, ceritakan saja, dek.” Sontak kalimat itu membuat Rara berhenti meminum susu dan menoleh ke umi, yang sudah pergi meninggalkannya sendiri di dapur.

“Ringgg!” Suara bel membuat santri hilir mudik meninggalkan kelas, mengguncang halaman. Sama halnya dengan Rara, di luar terlihat santai dan tenang, tetapi hati dan otaknya sedang bertarung hebat dengan pikirannya sendiri. Rara bingung dengan maksud Uminya dan mengapa tidak ada sarapan.

Perjalanan Rara pun sampai di tempat yang sangat indah, rapi, tersusun, serta terdapat bunga-bunga cantik di sekitarnya. Satu langkah kakinya memasuki ruangan yang tak asing, dan semua mata tertuju pada Rara. Rasanya seperti sedang menjadi mangsa untuk singa-singa yang kelaparan. Ketika itu pula, orang yang tidak pernah berbicara dan selalu tersenyum ramah kepadanya berubah drastis dengan tatapan menusuk.

“Alhamdulillah kamu sudah sampai. Letakkan tasmu, lalu kemarilah duduk bersama kita di sini,” tagas Abi.

Ulya, sebagai kakak pertama dalam keluarga, langsung angkat suara. “Siapa laki-laki itu, mari kita nikahkan segera!” Dengan mengerutkan kedua alisnya, Rara pun merasa heran. “Apa? Siapa? Bukannya mas tahu kalau adek selalu di rumah dan tidak pernah punya laki-laki atau bahkan teman laki-laki sekalipun?” jawab Rara tegas dengan penuh keyakinan.

Kakak keduanya menyindir, “kamu masih membela diri padahal bukti sudah jelas!.”

Umi merasa hatinya tergerak, melihat anak bungsunya terluka. “Jangan langsung mengakimi semata. Kita dengarkan juga cerita dari adik. Namanya manusia, pasti pernah berbuat salah,” sahutnya dengan nada lembut.

“Adik, coba ceritakan kepada kami sebenarnya apa yang terjadi ketika umi menyuruh adik mengirim makanan dan juga belanja bulanan,” ucap Ulya dengan sangat tenang.

“Apa yang kakak maksud! Aku tidak melakukan apapun! Ketika itu, mobil Rara mogok dan HP Rara lowbat. Kebetulan ada seorang laki-laki yang ingin membantu Rara, dan tidak ada pilihan lain selain Rara ikut bersama laki-laki itu,” ucapnya dengan mata yang sudah sangat buram karena gundahan air di depan matanya.

“Lalu, apa lagi yang adik lakukan selama di dalam mobil?” sahut Ikhsan dengan sangat marah.

Rara menangis tanpa suara, banyak yang ingin diucapkannya, tapi ta ada satu kata pun yang keluar.”

Kini, Abinya angkat suara lagi, “Langsung saja kamu sebut, Ra, siapa dia? Dan di mana keluarganya? Dan apa yang telah kamu lakukan di dalam mobil selama itu!” Seperti ada gumpalan batu yang dilempar ke dadanya, sangat sesak sekali mendengar sosok yang selalu ia percaya dan menjadi contoh dalam hidupnya, tetapi kini ia pun tidak berpihak padanya. Rara pun tidak menjawab pertanyaan abinya dan segera pergi meninggalkan keluarganya, langsung menuju kamarnya.

Sampai waktu asar, Rara terus-terusan menangis, sampai seperti habis rasanya stok air mata yang ia miliki. Ia pun melihat sekitar kamarnya yang masih berantakan. Ia berniat bangun dan membenahi semua barangnya, namun ia merasa kamarnya seperti ada cahaya gelap yang menghitam, dan semuanya terlihat gelap.

Ketika ia bangun, ia merasa aneh dengan tempat yang ia tempati. Ia tidak berada di kamar tidurnya, melainkan di rumah sakit. Ia sadar bahwa dirinya pingsan ketika sedang membereskan barang. Abi dan Uminya yang berada di luar ruangan langsung masuk ketika mengetahui putri kesayangannya telah sadar.

