“Jangan pedulikan ia! Dia hanya seorang gadis.
Mengerti apa tentang strategi perang!” Salah seorang panglima berseru menolak
mentah-mentah usulan prajuritnya. Ruang diskusi bawah tanah yang lembap dan
remang-remang itu terasa makin sesak. “Tapi Jeanne itu anak ajaib! Gadis yang
ajaib! Setidaknya kita bisa coba dengarkan apa yang ingin disampaikannya.” Prajurit
itu merayu Sang Panglima sekali lagi. “Mau bagaimana pun dia itu WANITA! Kau sudi
menurutinya? Di mana harga dirimu sebagai laki-laki?!” Tebas panglima itu
persis seperti sabetan pedang.
***
Raisa, putri kecil Atlas, bergidik ngeri
mendengar kisah yang hendak dibawakan ayahnya. Biar pun bersembunyi di balik
bantal sofa, perempuan berusia empat tahun itu terus memaksa ayahnya
melanjutkan cerita. Kata ayahnya, setelah mendengar kisah ini, ia akan tahu
alasan mengapa keluarganya sengaja menyewa sebuah kamar hotel bintang lima super
mahal—padahal rumah mereka hanya berjarak 6 kilometer dari sana.
***
“Jan, Jan! Bangun! Kenapa sih mukanya pucat gitu?
Nyeremin tahu!” Lorea mengguncang-guncang heboh lengan sobatnya
yang tengah berbaring di rerumputan. “Jan-Jan. Dikata Mang Ojan!” Jeanne yang
terkejut dengan seruan dan wajah kawannya yang terlalu dekat, sontak membuatnya
mendaratkan tampolan keras tepat di muka Lorea. Bukannya marah, Lorea justru
memeluk erat kawan satu-satunya sejak kecil itu. “Syukurlah! Kukira kau akan mati!
Kalau itu terjadi, aku benar-benar akan hidup sendiri kesepian sampai jadi
nenek-nenek!” Dibalas tempelengan lagi oleh Jeanne.
Pagi tadi, dua anak remaja itu sedang bermain
di halaman rumput belakang rumah Jeanne. Lapangan rumput hijau luas yang
berundak-undak dan rindang dengan banyaknya pohon. Di sebuah komune atau desa
kecil Domremy, sebelah Timur Laut Prancis. Matahari seperti malu-malu
bersembunyi dalam selimut awan. Jeanne yang sudah malas berlari-lari kemudian
merebahkan badannya dengan rumput sebagai alas, dan langit biru sebagai atap.
Angin sejuk yang berhembus lembut membuatnya terlelap dalam hitungan detik.
“Habis, kau baru lima menit tertidur, sudah
berkeringat banyak dan bibirmu putih seperti sedang sekarat. Memangnya kau
bermimpi apa?” Lorea menyeka ujung matanya yang terasa basah. Jeanne
terperanjat dan langsung melompat duduk. “Mimpi? Ya. Aku ingat mimpiku! Tentang
sawah ayah yang dibakar, kemudian aku mati-matian memadamkan apinya. Juga
tentang membantu seorang pemuda nomor tujuh menyebrangi sungai menuju Istana
Versailles.” Jeanne mengarahkan matanya ke langit-langit, berusaha mengingat
setiap detail.
“Apa maksud mimpi itu?” Alis Lorea bertautan.
Badannya condong ke depan. Otak kopongnya sedang bekerja keras. “Tapi tentang
pemuda itu, sepertinya bisa aku pertimbangkan.” Lorea senyum-senyum dengan
wajah genit. Jeanne mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Tapi aku merasa mimpi
ini seperti sebuah petunjuk. Adakah orang yang bisa kutanyai tentang arti mimpi
ini?” Jeanne berpikir sama kerasnya, tapi berakhir menyerah. “Aha! Kita bisa
pergi ke Mbah Penafsir Mimpi!” Ternyata otak kopong Lorea punya kemampuan berpikir
spontan. “Baiklah. Antar aku ke sana.”
Tidak butuh waktu lama, mereka menemui Sang
Penafsir Mimpi dan mengutarakan niat mereka. “Ceritakanlah, anakku,” jawab Pria
tua itu. Jeanne menceritakan ulang perihal mimpinya pada pria tua yang terkenal
sebagai penafsir mimpi. Wajahnya terbalur keriput, namun menyenangkan bila
ditatap. Matanya teduh dan rahangnya penuh cambang serta janggut putih sampai
ke dada. Selama mendengarkan, ia dua kali terbelalak, beberapa kali
mengerjap-ngerjapkan mata, berkali-kali mengangguk serius dan mengelus
janggutnya yang lebat.
