“Semua orang punya masa kelam nak, namun cahaya Tuhan tak pernah hilang. Jika saja kau membuka matamu barang sedikit saja, maka kau akan menemukan fakta bahwa segala sesuatu yang ada di sekitarmu adalah cahaya-Nya”
Itulah kalimat yang Amah, nenekku katakan ketika beliau menceritakan sosok Bapa, suaminya sekaligus kakekku. Memang sedikit aneh, mengapa kami memanggil kakek kami sebagai Bapa, bukan kakek ataupun abah seperti yang lainnya. Tapi kami semua sudah biasa dengan panggilan itu, panggilan yang membuat kami merasa lebih dekat dengan Bapa. Bapa adalah seseorang yang sangat misterius bagiku dan bagi kami para cucunya. Bapa bukan orang yang banyak bicara, bahkan sangat sedikit bicara baik itu kepada nenekku, anak-anaknya, maupun kami cucu-cucunya.
Jikalau kau tanyakan apa yang paling aku ingat dari seorang Bapa, maka jawabanku ada pada topi koboi cokelat dan manisan nanas yang biasanya Bapa bawa sepulang menjemput borongan gula merah setiap minggunya. Serta setelan jas, kopiah hitam, dan sorban merah muda kotak-kotak yang selalu beliau gunakan saat berangkat jumatan. Bagiku, Bapa selalu jadi pria paling keren setiap harinya, dan ia berubah menjadi sangat keren saat hari Jumat tiba.
…
Oh iya aku baru ingat kita belum berkenalan ya? Tapi sepertinya tidak perlu, aku tak akan menceritakan tentang diriku saat ini, aku hanya ingin bercerita tentang Bapa, kakek kesayanganku. Sosok yang selalu membuatku bangga terlahir menjadi salah satu cucunya. Tapi aku bingung, aku bukan pencerita yang baik, jadi aku tak tau harus mulai dari mana. Mungkin urutannya pun akan sedikit berantakan, tapi tak apa, aku hanya ingin menunjukan pada Bapa bahwa aku sangat bersyukur atas hadirnya di hidupku.
Sebentar, biarkan aku berpikir dulu….
….
Rintik air hujan mengaliri bumi Pasundan kala itu, semilir angin menyebarkan hawa dingin ke seluruh penjuru rumah, berebut menusuk tulang, membuat semua yang tak berada di depan perapian menggigil kedinginan. Syahdu, itulah yang pasti dirasa, dinginnya cuaca memberikan kenikmatan tersendiri bagi siapa pun. Orang-orang yang biasanya sibuk dengan kegiatannya masing-masing akan berkumpul bersama di satu ruangan, mencoba menghalau dingin dengan sedikit gurau dan candaan.
Dan di sinilah aku, duduk berdiam di hadapan hawu (perapian dalam Bahasa Sunda) rumah Amah, tempat ini selalu menjadi spot favoritku setiap berkunjung ke rumah Amah. Bumi Pasundan yang dingin seolah tak lagi bersahabat denganku meski aku terlahir di salah satu wilayahnya dan keturunan salah satu penghuninya. “Kamu terlalu lama berkelana,” itulah kata yang terucap dari mulut Amah setiap aku mengeluh mengapa aku selalu kedinginan disini. Satu, dua, bahkan tiga selimut kadang tak cukup melindungiku dari hawa dinginnya.
Ya, di sini di depan perapian ini Bapa terdiam seperti biasanya, sesekali melihat Amah yang sibuk menyiapkan bahan masakan dan aku yang sibuk memainkan kayu bakar, berharap si api tergerak untuk menjadi pasukanku dalam menghalau dinginnya cuaca dikala hujan. Sesekali ia melemparkan pandangannya ke jendela, melihat air yang berebut membasahi dedaunan, mendengarkan irama air hujan dari genteng rumah, serta menonton lukisan alam yang timbul dari riak air yang menetes di kolam ikan depan rumah. Sesekali Bapa tersenyum, kala aku berteriak akibat letupan kayu bakar di perapian, lalu tangannya bergerak mengambil kayu bakar setiap kali api mulai padam. Selebihnya Bapa hanya diam, sembari menyesap kopi dari cangkir putih favoritnya.
Bapa memang sangat pendiam, terlalu pendiam. Bahkan mungkin jika kami coba hitung, kata-kata yang keluar dari mulutnya dalam sehari sangatlah sedikit, tak akan sampai lima kali lipatnya sepuluh. Bapa adalah sosok yang misterius, tak banyak yang kami tahu tentangnya selain sifat dan kebiasaannya.
Bapa adalah sosok pekerja keras, ulet, dan sangat rajin beribadah. Bapa orang yang sangat sabar, sedikit pun kami tak pernah mendengar Bapa meninggikan suaranya, apalagi marah. Oh iya aku ingat, pernah sekali aku melihat Bapa memarahi Amah sebab Amah terlambat membangunkannya shalat tahajud. Bapa kaget ketika melihat jam menunjukan pukul 4 dini hari. Itulah satu-satunya kemarahan yang pernah aku lihat dari wajah Bapa, dengan suara yang agak tinggi dan mata yang sedikit melotot Bapa terbangun sembari bergegas bersiap ke musala.