“Bagaimana keadaanmu, sayang?” suara lembut yang keluar dari umi.

Ketika itu, bukannya menjawab, Rara langsung meneteskan air mata karena ia merasa bersalah dengan caranya ngambek kepada kedua orang tuanya. Bukan seperti itu caranya. Bagaimana pun, mendiamkan orang tua itu tidak baik, dan ia langsung memeluk kedua orang tuanya.

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Rara yang belum bisa mengajar, hari ini berniat membantu jualan uminya. Dengan pakaian gamis longgar dan kerudung yang menjuntai sampai lutut, tidak lupa cadar yang ia kenakan selalu senada dengan kerudung labuhnya. Sambil menikmati udara yang segar, ia membuka jendela mobil baby blue-nya. Seperti sudah lama ia tidak menggunakan mobil tersebut semenjak kejadian itu.

Ia langsung teringat, andai saja ia tidak bertemu laki-laki itu, mungkin ia tidak akan durhaka kepada orang tua dan keluarganya.

Di pondok, Alfin tengah sibuk menyiapkan barang-barang untuk disalurkan ke salah satu pondok terbesar di tempatnya. Perusahaan ayahnya memang sangat terkenal dengan kedermawanannya, sehingga setiap bulan selalu memberikan santunan, entah itu dalam bentuk uang, makanan, atau bisa juga seperti Al-Qur'an atau mainan sesekali. Kali ini, ayahnya sudah menyerahkan perusahaannya kepada salah satu putra kesayangannya, karena ia merasa sudah tidak sanggup lagi mengurus semua urusan kantor. Namun, anaknya ini sangat kekeh untuk membuka bisnis sendiri dan berusaha berbeda dari orang tuanya. Hal itu membuat Alfin tidak terlalu all-out dalam menjalankan tugas perusahaan ayahnya. Meskipun demikian, ia tidak pernah membuat malu atau mengecewakan ayahnya ketika diberikan tugas.

Kali ini, ia bersama Ali sudah menyiapkan semua barang yang akan dikirim kepada pondok tersebut. Ketika ia akan menaiki mobil, Ali pun teriak sambil setengah lari, “Eh, lu mau kemana?” Dengan sangat santai, ia menjawab, “Ya nganterin barang ini ke pondok, lah! Apalagi?”.

Ali pun langsung melotot kepada Alfin dan melirik tajam dari atas sampai bawah kaki, karena pakaian yang ia kenakan adalah kaos hitam dengan celana denim levis dan ada gelang rantai di tangan serta di lehernya. “Bisa-bisa lu diusir sama penjaga pondok! Gara-gara pakaian lu, bukan kaya orang mau ngasih bantuan, tapi lebih ke mau RAMPOK!” Dengan wajah tanpa bersalah, Alfin tertawa kecil mendengar omelan temannya. Jika tidak ada dia, mungkin benar keberadaannya akan diusir karena penampilannya.

Alfin memutuskan untuk berhenti sebentar di mall untuk membeli pakaian muslim, karena ia tidak memilikinya dan mungkin ini adalah pakaian pertama yang ia punya selama hidupnya.

Penampilannya berubah 90 derajat. Dengan instruksi jempol dari temannya, kini ia siap menjalankan misi selanjutnya. Ketika sudah sampai di pondok itu, ia melihat mobil baby blue yang tidak asing, tetapi ia tidak mengubrisnya. Lalu, ia bertemu dengan salah satu anak pimpinan pondok tersebut dan berkata, “Assalamualaikum. Kalau boleh tahu, anda siapa dan ada keperluan apa datang ke pondok kami?”

Dengan senyum yang mengembang di bibirnya, Alfin pun menjelaskan bahwa dirinya adalah putra dari salah satu perusahaan yang selalu memberikan bantuan kepada pondok ini, dan kini ia yang mengambil alih perusahaan ayahnya. Dengan sigap, Ulya pun langsung mempersilahkan Alfin untuk ke rumahnya dan bertemu dengan Abinya di rumah.

