Cerita Si Bungsu
Oleh: Daaul.
Malam
itu udara malam terasa lebih menusuk dari biasanya. Rumah terasa damai namun
canggung bagiku tanpa sebab, entah mengapa gerangan. Malam itu seharusnya
menjadi malam yang menyenangkan karena hari itu jadwal kakak-kakakku berkumpul
di rumah. Tidak lengkap memang, namun cukup menghidupkan suasana yang hangat
dalam rumah yang selalu sepi. Hanya ada Aku, Bapak, Ibu, dan kakak keduaku.
Kakak pertama merantau di ibu kota dengan istrinya, Kakak ketiga kuliah di
Surakarta, dan Kakak keempat merantau jauh, mondok di Jawa Timur. Semua
benar-benar memiliki kesibukannya masing-masing, menyisakan Aku dan Kakak
kedua. Kami berdua menemani Ibu-Bapak di rumah.
Dalam
rangka membuang jauh pikiran buruk, Kakak ketiga mengajakku menonton film
bersama di kamar. Mengusir sejenak pikiran kelam yang sempat mampir memenuhi
imajinasi kami berdua. Hari semakin larut dan kami mengantuk, tapi tiba-tiba
sebuah panggilan telepon memaksa kami untuk kembali terjaga menyudahi rasa
kantuk. Ternyata itu telepon dari Kakak kedua yang malam itu sedang berada
di rumah sakit
menemani Ibu merawat
Bapak yang sedang
drop dan terpaksa menginap di rumah sakit. Segera
Kakak ketiga mengangkat panggilan itu, Aku memperhatikan interaksi keduanya,
samar obrolan keduanya terdengar olehku karena ia menjauh dariku ketika
menerima panggilan itu.
Satu
menit kemudian, ekspresi wajahnya berubah. Wajahnya memerah dan kulihat matanya
mulai berair, sebulir air mata jatuh namun ia masih berusaha tegar dan sabar
berbicara hingga panggilan berakhir. Aku tidak berani bertanya karena Aku
memahami sedikit obrolan keduanya ditelepon tadi, namun Aku berusaha mengusir
pikiran buruk dari pikiranku itu. Mungkin
saja Aku salah dengar, coba kita dengarkan langsung dari kakak benakku.
“Kak, bagaimana kabarnya?” tanyaku.
Tak
ada jawaban, hanya sebuah pelukan diiringi isak tangis kesedihan yang ada.
Samar kudengar jawaban darinya diantara tangisannya yang tak kunjung reda.
Tubuhku membeku, pandanganku mengabur digenangi oleh air mata. Tangisanku pecah
sudah, kami menangis bersama. Malam itu kami kehilangan sosok seorang Bapak
satu-satunya dalam hidup kami.
Kakak ketigaku itu segera mengabarkan kabar duka kepada keluarga Bapak dan Ibu yang lain, juga kepada tetangga kanan-kiri, meminta pertolongan untuk menyiapkan keperluan berduka yang tak begitu kami pahami. Tetangga kemudian berdatangan, menyiapkan kursi-kursi hijau, terop besi tanpa riasan, dibiarkan polosan sama dengan suasana duka ahlul bait yang ditinggalkan. Sebuah ambulan tak lama kemudian datang dari rumah sakit tempat terakhir Bapak menghembuskan nafasnya, mengantarkan tubuh dingin Bapak ke rumah. Malam itu rumah yang biasanya sepi mendadak ramai.
Penampilan Ibu dan kakak keduaku tak kalah memprihatinkan ketika turun dari ambulan. Mata keduanya nampak lelah dan sembab, sorot matanya redup meski sekarang sudah jauh lebih tenang tak lagi menangis. Ibu bergantian memeluk dan mencium puncak kepala anak-anaknya, mendekap kami erat dan lama. Jangan menangis Anjani, Kamu harus terlihat tegar, jangan membuat perasaan Ibu tambah ruwet dengan rengekanmu teguhku dalam hati. Aku membalas pelukan Ibu tak kalah erat, menikmati usapan hangat di punggung tubuhku.