Bapa selalu menjadi orang yang pertama bangun di keluarga, jam berapapun azan subuh berkumandang, Bapa selalu bangun jam setengah 3 pagi, berwudu, lalu pergi ke musala dekat rumah. Musala itu bisa dibilang musala pribadi milik keluarga kami, setiap waktu salat Bapa dan Mang Aki (adiknya) selalu berjamaah di sana. Seusai saalat Bapa membaca Al-Quran sendirian, Al-Quran itu sudah sangat tua, pinggirannya pun sudah mulai sobek-sobek bahkan warna kertasnya sudah mulai menguning, menunjukkan seberapa tua ia dan seberapa sering si empunya membacanya. Tapi Bapa selalu menolak setiap kami menawarkan membeli Al-Quran baru, bahkan ketika umiku membelikannya Al-Quran baru, beliau hanya membacanya saat di rumah lalu menghadiakannya ke orang lain, tak dipakai untuk menggantikan Al-Quran tua itu. “Sudah nyaman sama yang ini, tulisannya lebih besar, lebih enak bacanya,” ujar Bapa setiap kali kami tanya mengapa tak mengganti Al-Quran tua miliknya. Kelak aku tahu, ternyata Al-Quran itu telah menemani Bapa sejak pertama kali ia bisa mengenal Al-Quran.
Ketika fajar mulai menyingsing, Bapa pulang dari musala. Sesekali ia berjalan-jalan di sekitar rumah, memeriksa jikalau ada tanaman yang kurang air atau sekedar mengeluarkan ayam dari kandang. Lalu ia pergi ke dapur, menikmati pemandangan matahari yang bergulir sembari menyesap kopi susu favoritnya, tak lupa dengan cangkir putih tuanya yang khas.
Bapa jarang sarapan nasi di pagi hari, maka dari itu Amah selalu menyiapkan bekal sebelum Bapa pergi ke ladang. Bapa juga tak pilih-pilih makanan, yang penting banyak kuahnya dan jangan terlalu pedas itulah makanan favoritnya. Bahkan hingga kini, sesekali ketika Amah sakit Bapa lebih suka memasak sendiri seadanya, supaya anak dan cucunya tak repot karenanya. Walaupun kami pasti tetap memasakan makanan untuk Bapa, dengan diiringi penolakan pastinya.
Sepulang dari ladang dan salat zuhur di musola, Bapa selalu tidur siang dengan wajah yang diselimuti sorban favoritnya. Kalau sudah begini tak ada satu pun dari kami, cucu-cucunya yang berani bersuara keras. Bapa terlalu mudah terbangun, derit pintu sedikit saja bisa membangunkannya. Berbeda jauh denganku yang suka mendadak tuli setiap tidur, umi bahkan selalu marah-marah setiap pagi, jengkel melihat anak gadisnya yang kebo, urung bangun sebelum ditarik dari tempat tidur atau disiram air keran.
Sore, selalu jadi waktu paling menghangatkan bagiku sebab sore adalah waktu bagi Bapa untuk meluangkan waktu bersama keluarganya. Lebih tepatnya memperhatikan kegiatan kami semua. Melihat cucu-cucunya yang sibuk bermain, bertengkar, ataupun mengobrak-abrik barang di depan rumah. Bapa hanya terdiam, sesekali tersenyum dan tak lama kemudian ia pergi ke dapur untuk siduru, menghangatkan diri depan tungku perapian dapur. Biasanya saat itu aku juga ikut melipir ke dapur, ikut merusuhi Amah yang sedang memasak, meminta dibuatkan pisang ataupun ubi bakar, lalu mengorek-ngorek perapian sembari mengobrol bersama Amah. Sedangkan Bapa, sesuai ceritaku sebelumnya ia hanya terdiam sembari menyesap kopi sisa tadi pagi. Sesekali Bapa menimpali lawakanku yang garing, atau tertawa melihat wajahku yang takut akan bara api namun tetap nekat mengorek-ngoreknya.
Bapa dan Amah tak pernah makan sebelum magrib, sore hari selalu mereka isi dengan berkegiatan di dapur. Hawa dingin bumi Pasundan membuat kami menjadikan dapur sebagai tempat paling tepat untuk berkegiatan di sore hari. Hangatnya tungku perapian, manisnya pisang bakar, serta renyahnya gorengan adalah kawan paling setia di setiap sore. Seusai salat maghrib aku menemani Amah dan Bapa makan malam, aku segan untuk makan lebih dulu sebelum Amah dan Bapa selesai salat. Biasanya sembari menunggu aku berdiam menatap rak piring, mencari piring mana yang paling bagus untuk Bapa gunakan walau ujungnya pilihanku selalu jatuh ke piring keramik putih motif bunga kesukaan Bapa.