Dalam perjalanan, ada santri yang bersalaman dengan Ulya dan Alfin. Dengan samar-samar, Alfin merasa pernah bertemu dengan orang ini. Dan benar, santri itu pun merasa pernah bertemu dengannya. “Kakak ini bukannya yang pernah jalan sama Ning Rara ya?” tanyanya penasaran. Namun, santri itu segera sadar bahwa ada kakaknya Rara di sana, sehingga ia langsung menutup mulutnya dan pergi meninggalkan keduanya dengan terburu-buru. Ali pun mengikuti dari belakang dengan wajah heran.

Kini mereka sedang berkumpul di ruang tamu, sambil sesekali berbincang tentang bantuan dan kerja sama yang akan dilakukan oleh keduanya. Ketika Alfin sedang membicarakan rencana ke depannya, tiba-tiba suara wanita masuk mengambil alih semua suara dan tatapan di dalam ruangan tersebut. Yap, itu Rara yang baru saja selesai mengantarkan makanan umi dan baru saja menunaikan shalat di masjid pondoknya. Dengan sangat manis, Rara pun tersenyum di balik cadar pinknya, ia menunduk dan menyambut hangat tamu yang berada di ruangan tersebut.

Alfin pun tidak asing dengan suara tersebut dan langsung berbalik. Ternyata, benar, ia adalah wanita yang selalu terlibat dengannya akhir-akhir ini. “Waalaikum salam, Ratu...” Ketika itu pula semua mata tertuju kepada Rara dan Alfin, lantas ada hubungan apa di antara mereka, serta apa maksud dari pernyataan salah satu santrinya yang bersalaman dengan Ulya tadi.

Di dalam kamarnya, Rara berpikir keras, dan semua pertanyaan negatif muncul di pikirannya. Namun, ada satu harapan besar yang terlintas di benaknya, ia berharap keluarganya tidak ada yang mengetahui hubungan mereka. Tetapi ia berpikir kembali, ah, lagi pula aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Alfin. Kini pikirannya sedang bertarung hebat sampai ia tertidur dengan tasbih yang ada di tangannya.

Alfin dan Ali pun berniat untuk berpamitan dan memutuskan untuk pergi, namun tangannya ditahan oleh Ulya, kakak pertama dari keluarga Rara. Ia mengajak Alfin seorang diri ke taman dan meminta waktunya untuk bicara. Ali pun pergi bersama Ikhsan untuk mengangkat barang-barang yang masih tertinggal di mobil.

“Langsung saja, ada hubungan apa kamu dengan Rara? Lalu, apa maksud dari pernyataan santri tadi? Benarkah kamu pernah jalan bersama adik saya?” Dengan bertubi-tubi, Ulya bertanya kepada Alfin. Dengan wajah yang tenang, Alfin menjawab semua pertanyaan Ulya.

“Aku tidak pernah tahu bahwa ia adalah salah satu putri dari pondok ini, dan saya tidak memiliki hubungan spesial dengan Ratu. Mengenai pernyataan santri itu, aku pernah hampir menabraknya ketika aku membantu Ratu, karena mobilnya mogok dan itu sudah larut malam. Selebihnya, Ratu pernah membantu saya ketika saya nyaris mati dan tidak ada siapa pun yang membantu saya.”

Dengan wajah serius, Ulya pun membuat pernyataan sendiri tanpa dibicarakan lagi terlebih dahulu. “Karena kamu telah jalan dengan adik saya, dan semua santri di sini sudah mengetahui keberadaannya, sudah siapkah kamu untuk menghalalkan adik saya dengan segala kekurangan yang ia miliki?” Mendengar pernyataan yang sangat mendadak itu, Alfin pun sangat terkejut dengan apa yang dinyatakan Ulya.

Dari ujung jendela yang menghadap taman, Rara terbangun dengan mukena yang masih ia kenakan. Ia sedang melihat kakaknya berbincang dengan Alfin di taman. Melihat ekspresi Alfin, Rara merasa penasaran dengan apa yang sedang dikatakan kakaknya.