Melihat raut wajah keheranan dari dua remaja
perempuan ini—tanpa menunda lagi—orang tua itu menggamit gulungan kertas.
Melebarkannya dan hendak menulis. “Maaf, Mbah. Aku tidak bisa membaca.” Jeanne
membuat tangan pria tua itu tertahan. Jeanne dan Lorea adalah dua anak petani
yang buta huruf. Tidak ada yang pernah mengajarkan mereka baca-tulis. “Baiklah.
Saya akan sampaikan arti mimpi penting itu melalui lisan saja,” jawab orang itu
akhirnya.
Jeanne dan Lorea memancangkan matanya pada
Sang Penafsir Mimpi. Tidak berkedip, hampir lupa menghembuskan napas bersiap
mendengar kalimat apa yang akan mereka dengar. “Tentang sawah ayahmu yang
dibakar, itu adalah kondisi Prancis saat ini selama melalui perang 100 tahun, yang
separuhnya sudah diduduki kekuasaan Inggris dan sekutunya, Burgundi. Dan kau
diminta untuk menyiramnya. Memadamkan kebakaran itu. Aku tahu ini terdengar
mustahil, tapi wilayah kekuasaan Inggris akan terus meluas, sampai kau nanti datang
menjadi yang terdepan dan menyelamatkan Prancis.” Pria tua itu mengusap
wajahnya, masih mengusahakan wajah tenang, walau tersirat pucat di dalamnya. Lorea
menoleh pada sobatnya, menatapnya jeri. Yang ditatap masih memandang
lurus-lurus ke depan.
“Tentang pemuda di mimpimu, dia adalah anak
Ratu Isabeu—Charles 7. Bagaimana pun caranya, kau harus membantunya menjadi
seorang raja. Karena untuk saat ini, melalui sebuah perjanjian, Ratu Isabeu
justru menunjuk Henry–anak Raja Inggris, untuk jadi penerus tahta setelah Raja
Prancis menderita penyakit jiwa dan sering tidak mampu untuk memerintah
kerajaan. Itulah sebab perang ini berkepanjangan. Sebelum kerajaan Prancis
benar-benar jatuh pada kekuasaan orang Inggris, Charles 7 yang seorang
keturunan Prancis asli, harus diangkat menjadi raja.” Sang Penafsir Mimpi
mengakhiri penjelasannya. Lorea yang masih tergeragap menggenggam pergelangan
tangan kawannya. Jeanne yang merasa terpanggil mengepalkan tangan. Dahinya
mengernyit dan tatapannya tajam. Ia tidak punya waktu lagi untuk mempertanyakan
kenapa mimpi ini menghampirinya, kenapa harus dia—yang seorang remaja 16
tahun—beralih menyelamatkan negaranya dari jajahan Inggris.
Gadis itu mengangkat kepalanya yang sedari
tadi tertunduk. “Aku akan melakukan sesuatu!” Ia bangkit, terburu-buru
meninggalkan bilik kayu Sang Penafsir Mimpi. Berlari menuju rumahnya. Lorea
terperangah atas tingkah Jeanne dan langsung merunduk-runduk takzim berterima
kasih pada pria tua yang kini sudah kembali tersenyum menyenangkan. Ia berlari
menyusul Jeanne.
Betapa terkejutnya Jeanne ketika tiba di
rumahnya. Gadis berambut pirang itu dirangkul ibunya menuju serambi. Tampak pemandangan
yang tak pernah ia duga dan inginkan seumur hidupnya. Telah duduk di sana,
seorang pria berjubah biru tua, berambut sama kuningnya dengan Jeanne.
Mengangguk padanya dan tersenyum. Jeanne membalas dengan tatapan jijik.
“Apa-apaan ini?!” Ia menepis lingkar lengan ibu di bahunya. Menatap marah entah
pada siapa. Jeanne anak yang patuh, ia jarang sekali melawan orang tuanya. Tapi
kali ini ia mendadak tidak mampu menahan emosinya.
“Ini hari perjodohanmu, Jeanne. Berperilaku yang sopan!” Ibunya berkali-kali minta maaf
pada si pemuda dan keluarganya. “Sejak kapan aku mau dijodohkan?! Lebih baik
kalian semua pulang!” Jeanne berteriak-teriak seperti kesetanan. Tangannya
bergerak-gerak di udara. Gusar. Langkah kakinya bergerak cepat mengarahkannya
kembali keluar dari rumah. Ia tidak ingin dijodohkan! Sejak kapan ada
kesepakatan seperti itu?! Hari perjodohan? Bah! Perjodohan itu omong
kosong!
Jeanne terus berlari melintasi pagar kayu
pekarangan rumahnya. Tidak menghiraukan teriakan ayah dan ibu yang memintanya
kembali. Memang betul mimpi itu! Aku lebih baik mendatangi Benteng Vaucouleurs
dan menjadi prajurit daripada harus menerima perjodohan dengan sukarela! Jeanne
tidak bertemu Lorea lagi. Sepertinya anak itu kewalahan mengejar lari Jeanne
yang sebentar saja sudah hilang dari pandangan.
Hari itu Jeanne keluar dari Domremy, menuju
benteng terdekat dari kota kecilnya. Benteng Vaucouleurs. Ia harus memulai
misinya dari sana. Apa pun cara yang perlu dijalaninya. Dengan gemuruh di
dadanya akibat amarah yang membumbung, Jeanne menyusuri Rue Principale, jalan
utama setelah kelokan rumahnya. Ia semakin jauh memunggungi kediamannya.
Delapan kilometer berjalan, Jeanne setelahnya menumpang
kereta kuda yang menampung gandum. Empat jam perjalanan, Jeanne sampai ke
tujuannya. Benteng batu Vaucouleurs terpampang gagah dengan tembok setengah
lingkaran yang menjulang. Sebuah benteng yang setia mendukung Charles. Bertambah
membara semangat gadis itu, segera ia menyampaikan maksud kedatangannya pada prajurit
yang berjaga.
“Yang terhormat, izinkan saya menemui Putra
Mahkota Tuan Charles 7, dan bergabung bersama pasukan dalam aksi militer.”
Malangnya Jeanne muda, mungkin ia tampak
seperti orang gila di mata para prajurit saat itu. “Perempuan ini bilang apa?
Apakah belakangan beredar berita tentang wanita aneh yang berkeliaran di
sekitar benteng?!” Seru salah seorang
prajurit. “Saya serius tuan. Saya tidak bohong apalagi gila! Mohon izinkan saya.
Ada hal krusial yang perlu saya lakukan!” Jeanne memohon dengan sangat,
berharap setidaknya ia bisa memberitahu mimpi yang ia percayai sebagai petunjuk
itu pada Tuan Charles.
“Kau gila ya? Bergabung dalam militer? Jangan
mimpi! Kau itu perempuan!” Prajurit yang lainnya menghalangi Jeanne yang memaksa
merangsek masuk. “Kumohon, izinkan aku.” Gadis itu merosot menjatuhkan dirinya,
bertumpu di atas lutut. Memohon dengan teramat sangat. “Kumohon,” desisnya. Tanpa
raut wajah melunak atau pun rasa iba, prajurit di hadapannya mengatakan tegas,
“Tidak bisa. Silakan pulang. Sebelum kami menggunakan cara yang kasar.” Nadanya
datar, berat, dan mematahkan semangat.
Jeanne yang seorang diri tanpa rasa takut
mendatangi benteng itu beberapa menit lalu, terpaksa berbalik haluan.
Permintaannya ditolak mentah-mentah. Tekadnya menjadi bagian militer tidak
disambut angin segar. Dengan setengah putus asa, ia terpaksa pulang ke kampung
halamannya.
***
“Jan!!!”
Lorea melompat hampir mencekik leher Jeanne,
ketika ia mendapati sobatnya menyembul di pekarangan. “Oi, oi. Santai kawan.” Jeanne
kewalahan menangani sahabatnya. “Sudah berminggu-minggu kau tidak keluar rumah!
Kau kira aku bisa hidup tenang hanya berbicara dengan domba-domba sepanjang
hari seperti orang hilang akal?” Lorea berkacak pinggang berusaha menunjukkan
bahwa ia sedang benar-benar kesal. “Jangankan domba. Semak-semak dan semut saja
kau ajak bicara,” tanggap Jeanne polos. “Oh tidak. Berarti aku sudah lebih
hilang dari hilang akal.” Lorea membelalak dramatis. Memasang ekspresi mencekam.
Panik sendiri.
Tentang Jeanne, anak itu sudah hampir sebulan
ditahan ibunya di dalam rumah. Bahkan ia tidak diizinkan membantu bertani.
Ibunya kecewa dengan tingkah anaknya di hari perjodohan. Menurutnya, gadis itu
perlu diberi hukuman.