Denting sendok dan piring adalah sahabat setia kami di kala menikmati makan malam. Tak banyak obrolan yang terdengar, semua sibuk dengan makanannya masing-masing. Tapi entah mengapa aku selalu merasa nyaman, tak perlu banyak kata, duduk bersama saja sudah punya makna tersendiri. Ya, bagiku diam adalah obat. Semakin aku dewasa, setiap aku merasa lelah, dan ingin ketenangan aku akan pergi ke rumah Amah, menikmati hangat dalam diam bersama Amah dan Bapa. Sekarang aku sudah tak banyak merusuh, aku sudah bisa mulai membantu mereka, menyiapkan masakan, beres-beres rumah -yang sudah jarang Amah pel karna sudah tua- ataupun mencuci semua baju Amah dan Bapa.
Selepas salat isya, kami semua langsung tertidur. Hawa dingin tak memberi kami banyak kesempatan untuk menikmati suasana malam. Letak desa tempat Bapa tinggal ada di kaki gunung yang dikelilingi ladang, persawahan, dan hutan. Untukku yang sudah cukup lama meninggalkan desa, malam selalu jadi waktuku untuk cosplay menjadi warga suku Eskimo. Tidur dengan jaket tebal, kaos kaki panjang, sarung tangan, kupluk, lalu tubuh yang digulung dengan tiga selimut tebal adalah cara terbaikku untuk bisa tidur nyenyak sepanjang malam.
Sebentar, sepertinya aku terlalu banyak bercerita ya? Aku belum menceritakan mengapa aku memberi judul ceritaku dengan cangkir kopi. FYI
, aku tidak bersahabat dengan kopi, berbeda jauh dengan Bapa yang selalu meminum kopi setiap hari. Oke ayo kita mulai ceritanya.
…
Cerita ini aku tahu dari Amah, hari itu menjadi hari pertama kau mengenal Bapa lebih jauh. Jikalau kamu ingat ceritaku tadi tentang cangkir kopi putih kamu pasti akan bertanya mengapa Bapa selalu minum dengan cangkir yang sama dan mengapa Bapa hanya menggunakan Al-Quran yang sama untuk kurun waktu yang sangat lama, bahkan hingga hari ini.
Aku pun begitu aku selalu banyak bertanya tentang Bapa ke Amah. Sama seperti kalian aku juga penasaran akan dua benda keramat itu. Aku penasaran dengan diamnya Bapa, aku penasaran bagaimana Bapa di masa mudanya, Bapa yang sangat rajin, Bapa yang ulet, dan Bapa yang selalu tampak lebih muda dibanding adik-adiknya, bahkan di umurnya yang sudah mencapai 80 tahun lebih, Bapa masih bugar, ia sama sekali tidak bungkuk sebagaimana orang tua kebanyakan. Bapa masih kuat pergi ke masjid besar di tengah-tengah kampung dan mengangkat banyak barang ke ladang.
“Bapa yang kamu lihat sekarang bukan Bapa yang dulu Amah kenal nak, Amah mengenal Bapa sejak Bapa masih terombang-ambing dalam kegelapan, saat Bapa belum mengenal apa itu shalat, apa itu membaca Al-Quran, Bapa yang kamu kenal sekarang adalah versi terbaik Bapa,” itu jawaban Amah kala aku menanyakan bagaimana Bapa di masa lalu. Dan mungkin sekarang adalah waktunya aku bercerita tentang “Cangkir Kopi Bapa Aki”.
…
Dung dang darang ding ding ding ding dung.
Tabuhan suara gendang memenuhi kampung yang ramai dengan pesta sunatan malam itu. Seorang pemuda dengan topi koboi cokelat dan jaket kuning bersemangat menabuh gendang di pangkuannya. Sorak-sorai dan tarian dari para penonton tabuhan gendang adalah pemantik terkuatnya, semakin penonton bahagia, semakin keras dan semangat ia menabuh gendangnya. Pesta sunatan malam itu berlangsung lebih lama daripada biasanya, warga kampung tempat pemuda itu manggung hari ini punya antusiasme yang sangat tinggi, terlebih pemuda yang datang malam itu adalah tukang gendang yang cukup terkenal di kecamatan.
“Bayaran yang lumayan,” ujar sekumpulan tukang gendang kepada kawannya. Sembari menyesap rokok linting dan kopi hitam panas, tangan mereka sibuk menghitung uang saweran yang mereka dapat dari pesta malam itu. Sedangkan si pemuda duduk di pinggiran teras, sibuk menenggelamkan pikirannya di alam lamunan. Malam bergemintang dan lengkingan suara burung hantu lebih menarik perhatiannya dibanding jumlah saweran yang mereka dapatkan. Sesekali kawannya melemparinya dengan kulit kacang rebus, memintanya untuk ikut bergabung dalam candaan mereka. Ia menimpali sedikit lalu kembali tenggelam dalam lamunannya.