Sementara itu, Alfin kini berada di kantornya, menatap kosong layar hitam di depannya. Lalu, Ali pun datang dengan niat mengajaknya makan siang di luar. Dengan tatapan malas, Alfin menolak tawaran Ali. Namun, karena Ali sudah seperti saudaranya, ia pun tahu apa yang sedang dirasakan Alfin. Akhirnya, Ali berinisiatif untuk makan siang di kantor bersama Alfin.

Di tengah-tengah mereka makan, Alfin membuka percakapan. “Bagaimana pendapatmu, kalau aku menikahi orang yang belum aku kenal?” Sontak, pertanyaan itu membuat Ali hampir tersedak dengan makanannya.

“Astagfirullah, Pin! Lu hamilin anak orang? Gila ya! Nakal boleh, tapi jangan segitunya, Pin!” Dengan wajah marah, Alfin pun mengeplak kepala Ali.

“Siapa yang hamilin anak orang? Gua cuma tanya, kalau gua nikah sama orang yang belum kenal, itu gimana?” Ali meneguk air di depannya, lalu menjawab, “Apalagi alasan lu, Pin. Kalau lu nikahin orang dan belum kenal, berarti dia ... ” Belum selesai, Alfin menutup mulut Ali, yang entah sudah ke mana pembahasannya.

Setelah Alfin menjelaskan semuanya kepada Ali, kini Ali pun mengerti dan percaya bahwa sahabatnya tidak akan melakukan hal-hal aneh. Ali setuju saja dengan pernikahan itu, sebab yang dilakukannya bisa saja membantu keluarga Rara dan mengembalikan fitrah Rara sebagai wanita solehah. Lalu, Alfin pun memikirkan hal tersebut dan berniat membicarakannya lebih lanjut kepada orang tuanya.

Rara tahu apa yang telah dilakukan kakaknya, tetapi ia tidak menyadari bahwa kakaknya sudah menceritakan hal ini kepada Umi dan Abinya. Dengan wajah lelah, Rara yang baru pulang mengajar membersihkan diri dan makan siang bersama keluarganya. Saat ia menikmati makanan buatan Umi, Abinya membuka percakapan.

“Bulan depan, jangan pergi ke mana-mana, Keluarga Alfin akan datang!”

Semua kenikmatan makanan yang sedang dilahapnya hilang seketika. Kini, matanya berkaca-kaca saat melihat sekitar; seolah tidak ada penolakan, dan semua keluarganya sudah setuju, sementara dirinya merasa tidak mengetahui apa yang sebenarnya direncanakan.

Sambil mengambil lauk di depannya, Umi berkata, “Semuanya sudah dibicarakan dengan baik. Ikuti saja, semuanya sudah direncanakan.” Ucapannya tidak memberi ruang untuk penolakan. Rara pun tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, ia pun mengikuti kemauan orang tuanya.

Sementara itu, keluarga Alfin sangat senang dengan keputusan yang diambil Alfin. Keluarga Alfin sudah mengenal keluarga Rara jauh lebih dulu dibanding Alfin, dan niat baik Alfin untuk menikahi Rara malah mendapat dukungan hebat dari keluarganya. Sebenarnya, Alfin sudah jatuh cinta dengan tatapan Rara yang ceria dan manis, meski itu tertutup cadar yang dikenakannya. Namun, semua itu ditutupi oleh gengsi Alfin yang tinggi.

Hari ini, Rara tidak mau melawan kedua orang tuanya, meskipun ia merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang dipikirkan keluarganya. Begitu pula dengan Alfin yang merasa sangat gugup, karena ia masih tidak menyangka akan menikahi seorang wanita yang menurutnya sangat sempurna. Ia berjanji untuk memperbaiki dirinya.

Namun, dari sudut pandang yang berbeda, ada seseorang yang tidak diketahui keberadaannya. Ia adalah teman dari kakak kandung Rara. Ali, yang diam sambil tersenyum, melihat para tamu undangan berlalu-lalang dan menikmati makanan yang disediakan. Dalam hatinya, ada gumpalan yang tidak bisa diungkapkan, yaitu rasa sukanya terhadap Rara. Ia sudah berniat untuk menyampaikan perasaannya, tetapi sayangnya belum sempat ia mengungkapkan semuanya telah terjadi.

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar