Sebagai manusia, sudah seharusnya kita
berakhlak dan berbudi pekerti yang baik dalam bermasyarakat sedini mungkin. Sejak
pertama kali manusia mulai belajar dari lingkungannya, akhlak menjadi dasar
dalam pembentukan karakter seseorang. Kenapa sangat penting berakhlak baik sejak
dini? Karena seorang manusia dinilai bukan hanya dari apa yang ia lakukan
sekarang, juga tidak pernah bisa dinilai dari apa yang akan ia lakukan di masa
depan. Manusia dinilai dari masa lalu yang membentuknya menjadi ia yang
sekarang. Meskipun kita tahu bahwa manusia sangat dinamis dan mudah
berubah-ubah. Sayangnya, fakta ini akan tetap berlaku hingga kapan pun, bahwa
manusia dinilai dari apa yang telah ia kerjakan di masa lampau.
Memiliki akhlak dan budi pekerti
sejak dini dapat membantu kita menjaga nama baik dan membentuk rekam jejak yang
bersih. Karena akhlak yang baik memiliki nilai yang sejajar dengan perilaku
yang baik juga. Jika seseorang memiliki akhlak yang baik, sudah bisa dipastikan
bahwa perilaku yang dihasilkan juga akan baik. Perilaku itu sendiri adalah
manifestasi atau perwujudan akhlak seorang manusia. Salah satu bentuk perilaku
yang sangat mudah dinilai adalah ucapan atau ungkapan, baik dalam bentuk lisan maupun
tulisan.
Allah berfirman: “Tidakkah kamu
perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit (Ibrahim:
24).” Abu Yahya Marwan Hadidi bin Musa dalam bukunya Hidayatul Insan bi
Tafsiril Qur’an mengatakan: “Yang termasuk kalimat baik adalah kalimat
tauhid, semua ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari
kemungkaran, serta perbuatan yang baik.” Seperti itulah pohon sebagai
perumpamaan seseorang. Akarnya adalah apa yang ada di dalam diri kita. Cabang
yang menjulang adalah perilaku seseorang yang bisa dilihat dan dirasakan oleh panca
indra. Maka, untuk menumbuhkan cabang pohon yang baik kita perlu merawat akar
dengan menjaga akhlak kita. Menjaga akhlak adalah kunci agar perilaku, ucapan
dan sikap kita selalu berbuah baik.
Kita bisa mengambil contoh seberapa
pentingnya menjaga akhlak dari ulama kita terdahulu, khususnya tentang
bagaimana cara mereka menanggapi ucapan atau ungkapan seorang ulama. Dalam ilmu
hadis, kredibilitas ulama perawi benar-benar sangat diperhatikan dan diteliti
dengan serius asal usulnya. Jika perawi tersebut pernah berbohong meskipun
hanya satu kali, maka tidak ada hadis yang bisa diambil darinya. Bahkan, ketika
hanya dituduh berbohong, hadis yang datang darinya bisa dipertanyakan
kesahihannya. Karena pasti ada alasan mengapa ia bisa sampai dituduh. Dari sini
sudah terlihat betapa pentingnya bagi kita untuk berhati-hati dalam menjaga ucapan
kita.
Selain mengambil pelajaran dari cara
ulama hadis yang sangat menjaga rekam jejaknya demi kredibilitas yang baik. Kita
bisa mengambil contoh nyata yang sangat dekat dengan kita keberadaannya. Sebut
saja fufufafa, sedang ramai dibicarakan oleh seantero Nusantara. Meskipun belum
ada konfirmasi dari tokoh terkait, namun seluruh pencarian warga sudah
terlanjur tertuju padanya. Terlepas dari benar atau tidak, kita bisa mengambil
benang merah dari peristiwa yang menghantam salah satu tokoh penting di Negara
kita ini. Kita harus senantiasa berhati-hati dalam menyuarakan pikiran, baik
dalam bentuk lisan maupun tulisan. Karena hal itu bisa sangat mempengaruhi diri
kita di masa depan. Apalagi jika hal itu tertulis di media sosial pada era
digital seperti sekarang ini.
Umar bin Khattab pernah berkata “Aku
tidak pernah sekali pun menyesali diamku, namun aku berkali-kali menyesali
bicaraku.” Seperti Umar, kita juga sering kali menyesali apa yang kita ucapkan,
baik disengaja atau yang spontan keluar tanpa pikir panjang. Apalagi ucapan
atau ungkapan yang kita keluarkan ketika keadaan emosi tidak stabil. Emosi yang
tidak stabil cenderung akan mengungkapkan sesuatu yang tidak baik dan akan
berdampak tidak baik juga. Emosi yang tidak stabil ini, ujungnya akan berakar
pada akhlak atau kebiasaan seseorang menanggapi emosinya.
Ucapan yang tidak baik, selain
menyakiti lawan bicara juga biasanya menimbulkan rasa sesal yang datang
menghampiri sang penutur kata. Penyesalan ini kadang bisa datang dari dalam
diri secara spontan. Biasanya orang akan overthinking, apakah ucapan tersebut
menyakiti perasaan orang lain atau tidak. Bisa jadi, penyesalan itu datang
setelah seseorang merasakan akibat buruk yang disebabkan oleh ucapannya. Misalnya,
dijewer oleh guru karena mengucapkan kalimat yang tidak pantas. Bahkan, sesuatu
yang lebih buruk bisa saja terjadi.
Kedua penyesalan itu, mencerminkan
dua akhlak yang berbeda. Seseorang yang menyesal secara spontan setelah
mengucapkan hal buruk, memiliki akhlak yang condong kepada kebaikan. Karena,
dengan segera ia menyesali perilaku buruknya. Seseorang yang menyesal setelah ia
mendapatkan akibat buruk dari eksternal, cenderung memiliki akhlak yang kurang
baik. Karena, penyesalannya bukan datang dari dalam diri sendiri. Namun, hanya bentuk
ketidakpuasan atas hasil atau akibat yang ia dapatkan.
Seperti yang sudah disebutkan, bahwa
perkataan adalah salah satu perwujudan akhlak itu sendiri. Penyesalan atas
perkataan yang buruk pun sebagai buah dari akhlak yang ada di dalam diri
seorang manusia. Lalu, akhlak itu apa sih? Akhlak adalah potensi seseorang
melakukan sesuatu secara spontan, condong pada satu dari dua hal, yaitu
kebaikan atau keburukan. Kemudian bagaimana cara kita menuju kebaikan, jika
selalu spontan pada keburukan? Kespontanan ini terbentuk dari suatu kebiasaan
yang bisa dilatih sejak manusia bisa memproses informasi. Akhlak berbeda dengan
kepribadian yang dimiliki manusia sejak lahir. Akhlak dibentuk dan dilatih, diupayakan
secara terus-menerus, hingga menjadi kebiasaan dan kespontanan yang tidak perlu
dilakukan dengan pikir panjang.
Seseorang bisa memiliki akhlak yang
baik, tentu tidak didapatkan dengan cara yang instan. Normalnya seorang manusia
ketika masih kecil akan belajar membentuk akhlaknya dari orang terdekat, yaitu
orang tua. Dengan cara melihat, memperhatikan, lalu meniru apa yang ia dapatkan
dari lingkungannya. Dengan bimbingan orang tua atau seseorang yang lebih tahu,
manusia mampu belajar untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar,
mana yang baik dan mana yang buruk. Melatih perilaku dan mengupayakan agar bisa
menjadi manusia yang berakhlak baik.
Melatih diri untuk selalu melakukan kebaikan hingga kebaikan itu melekat pada kita, adalah suatu upaya memperbaiki akhlak jika kita masih spontan melakukan hal-hal yang tidak baik. Dengan pembiasaan itu, secara bertahap kita akan memiliki akhlak yang baik dan secara spontan bisa melakukan hal-hal yang baik. Tentu saja, hal ini akan mendorong kita agar selalu mengucapkan kebaikan. Menjauhkan kita dari sumpah serapah dan caci maki yang spontan diucapkan. Menjaga diri kita dari kebencian kepada seseorang atau sebaliknya. Pada akhirnya, akhlak yang dibentuk sedini mungkin akan membentuk siapa kita di masa depan dan menjaga kita dari kosekuensi perbuatan di masa lalu.
2 Komentar
opininya cukup berkesan dan membuat renungan kita termasuk akhlak yang mana. Good job
BalasHapusOpininya sangat berkesan dan menjadikan bahan renungan kita termasuk akhlak yang mana
BalasHapus