Ale, itulah nama pemuda itu. Seorang penabuh gendang yang cukup terkenal di sekitar kaki gunung dataran Pasundan. Hari-harinya berjalan dengan ritme yang sama. Pagi-pagi buta ia sudah sibuk di depan rumah, menyiapkan alat-alat dan perbekalan yang akan ia bawa menuju sawah.
Pagi ini pun sama seperti pagi-pagi lainnya, ia harus ikut ayahnya menuju sawah ataupun ladang milik keluarga. Letak sawah yang cukup jauh memaksa mereka untuk berangkat lebih awal, jika tidak pekerjaan di ladang tidak akan selesai dan itu artinya akan semakin banyak pekerjaan yang menumpuk di kemudian hari.
Lengkingan kokok ayam jantan mulai meramaikan desa pagi itu, hawa dingin masih berebut menusuk tulang, langit pun seolah enggan membuka tirai hitamnya. Perlahan Ale mengerjapkan matanya, mencoba melawan malas dan kantuk yang masih menyelimuti dirinya. Seperti anak petani lainnya, Ale tertuntut untuk mengikuti jejak orang tuanya mengurus sawah dan ladang. Masyarakat hari itu masih buta akan pendidikan, terlebih kala itu Indonesia masih berada di akhir masa penjajahan. Sekolah, baca tulis, dan hitung menghitung -selain mata uang dan hitungan barang- bukanlah hal yang penting.
Orang tua lebih bangga dikala anaknya sudah pandai merawat ladang dan menghasilkan panen yang berlimpah daripada baca tulis. Sejak kecil, hutan kampung dan dataran persawahan sudah menjadi sahabat bagi Ale. Lika-liku jalan yang mengitari hutan sudah tergambar dengan gamblang di kepalanya. Panas terik bahkan guyuran hujan yang kadang tiba-tiba turun kala berladang sudah bukan halangan baginya. Didikan keras orang tuanya sudah cukup menempa dirinya. Ale tumbuh menjadi pemuda gagah nan berwibawa, ia pun tergolong pemuda yang cukup tampan, terlebih dengan sikap pendiamnya yang memikat siapa-pun yang berkenalan dengannya.
Seni menabuh gendang adalah satu-satunya hiburan bagi Ale, pemuda yang bersahabat dengan diam dan sunyi justru memiliki hobi yang menimbulkan keramaian, sungguh aneh bukan? Kerasnya tabuhan gendang dan sorak-sorai para penonton menjadi hiburan tersendiri baginya. Tabuhan gendang yang memekikan telinga berhasil menculik Ale dari dunianya yang sunyi. Meski sesaat, gendang telah mengenalkan Ale bahwa ramai tak selamanya harus menjadi musuh, sebab riuh tak selalu berarti gaduh, kadang ia bisa menjadi pemenuh bahagia dan penarik kebersamaan antar manusia.
Jangan tanya apa agama yang ia anut, masyarakat sekitar tempat tinggalnya hanya percaya akan tuhan, namun tak tahu siapa tuhan mereka. Kepercayaan akan alam dan ruh para leluhur adalah kepercayaan yang mutlak bagi mereka. Begitu juga Ale, bagi seorang anak yang hidup di tengah lingkungan seperti itu, ia tak punya pilihan selain percaya. “Mengapa harus tak percaya, toh semuanya masuk akal,” pikirnya kala itu.
Masa muda Ale berlangsung dengan datar, seperti hari-harinya. Ritme kehidupan terus berulang dengan nada yang sama. Ale pun mulai tumbuh dewasa, bahkan setelah menikah pun ritme kehidupanya masih sama. Pernikahan pertamanya selesai di usia yang masih seumur jagung. Istrinya meninggal tak lama setelah mereka menikah. Meski pernikahan mereka berlandaskan perjodohan, kehilangan tetap menjadi hal yang menyakitkan. Terlebih tak lama kemudian ibunya meninggal, dunianya serasa runtuh dalam sekejap. Dan Ale, menjadi lebih pendiam.
Hari itu, setelah selesai menabuh gendang di desa tetangga, Ale berkenalan dengan seorang bapak-bapak. Lebih tepatnya bapak itu menyalami Ale terlebih dahulu, memuji permainan gendangnya yang selalu memuaskan siapapun yang mendengarnya. Mereka mengobrol cukup lama, Ale seolah menemukan teman baru yang entah mengapa Ale merasa nyaman bersama orang tua itu.
Kini, ritme hidup Ale sedikit berubah. Seminggu sekali Ale pergi ke rumah orang tua itu, sekedar bercengkrama di teras rumah sembari menyesap kopi hitam pahit kesukaan orang tua itu. Dari orang tua itu Ale mulai mengenal dunia baru, entah bagaimana ceritanya setiap obrolan mereka seolah membuka tabir gelap yang selama ini menutupi pandangannya. Dari orang tua itu pula Ale mulai mengenal apa itu membaca, serta banyak cerita tentang dunia luaran sana.