Pagi harinya rumah lebih ramai lagi. Kerabat jauh Bapak dan Ibu, kolega kantor, teman Bapak dan Ibu datang bersamaan dengan karangan bunga yang juga ikut diantarkan, pun juga kakak pertamaku segera pulang setelah kabar itu sampai padanya malam sebelumnya dan baru pagi ini sampai ditemani teman kantor dan istrinya. Belum sempat menyapa yang lain, kakakku itu langsung masuk ke dalam rumah, memeluk tubuh Bapak yang sudah rapi berbalut kafan, menyisakan wajah yang sengaja belum ditutup, menunggu ia pulang. Sosoknya yang kukira selalu tegas dan penuh pertimbangan itu runtuh di hadapan tubuh dingin Bapak. Tubuhnya bergetar, menangis sesegukan namun berusaha ditahan. Ternyata kakak pertamaku itu juga bisa sedih hingga menangis terisak kehilangan sosok Bapak.
Semua saudaraku sudah berkumpul, hanya menyisakan kakak keempatku di pondok dan tidak bisa segera pulang. Sedari semalam kakak keduaku sudah mencoba menghubungi pengasuhan pondok tapi tak ada jawaban. Pagi ini akhirnya panggilan telepon itu diangkat, panggilan telepon diubah kedalam panggilan video dan menampilkan wajah kakak keempatku. Wajahnya sedikit bingung bercampur tegang dengan kabar yang menantinya.
“Dek, adek yang sabar ya,” hanya itu kata yang mampu keluar dari mulut kakak keduaku. Satu dua air mata kini kembali jatuh dari matanya, tak tahan menahan mendung dihatinya.
Kulihat dalam telepon kakak keempatku itu langsung menunduk, suara tangisnya pecah sudah. Kedua tangannya menutupi kedua matanya berusaha menghapus air mata yang mendadak tumpah.
“Dek, Bapak sudah meninggal dunia semalam, Kamu nggak usah pulang ya Dek, dipondok aja” lanjutnya terbata-bata.
“Bapak sudah meninggal Mbak? Bapak sakit atau gimana Mbak? Bukannya Bapak sehat-sehat aja Mbak selama ini? Apakah ada yang Aku nggak tahu Mbak?” tanya kakak keempatku sambil menangis ditelepon. Dirinya dibuat terkejut dengan berita ini. “Boleh Aku lihat Bapak Mbak?” lanjutnya lagi.
“Dek,
sebenarnya sudah dari awal tahun ini Bapak menjalani cuci darah, tapi Bapak
bilang buat nggak ngomongin sakitnya ke Kamu karena Bapak
ga mau Kamu yang jauh kepikiran dan malah
nggak fokus sekolah. Bukannya Mbak nggak mau kasih tahu Kamu, tapi itu pesan
Bapak kepada kami semua. Maaf ya, Dek…”
Kedua kakakku berusaha tetap terlihat tegar dan saling menguatkan.
Kamera video diubah menjadi kamera belakang, menampilkan Bapak di layar yang
hanya berbaring diam dengan mata terpejam. Itu
pasti bakalan jadi kenangan terakhir untuk kakakku yang di pondok tentang
Bapak, batinku. Sudah lama Kakak di pondok tidak pulang ke rumah dan selama
ini hanya tahu kabar kami sekeluarga lewat telepon. Tanpa tahu apa-apa dan
tiba-tiba Bapak sudah tiada. Hatiku kembali
serasa dicubit lagi, sakit yang tak nyata. Panggilan berakhir beberapa
menit kemudian.
Pukul
sepuluh, tanggal ketujuh, bulan tujuh, tahun itu, jenazah Bapak dikebumikan.
Hari itu menjadi hari tergelap dalam hidupku. Tak pernah sekalipun Aku berpikir
akan kehilangan sosok Bapak secepat ini. Gundukan tanah merah pekuburan menjadi
rumah terakhir Bapak. Waktu terasa cepat, hari-hari yang pernah kujalani
bersama Bapak kini sudah menjadi kenangan. Hari itu, sebelum Aku dan keluarga meninggalkan
tempat pemakaman Aku berjanji satu hal dalam diriku.
Aku berjanji akan menjadi
anak baik yang tidak membebani keluarga, anak bungsu yang tidak manja. Aku harus sukses dan membuat Ibu bahagia, janjiku
pada diri sendiri.
“Bapak, Anjani pamit pulang dulu, kapan-kapan Anjani kesini lagi pak”
kataku sambil memegang papan nama Bapak.
Tiga
hari selepas pemakaman Bapak, kakak keempatku dijemput pulang ke rumah dari
pondok. Pukul delapan malam selepas isya mobil yang menjemput Kakak sampai
rumah. Keluarga besar kami sudah berkumpul menunggu kepulangannya di rumah.