“Jan, kau tahu…” Lorea mendekatkan bibirnya
pada telinga Jeanne. Berbisik. “Setiap hari para tetangga dan orang-orang yang
melintas berbicara tentangmu. Mereka bilang akan muncul perempuan berbaju zirah
dari daerah sini. Aku curiga itu berasal dari Mbah Penafsir Mimpi.” Kabar itu
menyambar cepat seperti sumbu api. Tersebar kemana-mana dan menjadi rumor yang
dipercayai warga.
Mendengar itu, Jeanne sedikit tersentak. Ia
tidak tahu itu. Ia meneliti ulang tiap senti wajah kawan lamanya itu. Lorea
tidak sedang membual. Jeanne mengatupkan rahang, lalu menyeringai. Sebuah kabar
yang membuatnya bersemangat kembali!
Ia kemudian merengkuh bahu Lorea. “Terima
kasih banyak kawan! Aku pergi dulu!” Didorongnya bahu sahabatnya itu menepi. Ia
menerabas melewatinya dan melompati pagar. Berlari cepat sekali seolah
mengendarai angin. Lorea belum sempat bereaksi. Ia mematung mendapati tingkah
spontan Jeanne. Tiba-tiba ia merasa menyesal membagi tahu rumor itu pada kawannya.
Lagi-lagi ia ditinggal sendirian.
Jeanne yang berlari-lari sepanjang jalanan menari
dan berseru-seru. Rambut panjangnya dibiarkan terhempas angin. Berkibar-kibar
di belakang punggungnya. “Lihat saja! Aku akan menyelesaikan misiku!” Mendengar
kabar yang dipercayai sebagai ramalan itu, Jeanne semakin berambisi untuk
mewujudkan misi yang disampaikan dalam mimpinya.
Sesampainya di Benteng Vaucouleurs yang tempo
hari menolak kehadirannya, Jeanne
menerjang ke mulut benteng. Menyampaikan permintaan serupa seperti sebelumnya:
Bergabung dalam militer dan menemui Tuan Charles 7. Prajurit yang berjaga masih
saja menolak, hingga seorang komandan berseru, “Dia itu gadis yang dirumorkan! ‘Perempuan
berbaju zirah dari Lorraine’ Beri dia akses istimewa! Ini perintah Yang Mulia!”
Dengan segera, prajurit yang tadi menghalanginya, menurunkan senjata. Memberi
hormat pada anak itu. Jeanne tercengang mendapati perlakuan seperti itu. Ia
semakin yakin tidak salah langkah. Desa tempatnya tinggal, Domremy, adalah
perbatasan antara Lorraine dan Champagne.
Keadaan perang memburuk. Wilayah Prancis berkali-kali
direbut Inggris dan Burgundi. Pengepungan dan penangkapan beruntun tak
terelakkan. Kondisi hinggat saat ini bertambah kacau untuk Prancis. Pertahanan
terus didobrak masuk. Kekuatan dan kekuasaan Inggris sudah tak terbilang lagi. Istana
pusat akhirnya mengambil keputusan nekat menerima Jeanne. Kalau saja berita itu
benar. Kalau saja seorang gadis benar bisa menyelamatkan nyawa Prancis.
Bala pasukan disiapkan untuk mengantar Jeanne
pada Putra Mahkota Charles di Chinon.
Butuh sebelas hari perjalanan dengan kereta kuda untuk sampai ke sana. “Tolong
ambilkan aku gunting dan pakaian,” pinta Jeanne sebelum memasuki kubus kecil
yang diarak oleh dua kuda. Prajurit yang diperintah mengernyit. “Tapi kami tidak
memiliki gaun perempuan,” keluhnya. “Bawa kemari yang ada!” Jeanne tidak
mendengarkan.
Prajurit tadi menyorongkan barang-barang yang
diminta gadis itu. Jeanne kemudian tanpa ragu menebas rambut kuning panjangnya.
Gumpalan helai rambut jatuh terburai di atas tanah. Rambutnya bersisa menggantung
pendek tak beraturan di bawah telinga. Ia kemudian mengganti bajunya dengan
pakaian laki-laki yang dibawa prajurit. “Sekarang, aku sudah siap. Mari
berangkat.” Jeanne memasuki kubusnya. Para prajurit bersitatap. Walau tampilan
gadis itu jadi persis laki-laki, ia justru terlihat semakin menawan. Rombongan
itu tidak berkomentar, beranjak memacu kuda-kuda mereka. Lagipula keputusan
Jeanne benar. Itu adalah cara terbaik untuk melindungi dirinya—yang seorang
gadis—selama melalui sebelas hari perjalanan darat. Memungkinkannya terhindar
dari pelecehan atau hal tak terduga lainnya.
