Header Ads Widget

Darussalam Audio

Merekam Jejak dengan Bijak sebagai Manifestasi Akhlak yang Bajik

 

Oleh: Mutiara

Sebagai manusia, sudah seharusnya kita berakhlak dan berbudi pekerti yang baik dalam bermasyarakat sedini mungkin. Sejak pertama kali manusia mulai belajar dari lingkungannya, akhlak menjadi dasar dalam pembentukan karakter seseorang. Kenapa sangat penting berakhlak baik sejak dini? Karena seorang manusia dinilai bukan hanya dari apa yang ia lakukan sekarang, juga tidak pernah bisa dinilai dari apa yang akan ia lakukan di masa depan. Manusia dinilai dari masa lalu yang membentuknya menjadi ia yang sekarang. Meskipun kita tahu bahwa manusia sangat dinamis dan mudah berubah-ubah. Sayangnya, fakta ini akan tetap berlaku hingga kapan pun, bahwa manusia dinilai dari apa yang telah ia kerjakan di masa lampau.

Memiliki akhlak dan budi pekerti sejak dini dapat membantu kita menjaga nama baik dan membentuk rekam jejak yang bersih. Karena akhlak yang baik memiliki nilai yang sejajar dengan perilaku yang baik juga. Jika seseorang memiliki akhlak yang baik, sudah bisa dipastikan bahwa perilaku yang dihasilkan juga akan baik. Perilaku itu sendiri adalah manifestasi atau perwujudan akhlak seorang manusia. Salah satu bentuk perilaku yang sangat mudah dinilai adalah ucapan atau ungkapan, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Allah berfirman: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit (Ibrahim: 24).” Abu Yahya Marwan Hadidi bin Musa dalam bukunya Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an mengatakan: “Yang termasuk kalimat baik adalah kalimat tauhid, semua ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran, serta perbuatan yang baik.” Seperti itulah pohon sebagai perumpamaan seseorang. Akarnya adalah apa yang ada di dalam diri kita. Cabang yang menjulang adalah perilaku seseorang yang bisa dilihat dan dirasakan oleh panca indra. Maka, untuk menumbuhkan cabang pohon yang baik kita perlu merawat akar dengan menjaga akhlak kita. Menjaga akhlak adalah kunci agar perilaku, ucapan dan sikap kita selalu berbuah baik.

Kita bisa mengambil contoh seberapa pentingnya menjaga akhlak dari ulama kita terdahulu, khususnya tentang bagaimana cara mereka menanggapi ucapan atau ungkapan seorang ulama. Dalam ilmu hadis, kredibilitas ulama perawi benar-benar sangat diperhatikan dan diteliti dengan serius asal usulnya. Jika perawi tersebut pernah berbohong meskipun hanya satu kali, maka tidak ada hadis yang bisa diambil darinya. Bahkan, ketika hanya dituduh berbohong, hadis yang datang darinya bisa dipertanyakan kesahihannya. Karena pasti ada alasan mengapa ia bisa sampai dituduh. Dari sini sudah terlihat betapa pentingnya bagi kita untuk berhati-hati dalam menjaga ucapan kita.

Selain mengambil pelajaran dari cara ulama hadis yang sangat menjaga rekam jejaknya demi kredibilitas yang baik. Kita bisa mengambil contoh nyata yang sangat dekat dengan kita keberadaannya. Sebut saja fufufafa, sedang ramai dibicarakan oleh seantero Nusantara. Meskipun belum ada konfirmasi dari tokoh terkait, namun seluruh pencarian warga sudah terlanjur tertuju padanya. Terlepas dari benar atau tidak, kita bisa mengambil benang merah dari peristiwa yang menghantam salah satu tokoh penting di Negara kita ini. Kita harus senantiasa berhati-hati dalam menyuarakan pikiran, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Karena hal itu bisa sangat mempengaruhi diri kita di masa depan. Apalagi jika hal itu tertulis di media sosial pada era digital seperti sekarang ini.