Tidak ada air mata malam itu, semua orang berusaha nampak tegar demi Ibu dan
keluargaku. Kakak turun dari mobil,
berjalan menuju rumah dengan senyum di wajahnya. Orang pertama yang ditemuinya
adalah Ibu. Kakak memeluk Ibu erat dan dibalas oleh Ibu dengan pelukan yang tak
kalah eratnya.
Malam
itu menjadi penutup hari-hari suram kami, karena waktu yang berjalan begitu
angkuh memaksa kami untuk tetap menjalani hari-hari seperti biasa. Kakak
pertama dan istrinya pulang seminggu kemudian karena pekerjaannya tidak bisa dia tinggal
terlalu lama, pun Kakak keempat
yang mondok harus kembali belajar ke pondok. Kakak ketiga juga kembali
ke rutinitas kuliahnya di Surakarta. Di rumah hanya menyisakan Aku, Ibu, dan
kakak keduaku, kami bertiga juga butuh memulai aktivitas kami. Ibu yang harus
pergi ke pasar dan membuka warung di rumah, kakak keduaku juga harus kembali mengajar di sekolah, pun Aku yang
harus kembali menjalani rutinitas anak sekolah. Saat itu Aku duduk dibangku
kelas tiga SMP, waktu yang kupunya
di sisa hari menjadi siswi kelas tiga SMP tidak banyak.
Hari-hari dengan ujian try out sekolah sudah menanti di minggu-minggu kedepan.
Aku
kembali menjalani rutinitas keseharian, seperti tidak ada yang terjadi.
Hari-hari diisi dengan belajar, latihan soal, dan ujian-ujian persiapan
menghadapi ujian akhir. Beberapa dari temanku
bahkan sudah mempersiapkan diri untuk masuk
ke sekolah impian
mereka. Sering sekali
Aku ditanya kemana Aku
melanjutkan sekolah setelah lulus oleh teman-teman, namun semua selalu kujawab
dengan senyuman. Bukan tanpa alasan, tapi memang sedang kupikirkan
matang-matang. Banyak pertimbangan yang harus Aku timbang, posisiku tak sama dengan teman-teman yang lain, setidaknya itulah yang akhir-akhir
ini selalu kupikirkan.
Hari
ujian akhir yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Wajah-wajah tegang dengan
mulut merapal mantra-mantra. Jantungku berdegup kencang,
sel-sel adrenalin dalam darahku meningkat, tak sabar menghabisi soal-soal yang ada, Aku bersemangat. Untuk
satu minggu kedepan jadwalku pagi ujian; malam belajar; untuk esok paginya ujian mata pelajaran
yang lain. Hari-hari
dengan buku-buku ditangan,
coretan-coretan diatas kertas, serta hafalan berjam-jam. Tak terasa satu minggu itu berakhir
hari ini dan semua ujian kulalui dengan baik dan lancar. Aku pulang dengan hati
berbunga-bunga, kulangkahkan kakiku dengan ringan hari itu. Tak sabar
memberitahu Ibu ujianku berakhir hari ini.
“Assalamu’alaikum, Ibu..., Anjani
pulang” sapaku.
“Wa’alaikumsalam...,” jawab Ibu dari dalam.
“Ibu,
hari ini Anjani selesai loh ujiannya, alhamdulillah Anjani bisa mengerjakan
soal-soal ujian, berkat do’a Ibu” kataku sambil menyalami tangan Ibu.
Ibu hanya tertawa menanggapi ocehanku. “Alhamdulillah kalau Anjani bisa. Setelah ini Anjani mau lanjut sekolah kemana? Sudah Anjani pikirkan belum nak?”
Gerakanku yang hendak berjalan menuju kamar menaruh tas terhenti, akhirnya pertanyaan itu datang juga, batinku. Untungnya Aku sudah menyiapkan jawabannya.
“Kalau sudah siap nanti Anjani bilang ke Ibu kok” jawabku. Ibu
tersenyum kemudian mengangguk tanda mengerti.
Dua
minggu setelah ujian berakhir, masa lIburan sekolah dimulai, tahun ini lIburan
lebih panjang karena bertepatan dengan awal bulan Ramadhan.
Semua kakakku memutuskan untuk pulang;
berlibur; dan berkumpul di rumah; menemani Ibu, supaya Ibu tidak kesepian.
Momen itu kurasa pas Aku jadikan waktu untuk mengutarakan keinginanku dan
rencana sekolahku pada keluarga nanti. Sebuah titik balik yang Aku sendiri
belum tahu bagaimana cerita selanjutnya nanti,
semoga keluarga ini mengerti.