Di istana Chinon, Putra Mahkota Charles bersiap
menyambut kedatangan pasukan. Tapi sebelum itu, terbesit dalam benaknya untuk menyamar
menjadi pelayan dan berbaur dengan mereka. Sudah lama ia penasaran dengan gadis
dalam rumor, ia pun menguji anak itu apakah mampu menemukannya di antara para
pelayan. Ketika pasukan dari Benteng Vaucouleurs mendekat, Charles tidak
membiarkan dirinya mencolok di antara kerumunan. Ia berlaku seperti para
pelayan.
“Tuan Charles yang mulia. Bukankah tidak
pantas seorang bangsawan berpakaian seperti itu.” Jeanne bertumpu dengan
sebelah lutut, kaki kirinya terangkat, ditekuk maju ke depan. Posisi hormat,
mengarahkan kelima jarinya pada wajah Charles. Charles dengan kostum pelayannya
tersentak. Bagaimana ia bisa tahu aku, tanpa pernah melihatku? Sejak
saat itu, Charles 7 mengamini kebenaran “Perempuan berbaju zirah dari Lorraine”.
“Yang Mulia, berikan aku baju zirah dan
pasukan, maka aku berjanji akan menduduki Orléans dan menjadikanmu raja.” Jeanne
menunduk, mengutarakan permintaannya. Orléans adalah kota bagian Tengah-Utara
Prancis yang dikuasai Inggris. Jeanne bertekad untuk merebut wilayah itu
kembali dari tangan Inggris. Gagasan itu ditentang oleh penasihat kerajaan dan para
jendral, namun Charles mengabulkannya. “Bawakan baju zirah putih, kuda putih,
senjata dan pasukan untuk gadis ini! Kirim dia ke Orléans. Jadikan ia komandan
perang!” Tubuh Jeanne bergetar. Adrenalinnya berpacu. Benar! Ia tidak mungkin salah
langkah!
***
Suasana Orléans kacau balau. Hingga saat ini,
belum ada satu pun dari kedua pewaris tahta yang telah menerima mahkota. Tidak
Charles, tidak pula Henry sang keturunan Inggris. Oleh sebab itu, Inggris pun melakukan
pengepungan terhadap Orléans, sebuah kota yang terletak di lokasi strategis
dekat Sungai Loire. Orléans menjadi penghalang utama terakhir sebelum melakukan serangan untuk
jantung Prancis lainnya. Itulah mengapa Jeanne perlu menyelamatkan Orléans
sekarang.
Maret 1429, Jeanne dengan usia 17 tahun, mengenakan
baju zirah putih dan menunggangi kuda putih, memimpin pasukannya. Setelah
mengirim surat tantangan kepada musuh, Jeanne mulai memimpin serangan. Ia tidak
boleh menyia-nyiakan kepercayaan putra mahkota!
“Para prajurit, ikuti aku!” Teriak Jeanne,
berdiri di garis terdepan. Ia mengangkat patakanya. Sebuah panji bendera
identitas angkatan bersenjata.
“SERANG!!”
Jeanne maju dengan kudanya, disusul ribuan
prajurit berkuda. “SERANG!!!” Semua orang ribut berteriak-teriak, menyahuti perintah
tempur sang komandan. Semangat mereka terbakar. Optimis tinggi mengepung balik
prajurit Inggris dan Burgundi. Suara ribut tapal kuda juga lengkingannya, dan
dentingan pedang beradu mengungkung arena perang.
Pasukan Jeanne terus maju menghantam musuh.
Satu-persatu korban berjatuhan. Meski energinya terkuras karena kelelahan,
Jeanne menyeringai. Matanya menyala-nyala. Sedikit lagi! “Terus maju
prajurit! Jangan pernah lengah! Maju!!!” Jeanne mengacungkan patakanya.
“WOOOOOO!!!”
Pasukannya berkoar-koar ribut. Menghunus
senjatanya. Tombak-tombak diangkat, pertarungan jarak dekat dilangsungkan. Inggris
kewalahan menghadapi strategi perang Prancis yang berubah drastis. Selama ini
pasukan Inggris berhasil membaca taktik Prancis. Mereka dikenal dengan gaya
berperang yang penuh strategi dan hati-hati. Namun kali ini, dengan hadirnya
Jeanne sebagai panglima perang, ia memerintah pasukannya untuk mengubah
strategi. Penyerangan harus dilangsungkan frontal. Membabibuta pasukan musuh
dengan kekuatan yang berkali-kali lipat jumlahnya secara langsung. Nyatanya,
strategi itu berhasil membuat pasukan Inggris lintang pukang. Bercerai-berai dan
perlahan mundur.