Semakin lama, mereka semakin akrab hingga akhirnya orang tua itu berniat menikahkan Ale dengan salah satu anak gadisnya, Lea. Gadis berambut hitam tebal nan panjang yang selama ini hanya sesekali muncul menyajikan kopi dengan cangkir putih ke hadapannya. Awalnya Ale ragu untuk menyetujui permintaan itu, ia takut pernikahannya kali ini juga tidak berhasil. Ia takut kehilangan, luka lama itu belum sembuh. Ia tak siap jika harus menorehkan luka yang baru.
Namun, setelah berpikir cukup lama ia pun menerima tawaran tersebut, rasa hormatnya pada orang tua tersebut berhasil meyakinkannya bahwa pernikahan kali ini mungkin akan berhasil. Di hari pernikahannya yang sederhana bahkan amat sederhana, orang tua itu menghadiahkan Ale cangkir kopi putih yang selama ini ia gunakan saat berkunjung ke rumah. Pemberian cangkir ini diiringi dengan pesan agar Ale tak perlu banyak datang ke rumah orang tua itu lagi, karna Lea akan memberikan Ale kunci ke arah cahaya yang selama ini Ale cari.
Perlahan, dunia Ale mulai berubah secercah cahaya seolah terbuka di hadapannya. Dunianya yang sunyi mulai berdenting, perlahan namun pasti Lea mulai memberikan suara di dunia Ale yang sepi. Perangai Lea yang dulu Ale kenal pemalu ternyata berbeda dengan Lea yang ia kenal kini. Lea mewarisi pengetahuan Abah, orang tua yang selama ini Ale anggap sebagai guru hidupnya. Lea sedikit cerewet sebagaimana wanita lainnya, dan Lea sama seperti abahnya, ia tak mengarahkan Ale kemana ia harus melangkah, Lea hanya memberikan contoh bagaimana hidup seharusnya berjalan.
Runitinas pagi Ale tetap sama, bedanya kini Lea kana menjadi sahabat Ale setiap pergi ke ladang. Ada seseorang yang mendukungnya di sampingnya membuat Ale lebih bersemangat, harapan untuk memberikan kebahagiaan di masa depan semakin mencuat. Setiap sore adalah waktu bagi Ale dan Lea menikmati senja di teras rumah. Ale terdiam di depan rumah; menenggelamkan diri dalam lamunan yang entah mengapa selalu membawanya. Sedangkan Lea, ia mulai membaca sesuatu yang Ale tidak fahami apa isinya. Jangankan tahu isinya, tahu apa membaca saja Ale boro-boro.
Lima kali dalam sehari, Ale selalu melihat Lea berdiam di bilik khusus miliknya. Melakukan ritual yang Ale tidak tahu apa itu. Bagi Ale, melihat Lea dan kegiatan anehnya itu sangat menenangkan. Wajah Lea teramat tenang, seolah tak ada sedikit-pun yang mengganggu pikirannya. Terkadang Ale penasaran apa yang Lea baca, kegiatan apa yang Lea lakukan lima kali sehari itu. Namun ia gengsi untuk bertanya. Ia malu untuk belajar dari Lea, karna sebagai seorang suami seharusnya ia lebih tahu dari Lea.
Sesekali dalam seminggu Ale keluar bersama kawan-kawan penabuh gendang lainnya. Menghadiri pesta hajatan di desa sekitar, “Hanya menyalurkan hobi,” alibinya setiap kali teman-temannya bertanya mengapa ia masih menjadi penabuh gendang padahal hidupnya sudah berkecukupan. Riuh bagi Ale juga bagian dari ketenangan, seramai apapun dunia luar tak pernah seramai isi kepalanya, Ale banyak berpikir], terlalu banyak berpikir.
…
Beberapa bulan setelah pernikahan, Lea mengandung. Bahagia memenuhi rumah tangga mereka, kini dunia mereka akan lengkap dengan hadirnya seorang anak. Senyum senantiasa tersungging di bibir kedua pasangan itu. Hari-hari seolah tak pernah mendung, angin pun menari membelai nyaman. Beberapa hari sebelum hari kelahiran Lea menjerit kesakitan, Ale yang sedang memotong kayu bakar lantas tergopoh berlari. Demi melihat istrinya yang terbaring lemah, matanya mulai memerah. Ia tak tahu mesti berbuat apa. Dengan panik, ia memanggil dukun beranak yang tinggal tak jauh dari rumahnya.
Detik demi detik berlalu, menit terlewat menyiksa penunggunya, suasana sore hari itu terasa mencekam. Ale berusaha mengusir pikiran buruk di kepalanya, menghalau semua bayang kehilangan yang terus menghampirinya. Sesekali ia mendekati pintu kamar, namun rasa takut menahannya.
