Prof. Dr. KH.
Muhammad Sirajuddin Syamsuddin M.A., PH. D atau akrab dikenal dengan Din
Syamsuddin adalah salah satu tokoh Indonesia yang banyak dikenal di mata nasional
bahkan kancah internasional. Beliau merupakan salah satu tokoh Muhammadiyah
yang pernah menjabat sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
2005 -2010 dan 2010 – 2015. Mantan ketua Majelis Ulama Indonesia tahun 2014
itu, kembali mengunjungi Mesir bersama istrinya, Rashda Diana dengan dua
tujuan, bertemu dengan Grand Syekh al-Azhar: Syekh Ahmad Thayyib, dan juga
membawa santri Pondok Dea Malela yang sedang melaksanakan Education Trip
di Madinatul Bu’uts. Sabtu malam (12/10) di Graha Helwa Center Mesir, Hay ‘Asyir,
Setelah selesainya acara silaturahim warga ikpm bersama Prof Din Syamsudin. Kru
pendar mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai beliau langsung untuk menggali
pandangan beliau sebagai tokoh nasional terhadap Mahasiswa Indonesia di Mesir.
Disamping
kesibukan karir beliau di dunia nasional beliau adalah salah satu alumni Pondok
Modern Darussalam Gontor yang sekarang menjadi anggota Badan Wakaf. Beliau
menceritakan hubungan Gontor dan Al Azhar yang sudah lama sekali dibangun,
bahkan salah seorang dari Trimurti, yakni KH. Imam Zarkasyi pernah diundang
berpidato langsung di Majma’ al-Buhuts Al-Islamiyyah pada tahun 1972. Tak lupa juga peran nyata pimpinan Gontor
dalam membangun sistem pendidikan yang luar biasa, serta Gontor juga merupakan
reformasis pendidikan Islam di zaman Orde Baru, beberapa hal inilah yang
membuat ikatan Gontor dan Al-Azhar yang sangat begitu kuat sehingga dapat
bersama sampai saat ini.
Sebagai tokoh
cendekiawan muslim Indonesia yang sering melakukan kunjungan ke Mesir beliau
mengamati bahwa tokoh dari alumni Al-Azhar di masa sekarang belum diakui bisa
mengimbangi tokoh di masa lampau, bahkan sampai menjadi penghubung di setiap
Negara Arab untuk mendukung Kemerdekaan Indonesia. “Panggung umat islam Indonesia
sudah diisi dengan persaingan, banyak dari alumni Madinah dan negara lain, pada
peran kemasyarakatan dan keumatan itu alumni Azhar tidak menjadi leading
sector karena memang sudah banyak pendatang baru dan sudah banyak pusat-pusat
keunggulan pendidikan di dunia Islam dan juga di dunia pada umumnya. Ini
tantangan buat Al-Azhar!” ucap beliau dengan nada kritis karena adanya sebuah
harapan besar di hati beliau. Prof Din meminta maaf apabila ada yang salah dari
pengamatan beliau karena memang bukan disini tempat beliau menempuh
pendidikannya.
Beliau
menambahkan pesan khusus dalam pandangan lain untuk seluruh Mahasiswa Indonesia
yang sedang menempuh pendidikannya di Mesir. “Mahasiswa indonesia di Mesir
harus tekun dalam belajar menyelasaikan jenjang studi yang dilakukan secara
tepat waktu, dan kedua harus ada kedalaman dalam sebuah pemaknaan. Memaknai
materi pelajaran itu karena ada yang tak terjelaskan oleh dosen kita harus cari
sendiri sehingga ilmu itu bukan berarti fi-s-shudur sebuah penghafalan,
tetapi fi-s-shudur pemaknaan dan penghayatan. Kajian keislaman menuntut
ada pemaknaan dalam arti secara jalan dan dihubungkan dengan ilmu-ilmu lain
yang berhubungan dengan realitas masyarakat kalau kita ingin menjadi mundzirul
qoum, munqidzul qoum (yang) membangkitkan dan mengarahkannya. Itu
baru akan efektif dalam peran-peran keumatan untuk menjadi problem solver,
penyelesaian masalah umat.” Beliau mengucapkan hal-hal ini atas kekhawatirannya
dari banyaknya jumlah Mahasiswa Indonesia yang belajar di Mesir, secara
kuantitas (tapi) tidak beriringan kuat secara kualitas, dan mengingat betapa
pentingnya peran-peran yang harus diisi oleh kita dalam kepentingan umat dan
masyarakat di tanah air nanti.
Red: Dzikri, Haekal
Editor: Ilmi Hatta
0 Komentar