Dalam perang pertama Jeanne, walau tanpa mengetahui
ilmu perang, tidak bisa baca-tulis, gadis muda itu berhasil memukul pasukan
musuh mundur ke arah Sungai Loire.
Seluruh prajurit memekikkan teriakan
kemenangan. Keberhasilan mereka renggut setelah berkali-kali gagal melawan
Inggris. Jeanne mengangkat patakanya. Disambut tinju-tinju yang mengepal di
udara. Bersorak lagi. “YOSHHH!”
Setelah kemenangan tersebut, reputasi Jeanne
tersebar ke seluruh pasukan Prancis. Dia pun berhasil menyelesaikan misi-misi
berikutnya. Orang-orang semakin besar menaruh kepercayaan pada gadis itu. Sesuai
janjinya, Ia kembali pada putra mahkota, Charles di Chinon. Ia akan membantu
Charles menjadi raja. “Wah. Selamat, Jeanne. Kau telah membuktikan kebolehanmu
dan menyelamatkan negri ini. Walau seorang gadis, tapi nyalimu tinggi betul,
ya.” Charles menyambut kembalinya Jeanne dan pasukannya di istana. Jeanne
bersama para pendukungnya kemudian mengantarkan Charles menyebrangi wilayah
kekuasaan musuh, menuju Reims. Kota penting tempat digelarnya penobatan tahta.
Hingga akhirnya, Charles 7 berhasil dinobatkan menjadi Raja. Seluruh penduduk
Prancis bersuka cita. Jeanne berhasil menghalau jatuhnya kekuasaan ke tangan
Inggris. Semua orang memuja-muja namanya.
Namun tidak lama setelah masa kejayaannya,
kemalangan menimpa gadis remaja itu. Bagai kacang lupa kulit, Charles yang kini
sudah menjadi raja memanggil Jeanne. “Kau dilarang maju dalam perang
selanjutnya. Tidak ada sanggahan.” Raja Charles menyuruhnya pulang, bahkan
sebelum anak itu mengucap pertanyaan dan kalimat pembela. Jeanne diberhentikan
secara tidak adil.
“Perempuan
itu sudah terlalu kuat. Akan berbahaya bagi kerajaan bila ia terus maju. Gaya
berperangnya juga tidak sesuai dengan pembawaan Prancis yang strategic dan
penuh kehati-hatian. Anak itu terlalu frontal dan bar-bar. Mempermalukan pasukan
Prancis!” Kata sang penasihat kerajaan di hari sebelumnya. Pernyataan itu
membuat Charles terguncang dan perlu memberhentikan Jeanne sesegera mungkin. Ia
juga tidak sudi nama Jeanne yang justru melambung tinggi dibandingkan namanya.
***
Setahun penuh Jeanne dilarang mengikuti
penyerangan. Ia mengurung diri di ruangannya. Mengutuki diri karena merasakan
ketidakadilan.
Sementara di ruang kerajaan, seorang adipati
tergopoh-gopoh menemui Raja Charles. “Yang mulia. Untuk kali ini saja tolong
izinkan Jeanne menjadi panglima perang. Minta dia menjadi pimpinan pasukan dan
menjalankan strateginya. Compiegne sedang dalam bahaya! Berbagai cara sudah
dikerahkan, tetapi pasukan Burgundi di sana terlalu kuat. Hanya Jeanne yang
bisa menaklukan mereka!” Dengan suara bergetar, pria itu membungkuk memohon
untuk kesempatan terakhir. Charles terdiam beberapa saat. Lalu berkata,
“Baiklah. Panggil Jeanne menemui pasukannya. Hanya untuk menyelamatkan Compiegne,
aku mengizinkannya!”
Sang adipati mencurahkan terima kasih yang
mendalam dan berlalu cepat menjalankan tugasnya.
Jeanne yang mendengar perintah itu merasa
terpanggil kembali. Wajahnya bersinar seolah dihadapkan dengan batangan emas. Ia
akan menuju medan perang lagi!
Tanpa kehendaknya, di tengah kobaran semangat
yang membakar, hati Jeanne seperti membisikinya. Kalau kau tetap berangkat,
kau akan ditawan. Namun gadis itu mengacuhkan suara hatinya. Ia tidak
peduli dengan dirinya sendiri. Apa pun yang akan terjadi nanti, ia akan
mati-matian membela negaranya. Jeanne tetap pergi bersama pasukannya ke
Compiegne.