Sekian jam telah beralu, langit pun sudah mengganti baju ke jubah hitam kebanggaannya, hawa dingin pun mulai menusuk tulangnya, seolah mencoba menggetarkan rasa takutnya. Tak lama kemudian, sang dukun beranak keluar dari kamar, menggendong anaknya yang telah membiru. Dunia Ale runtuh, bergetar tangannya kala menyentuh tangan mungil bayi mereka. Air mata mengalir tanpa ia sadari, pelangi yang selama ini menanungi rumah mereka seolah menghilang digantikan oleh kilat petir yang menghujam. Di dalam sana Lea terdiam lemah, auh di lubuk hati terdalamnya ia merasa menjadi manusia paling berdosa, ia tak mampu menjaga buah hati mereka.
Sekian bulan berlalu, duka masih terus menaungi rumah tangga mereka. Lea yang cerewet telah hilang digantikan oleh Lea yang sangat pendiam. Begitupun Ale, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghibur istrinya. Karna jauh di lubuk hatinya ia juga hancur, hancur oleh kehilangan yang terus menghampirinya.
Perlahan awan hitam mulai memudar, mereka mulai mencoba merelakan apa yang terjadi. Meski duka terus membayangi, namun hidup tak boleh berhenti. Setahun berikutnya Lea kembali mengandung. Namun takdir berkata lain, putri kecil meraka meninggal di usianya yang baru tujuh hari. Ale dan Lea kembali berduka, entah apa yang dunia rencanakan hingga mereka terus ditinggal orang tersayang.
…
Senja itu, di tengah cahaya lembayung yang memerah Lea meminta izin pada Ale. Ia ingin belajar kepada guru yang datang dari jauh. Konon katanya guru itu bahkan pernah belajar di pesantren; tempat yang Ale tak tahu apa artinya. Kata Lea tempat itu adalah tempat dimana orang belajar agama, belajar mengenal penciptanya, belajar membaca buku bacaan Lea yang kelak Ale tahu bernama Al-Quran, kitab petunjuk kehidupan. Ale hanya mengangguk, mengiyakan permintaan Lea sembari menyeruput kopi di cangkir putih pemberian Abah.
Esok harinya Lea mulai pergi dari rumah, meninggalkan Ale yang terdiam di teras rumah. Lea selalu pergi setelah menyajikan kopi di cangkir putih favorit Ale. Siulan burung di sore hari, dan belaian angin sore menjadi sahabat setia Ale. Jika sore mulai menjelang, Ale mulai turun dari teras rumah, menggiring ayam-ayam peliharaannya menuju kandang. Lalu ia berpindah ke dapur, meyalakan tungku perapian guna menghangatkan tubuh dari hawa yang mulai mendingin. Tak lama berselang Lea datang, wajahnya selalu sumringah entah apa sebabnya. Seringkali Lea menceritakan apa yang ia pelajari hari itu. Abah benar, Lea akan membukakannya akan dunia. Perlahan, secercah cahaya kembali terbuka di depan matanya.
Senja hari ini sama dengan senja biasanya, Ale menyeruput kopi di depan rumah menunggu sore menjelang. Di tengah lamunannya Ale terdiam, lamat-lamat ia menatap cangkir kopinya, warna cangkir yang putih bersih bertolak belakang dengan hitamnya kopi, menampilkan kontras yang sangat jelas terlihat seolah ingin menunjukan bahwa dua hal yang berbeda bukan berarti mustahil baginya untuk bersama, berdampingan menciptakan harmonisasi baru dalam perbedaan.
Ale tahu dari mana kopi itu berasal, karna ia sendiri yang menanamnya. Kopi yang bukan apa-apa saat masih biji bisa menjadi minuman yang sangat nikmat, digemari setiap orang. Namun proses si kopi sangatlah panjang, ia harus rela kedinginan untuk meluruhkan kulitnya, lalu dipanaskan di bawah terik matahari. Setelah itupun ia masih harus merasakan bara api yang memanggangnya dari balik wajan, mengubah roman tubuhnya yang semula putih menjadi hitam legam.
Seolah belum cukup, si kopi harus rela merasakan sakitnya ditumbuk dengan alu di lumbung. Ia yang dulu sebuah biji yang putih, kokoh, dan keras kini berubah menjadi butiran halus dan hitam legam. Jangan harap si kopi bisa digunakan untuk melempari burung, terkena angin sedikit saja ia terbang, hilang tak terlihat wujudnya. Namun si kopi dapat tersenyum puas, meski berat perjalanan yang harus ia lalui, nilai jualnya menjadi lebih mahal dibanding saat ia masih biji. Sedikit saja, bahkan walau hanya aromanya si kopi dapat memberikan kenikmatan bagi siapapun yang mencium aromanya. Setiap tetes seruputan yang masuk ke mulut manusia dapat memberikan rasa nikmat tiada tara. Pun dapat kamu temukan cangkir-cangkir kopi menjadi peneman setia kala manusia saling bercengkrama.