Umar bin Khattab pernah berkata “Aku tidak pernah sekali pun menyesali diamku, namun aku berkali-kali menyesali bicaraku.” Seperti Umar, kita juga sering kali menyesali apa yang kita ucapkan, baik disengaja atau yang spontan keluar tanpa pikir panjang. Apalagi ucapan atau ungkapan yang kita keluarkan ketika keadaan emosi tidak stabil. Emosi yang tidak stabil cenderung akan mengungkapkan sesuatu yang tidak baik dan akan berdampak tidak baik juga. Emosi yang tidak stabil ini, ujungnya akan berakar pada akhlak atau kebiasaan seseorang menanggapi emosinya.

Ucapan yang tidak baik, selain menyakiti lawan bicara juga biasanya menimbulkan rasa sesal yang datang menghampiri sang penutur kata. Penyesalan ini kadang bisa datang dari dalam diri secara spontan. Biasanya orang akan overthinking, apakah ucapan tersebut menyakiti perasaan orang lain atau tidak. Bisa jadi, penyesalan itu datang setelah seseorang merasakan akibat buruk yang disebabkan oleh ucapannya. Misalnya, dijewer oleh guru karena mengucapkan kalimat yang tidak pantas. Bahkan, sesuatu yang lebih buruk bisa saja terjadi.

Kedua penyesalan itu, mencerminkan dua akhlak yang berbeda. Seseorang yang menyesal secara spontan setelah mengucapkan hal buruk, memiliki akhlak yang condong kepada kebaikan. Karena, dengan segera ia menyesali perilaku buruknya. Seseorang yang menyesal setelah ia mendapatkan akibat buruk dari eksternal, cenderung memiliki akhlak yang kurang baik. Karena, penyesalannya bukan datang dari dalam diri sendiri. Namun, hanya bentuk ketidakpuasan atas hasil atau akibat yang ia dapatkan.

Seperti yang sudah disebutkan, bahwa perkataan adalah salah satu perwujudan akhlak itu sendiri. Penyesalan atas perkataan yang buruk pun sebagai buah dari akhlak yang ada di dalam diri seorang manusia. Lalu, akhlak itu apa sih? Akhlak adalah potensi seseorang melakukan sesuatu secara spontan, condong pada satu dari dua hal, yaitu kebaikan atau keburukan. Kemudian bagaimana cara kita menuju kebaikan, jika selalu spontan pada keburukan? Kespontanan ini terbentuk dari suatu kebiasaan yang bisa dilatih sejak manusia bisa memproses informasi. Akhlak berbeda dengan kepribadian yang dimiliki manusia sejak lahir. Akhlak dibentuk dan dilatih, diupayakan secara terus-menerus, hingga menjadi kebiasaan dan kespontanan yang tidak perlu dilakukan dengan pikir panjang.

Seseorang bisa memiliki akhlak yang baik, tentu tidak didapatkan dengan cara yang instan. Normalnya seorang manusia ketika masih kecil akan belajar membentuk akhlaknya dari orang terdekat, yaitu orang tua. Dengan cara melihat, memperhatikan, lalu meniru apa yang ia dapatkan dari lingkungannya. Dengan bimbingan orang tua atau seseorang yang lebih tahu, manusia mampu belajar untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar, mana yang baik dan mana yang buruk. Melatih perilaku dan mengupayakan agar bisa menjadi manusia yang berakhlak baik.

Melatih diri untuk selalu melakukan kebaikan hingga kebaikan itu melekat pada kita, adalah suatu upaya memperbaiki akhlak jika kita masih spontan melakukan hal-hal yang tidak baik. Dengan pembiasaan itu, secara bertahap kita akan memiliki akhlak yang baik dan secara spontan bisa melakukan hal-hal yang baik. Tentu saja, hal ini akan mendorong kita agar selalu mengucapkan kebaikan. Menjauhkan kita dari sumpah serapah dan caci maki yang spontan diucapkan. Menjaga diri kita dari kebencian kepada seseorang atau sebaliknya. Pada akhirnya, akhlak yang dibentuk sedini mungkin akan membentuk siapa kita di masa depan dan menjaga kita dari kosekuensi perbuatan di masa lalu.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. opininya cukup berkesan dan membuat renungan kita termasuk akhlak yang mana. Good job

    BalasHapus
  2. Opininya sangat berkesan dan menjadikan bahan renungan kita termasuk akhlak yang mana

    BalasHapus