Benar saja, setibanya mereka di sana,
huru-hara meletus menghancurkan kota yang semula sangat indah. Kebakaran di
mana-mana dan prajurit Prancis bergelimpangan di jalan-jalan, bersimbah darah
terbaring tanpa nyawa. Tanpa pikir panjang, Jeanne menyerbu maju bersama
pasukannya. “WOOOO!!” Tombak beradu, pedang bersilang. Satu-dua musuh jatuh
dari kudanya.
Dengan kehadiran Jeanne, keadaan berbalik
melumpuhkan musuh. Pasukan Jeanne berhasil memukul mundur Burgundi. Sayangnya
kegembiraan Prancis tidak bertahan lama. Tanpa mereka duga, di luar dari
prediksi Jeanne, datanglah ribuan bala bantuan Inggris. Jeanne dan para
prajurit kewalahan. Mereka kalah jumlah dan stamina. Energi mereka terkuras
saat tadi memukul mundur Burgundi yang terbilang kuat. Mau tidak mau, Jeanne
mengambil keputusan cepat.
“Semua mundur! Segera kalian sebrangi Sungai
Oise! Kita harus kembali!” Jeanne menarik kuda putihnya. Seluruh prajurit
dibiarkannya menyebrang lebih dulu. Ia harus memastikan semua prajuritnya selamat.
Pontang-panting mereka menuruti perintah Jeanne. Hingga tersisa beberapa
prajurit lagi, Jeanne bersiap ikut menyebrang.
Sekarang saatnya. Batinnya, melangkah maju bersama kudanya menyebrangi sungai. Naasnya, prajurit
Inggris lebih dulu mengepung tepi sungai. Jeanne dan beberapa prajurit yang
tersisa ditangkap dan ditawan. Persis seperti bisikan batinnya sebelum
berangkat ke medan perang. Jeanne tertunduk pasrah. Ia gagal menyelamatkan sisa
prajuritnya yang ikut ditahan bersamanya.
“Apa
benar kau mendapat mimpi yang kau percayai sebagai petunjuk untuk menyelamatkan
Prancis? Siapa yang menafsirkan mimpi sesat itu?!” Tanya hakim suatu hari di
pengadilan. Jeanne tidak menjawab. Ia tidak mungkin membawa Mbah Penafsir Mimpi
dari Domremy ke dalam masalahnya. Reaksi Jeanne itu mengundang klaim bahwa
selama ini dia mendustai semua orang.
Jeanne seharusnya ditahan di penjara khusus wanita—yang
penjaga dan seluruh petugasnya adalah perempuan. Tapi nyatanya, ia dimasukkan
ke penjara laki-laki. Hanya dia satu-satunya perempuan yang ada di sana. Dalam pengadilan,
Jeanne disuruh menandatangani perjanjian untuk tidak lagi memotong pendek
rambutnya, juga tidak berpakaian laiknya seorang laki-laki lagi. Gadis itu
menurut, namun dalam hatinya ia menyumpahi, disuruh kembali bergaya seperti pasalnya
seorang perempuan, tapi kenapa tetap dipenjara di tempat laki-laki?
Jeanne merasa terus dizolimi. Tetapi ia juga
tidak kuasa untuk melakukan apa pun. Semestinya, Raja Charles punya kuasa menebus
Jeanne dari tawanan, dengan membayar sepuluh Franc, namun ia tidak
melakukannya. Charles kepalang malu dengan cibiran orang-orang yang
mengatakan dirinya jadi raja sebab bantuan katrol seorang gadis muda pembual.
Charles pun mengurungkan niatnya.
Setelah melalui hari-hari di penjara, Jeanne
merasa risih berada di sana. Ia tidak dijatuhi hukuman apa-apa, tapi ia
mendapat perlakuan kurang baik di dalam sel. Ia pun memberontak dan melanggar
janjinya. Ia kembali memakai pakaian laki-laki. Karena perbuatannya melanggar
perjanjian, pengadilan jadi punya hak menjatuhkan hukuman pada Jeanne.
Pihak berwenang lalu menetapkan hukuman mati
yang dijatuhkan atas Jeanne yang saat itu berusia 19 tahun. Atas berbagai macam
tuduhan, salahsatunya karena memakai cross dress, atau pakaian yang
tidak sesuai dengan gender-nya dianggap pelanggaran dan dosa di Prancis saat
itu.