Kopi dapat berdamai dengan masa lalunya, ia tak protes meski berat lika-liku perjalanannya. Ia tak menolak meski tubuh putihnya harus hancur menjadi butiran hitam legam, begitu juga kala menjadi bubuk, si kopi tak pernah berseteru dengan hitam manakah di antara mereka yang paling pahit. Karna mereka adalah satu kesatuan, kopi akan terasa nikmat setelah ia menjadi hitam, pun hitam hanya akan terasa nikmat kala ia terasa pahit. Satu kesatuan, saling melengkapi.
Cangkir kopi di tangannya mendadak bergetar, hati Ale tergugah dengan apa yang baru saja terlintas di pikirannya. Ia membayangkan istrinya yang lemah lembut dan cerdas namun tetap punya pendirian sekokoh cangkir di tangannya. Namun ia belum menjadi kopi yang kini tersaji di hadapannya. Ale terlalu sibuk dengan dunianya, dunia tanpa pengetahuan apapun selain bertani dan menabuh gendang, dunia yang selalu terasa kosong entah apa sebabnya. Ale terlalu malu untuk bertanya, atau sekedar belajar dari Abah maupun Lea. Ale lebih suka mendengar, mengaguni dan mempercayai semua yang dikatakan Abah tanpa mendalami apa yang Abah sampaikan.
Langit mulai menggelap, burung-burung pun sudah bertengger di sarangnya masing-masing. Cuaca bumi Pasundan tetap dingin, sedingin biasanya. Namun hati Ale bergejolak, ego dan pikirannya tengah berperang dengan gugahan yang memenuhi hatinya. Ale sedang berusaha menurunkan egonya. Malam ini ia harus menyampaikan maksudnya pada Lea, tanpa rasa malu, tanpa rasa gengsi. Perlahan Ale membuka bilik tempat Lea melakukan aktivitas asingnya yang kelima, Lea tengah duduk manis di atas alas yang kelak ia tahu bernama sajadah. Di depannya terbuka halaman dengan tulisan asing yang sama sekali tak pernah Ale tahu cara bacanya. Ia mendengar suara lembut Lea, indah terasa seolah Ale menemukan mata air di tengah gurun yang gersang. Hatinya yang sunyi mendadak terasa penuh, niatnya sudah semakin bulat.
Perlahan Ale memasuki bilik pribadi Lea membuat Lea berhenti dari bacaannya, istrinya hanya menatapnya dengan raut wajah bingung. Tak biasanya Ale menghampirinya di waktu-waktu ini, hal mendesak apakah yang mendorong Ale untuk datang padanya saat ini? Pertanyaan itu melintas di kepala Lea, seingatnya ia tak melakukan kesalahan apapun hari ini, begitupun Ale ia tetap sama seperti biasanya.
“Neng, aa mau belajar dari eneng. Dari kemarin aa penasaran apa yang selalu eneng baca dan apa yang enang di bilik ini. Aa sadar aa masih bodoh, banyak yang aa nggak tau bahkan walaupun hidup kita tergolong nyaman, hati aa serasa kosong. Abah pernah mengatakan tentang tuhan ke aa, kalau aa boleh minta dan eneng berkenan, aa mau minta eneng buat ngajarin aa.” Akhirnya setelah sekian lama menimbang, kalimat itu bisa terucap sempurna dari mulutnya.
Mata Lea berkaca-kaca, benar kata abahnya dulu, Ale tak perlu banyak diajari, ia sudah punya cara berpikir yang baik. Abah benar, penikahannya dan Ale akan memberikan cahaya baru bagi Ale dan dirinya. Ia hanya perlu menjadi cangkir putih kokoh seperti yang abahnya berikan pada Ale, karna Ale akan menemukan cahayanya sendiri. Cahaya yang memang sudah ada sejak lama, mengitari hidup kita namun belum bisa kita jemput karna ada penghalang tipis di antaranya, yakni rasa malu, egoisme , dan ketidaktahuan kita.
Lea tak menjawab pertanyaan Ale, ia hanya terdiam lalu berdiri melangkah ke arah lemari kecil di pojokan kamar. Mengeluarkan sebuah kotak coklat tua dan meletakannya di depan Ale yang masih terdiam menunggu jawabannya. Perlahan Lea membuka kotak tersebut, menampakan sebuah buku berwarna keemasan. “A, ini titipan dari Abah di hari pernikahan kita. Eneng tak pernah tahu kapan seharusnya eneng menyerahkan ini ke Aa. Abah hanya menitipkan ini ke Lea, Abah bilang suatu saat Aa pasti tahu apa ini.” Tangan Lea bergetar hebat, seolah menyerahkan gunung yang sebegitu beratnya, amanah yang dulu Lea tak tahu apa dan bagaimana cara menyampaikannya kini terbuka lebar di depan matanya.
Ale sudah menemukan cahayanya. Benar pesan Abah kala itu, “Semua oramg punya masa kelam nak, namun cahaya tuhan tak pernah hilang. Jika saja kau membuaka matamu barang sedikit saja, maka kau akan menemukan fakta bahwa segala sesuatu yang ada di sekitarmu adalah cahaya-Nya”. Lea tergugah, rasa haru dan bahagia membuncah dari hatinya. Ia seolah baru saja menemukan bukti dari banyaknya rahasia ilahi yang selama ini seolah hanya kata. Abah benar, cahaya ada untuk siapa saja termasuk untuk Ale, suaminya.
…
Tahun demi tahun terus berjalan, Ale yang dulu masih kesulitan menghafal huruf hijaiyah, terbata-bata melafalkan a ba a ta ba ta tsa, kini bahkan tak pernah meninggalkan bacaan qurannya. Ale yang dulu tak pernah tahu menahu akan shalat, kini bahkan selalu menjadi contoh pertama anak cucunya dalam hal shalat. Ale yang tak pernah tahu apa itu tuhan sekarang menjadi pengingat akan tuhan. Ale tetaplah Ale yang pendiam, Ale tak berubah jadi seorang penceramah kondang ataupun tokoh inspirator. Ale tetaplah Ale yang lebih suka tenggelam dalam dunia khayalnya. Namun Lea tahu pasti, cahaya itu tak akan pernah meninggalkan Ale sejak pertama kali ia menjemputnya, bahkan Lea yakin cahaya itu akan terus mengitari keluarga besar mereka.
Banyak ujian yang menimpa mereka selama berpuluh tahun bersama, mulai dari kehilangan 9 dari 12 anak mereka hingga ujian-ujian lainnya yang mungkin tak akan pernah habis untuk diutarakan. Tapi Lea tetap bisa berdiri jumawa. Seperti kata Abah, ia harus tetap menjadi cangkir putih bagi pahit manisnya hidup Ale. Dan Ale dalam diamnya terus bertekad menjadi kopi yang tak akan pernah hancur dengan dunia yang terkadang tak sesuai ekspektasinya. Ia hanya yakin tuhan adalah pengolah terbaik dalam hidupnya, tuhan akan terus membawanya pada cahaya yang kelak akan menjadi penerang bagi keturunannya.
…
Aku terdiam, benar-benar tak menyangka bahwa cangkir putih tua favorit Bapa ternyata punya makna sedalam itu. Aku semakin bangga terlahir menjadi salah satu cucunya Bapa. Senja hari ini menjadi saksi akan janjiku untuk mengikuti jejak perjalanan Bapa (kecuali sifat pendiamnya karna aku terlahir cerewet sejak kecil). Dan lihatlah di depan aku dan Amah, Bapa sedang sibuk menyirami tanaman cabe depan rumah, tangannya sibuk membenahi posisi bambu penahan pohon cabe agar tetap kokoh, sedangkan pandangannya aku tak tahu sedang tenggelam di pikiran yang mana.
Bapa, di usia senjanya masih tampak segar bugar bahkan terlihat masih usia lima puluhan.
Bapa, di usia senjanya ini masih bisa istiqomah shalat ke mushala setiap harinya.
Bapa, di usia senjanya bahkan disaat salah satu matanya sudah tidak bisa melihat, masih terus mendawamkan tilawah Qurannya.
Bapa, di usia senjanya semakin dekat dengan tuhan, bahkan seringkali mengingatkan kami bahwa kematian adalah hal yang pasti, hanya perlu menyiapakan bekal tanpa harus ditakuti.
Bapa, di usia senjanya tetap jadi pribadi yang tenang dan damai sedamai suasana senja kali ini.
Aku benar-benar bersyukur bisa mengenal Bapa hari ini, tak masalah dengan masa lalu Bapa yang bahkan tak tahu apa itu tuhan, tak masalah dengan Bapa yang bahkan tak pernah sekolah. Tak masalah dengan Bapa yang bukan orang kaya harta. Aku bangga dengan Bapa yang sudah berani menjemput cahayanya. Aku bangga dengan Bapa yang telah belajar semampunya. Bapa, aku bangga jadi cucu Bapa.
Sehat selalu ya Pa, walau kini aku berada jauh dari Bapa aku selalu mendoakan Bapa dan Amah di sana. Aku tak akan meminta Bapa untuk bisa melihat cicitmu nanti (sebab suami saja aku belum punya, belum tahu siapa haha), karna aku tahu Bapa sudah sangat rindu akan sang pencipta.
Bapa, sekali lagi cucumu yang kadang sangat nakal dan cerewet ini ingin mengatakan,” “Aku bangga terlahir sebagai cucu Bapa. Terima kasih telah mencoba bertahan dan berjuang hingga jadi kopi yang nikmat bagi siapapun yang menciumnya, dan untuk Amah terima kasih untuk tetap bertahan sebagai cangkir putih nan kokoh. Terima kasih."
0 Komentar