Jeanne malang pun dibawa ke pasar di Rouen, ia
pasrah tubuhnya diikat di tiang pancang. Sambil berdiri, bersandar pada tiang
kayu, ia teringat wajah ibunya. Ia teringat sahabatnya, Lorea di kampung
halamannya yang selalu bahagia dengan kehadirannya. Ia teringat betapa dulu
Charles begitu baik memperlakukannya sebelum dinobatkan menjadi raja. Ia pun
rindu rumahnya, halaman rumput luas di belakang rumahnya. Dan pekarangan yang
kadang dipenuhi domba-domba.
Sempat terbetik penyesalan dalam hatinya,
tidak menuruti kehendak ibunya dulu. Namun ia sama sekali tidak menyesal telah mencurahkan
seluruh hidup untuk negaranya. Ia tidak menyalahkan dirinya dan siapa pun. Ia
meyakini, memang beginilah jalan hidupnya. Dan semua ini tidak mungkin terjadi
hanya karena kebetulan.
Jeanne memejamkan matanya. Masyarakat yang
menyaksikan hukuman mati itu berseru-seru melayangkan makian pada Jeanne. Mengatakannya
pembohong. Jeanne tidak peduli, membiarkan api menjalar cepat membakar
kayu-kayu, disusul membakar tubuhnya. Menurut Jeanne yang sangat patuh, panas
api itu tidak sebanding dengan perlakuannya terhadap ibunya tempo waktu. “Maafkan
aku, ibu.” Bisiknya sambil tersenyum. Mungkin ini bayaran yang sepadan karena
telah membantah orangtuanya. Jeanne hangus ditelan kobaran api. Abunya kemudian
dibuang ke Sungai Siene.
Lenyaplah tahun-tahun kegemilangan Jeanne dan
pasukannya. Tidak ada yang membicarakan itu lagi. Semua beralih pada spekulasi
buruk terhadap gadis itu. Orang-orang terus menggunjingnya sebagai pembual.
Mereka semua lupa tentang peristiwa Orléans, diangkatnya Charles menjadi raja,
dan misi-misi penting lain yang berhasil dituntaskan perempuan muda itu.
***
24 tahun kemudian, Charles 7 yang awalnya
bungkam, meminta diadakan pengadilan ulang terhadap Jeanne. Perempuan itu
akhirnya terbukti tidak bersalah, setelah sebelumnya didakwa dengan 12 dakwaan.
Namanya dibersihkan dari semua tuntutan. Seluruh rakyat Prancis pun tercerahkan
kembali. Mereka mengaku menyesal telah menjelek-jelekkan seorang pahlawan
wanita yang merelakan nyawa demi menyelamatkan negara mereka. Maka dibangunlah
patung wanita muda itu untuk mengenang jasanya, dan rumahnya di Domremy-la-Pucelle,
kini menjadi museum bersejarah.
***
“Patung itu adalah patung wanita berkuda yang
kita lihat di depan jendela kaca hotel ini. Patung Jeanne d’Arc.” (Baca: Jyan
dark) “Yang melambangkan keberanian dan persatuan!” Kata Atlas pada putri
kecilnya. Ia mengakhiri kisahnya, menunjuk ke arah jendela yang berembun akibat
udara musim dingin. Ia lalu terkekeh mendapati putrinya tidak merespon.
Perempuan kecil itu sudah terlelap entah sejak kapan di tengah cerita ayahnya.
Atlas geleng-geleng kepala, mengusap rambut
putrinya yang tersungkur di sofa. “Kamu persis sekali seperti ibumu. Pemberani
dan bersemangat, tapi pelor.” Lelaki itu menyelimuti anaknya. Padahal,
ia sengaja menyewa kamar di Hotel Regina yang super duper mahal, terletak
persis di depan Statue Equestre de Jeanne d’Arc di Paris, demi
memperdengarkan kisah heroik Jeanne d’arc pada putrinya. Namun sepertinya usahanya
gagal.
Atlas menyandarkan tubuhnya ke sofa lalu
menghela napas. Ia terbayang wajah istrinya, Alice, yang belum terbangun sejak
pagi di ruang tidurnya. Seorang pria Indonesia, menikahi wanita Prancis.
“Terdengar mustahil—namun, nenek moyangmu hebat sekali, sayang,” Atlas
bergumam, lalu tersenyum, memejamkan mata, membiarkan sofa beludru empuk memanjakan
punggungnya.
***
*Statue Equestre de Jeanne d’Arc: Patung Berkuda Jeanne d’Arc
1 Komentar
Jadi keinget opening olimpiade prancis
BalasHapus