Hari yang ditunggu tiba, selepas sholat maghrib berjamaah, keluargaku berkumpul, mendiskusikan banyak hal. Mulai dari hal-hal remeh seperti kucing tetangga sudah melahirkan dua kucing yang seluruhnya berbulu putih bersih hingga hal-hal berat seperti kisah politik dinasti presiden tahun ini. Nyatanya tak sesusah itu memulai pembicaraan karena kakak pertamaku sudah bertanya lebih dulu membuka percakapan untukku.
“Anjani,
Kamu kan tahun ini lulus SMP, rencana mau lanjut dimana? Katanya kemarin mau
kasih tahu keluarga kalo lagi kumpul, Mamas mau dengar jawaban Kamu” katanya.
Semua
mata memandangku, menantikan jawaban yang akan kuberikan. Aku menelan ludah
merespon rasa gugup yang ada dalam diriku. Berpikir sejenak, memilih kata-kata
yang cocok sebagai pembuka.
“Ibu,
Mas, Mbak, tahun ini kan Anjani lulus SMP dan sejak kemarin sudah
ditanyakan sama Ibu mau
lanjut dimana? Sudah sejak lama Anjani memikirkan hal ini dan disini Anjani
memutuskan untuk masuk SMK saja, SMK dengan multimedia sebagai jurusannya Bu,
Mas, Mbak.” Akhirnya kukatakan juga ujarku dalam hati. Pandanganku menunduk tak
berani melihat ke arah mereka sambil memainkan jari-jemariku.
Lenggang untuk sejenak, Aku menunggu tanggapan mereka. Sepertinya semua orang masih terkejut dengan jawabanku, karena memang pada dasarnya belum ada seorangpun di keluarga ini yang memilih masuk sekolah kejuruan. Semua kakak-kakakku melanjutkan jenjang SMA ataupun masuk pondok dengan sistem MA, bukan SMK.
“Kenapa Anjani memilih SMK?” tanya Ibu lembut memecah lenggang.
“Alasannya..., Anjani ingin lebih fokus mendalam bidang multimedia sehingga keterampilan Anjani lebih terasah lagi, terus kalau memang mampu nantinya Anjani mau langsung bekerja sehingga tidak memberatkan keluarga untuk biaya kuliah Anjani, mengingat Bapak yang sudah tidak ada dan Ibu yang juga semakin tua. Anjani tidak ingin merepotkan keluarga...” jawabku.
Semua orang kembali terdiam, agaknya sedikit lebih terkejut
mendengar alasanku bersekolah di SMK daripada pilihan
bersekolah di SMK itu sendiri. Aku menebak-nebak sekiranya apa yang dipikirkan
mereka saat ini.
“Adek,
Kamu tahu?” suara kakak pertamaku memecah keheningan. Aku menggeleng sebagai jawabannya.
Kemudian
ia melanjutkan kata-katanya, “Kalau Kamu tahu, ketika Bapak meninggal dunia,
Bapak tidak pernah lepas tangan dengan tanggung
jawabnya sebagai seorang
‘Ayah’ kepada anak-anaknya
Dek, karena hari itu juga secara nggak
langsung tanggung jawab
itu bergeser ke Mamas
sebagai anak laki-laki sekaligus anak pertama dikeluarga, dan itu jadi sebuah
janji tersendiri buat Mamas kalau Mamas akan menggantikan peran ‘Ayah’ yang
Bapak titipkan dengan penuh rasa tanggung jawab, mengantarkan adik-adik
perempuan Mamas sampai mereka sukses dengan jalan hidup mereka masing-masing.
Tak terkecuali sama Kamu, semua akan mendapatkan haknya untuk bersekolah hingga
nanti sarjana, jangan takut, jangan risau masalah biaya. Itu adalah tanggung
jawab Mamas dan Ibu sebagai orang tua. Tugasmu adalah belajar dengan
giat, berikan hasil terbaik yang Kamu bisa dan jangan mengecewakan kami, itu
saja.”
Ibu
dan semua kakakku mengangguk-angguk, mengiyakan kata-kata kakak pertamaku. Tak
ada penolakan, semua satu suara dan setuju dengan hal itu.
“Tapi Anjani memang ingin belajar dibidang itu Bu, Mas, Mbak. Dan itu cukup jadi alasan terkuat Anjani masuk SMK saja daripada SMA” jawabku. Mataku berkaca-kaca takut dengan penolakan keras dari keluarga. Tapi keinginanku kuat dan kekeh tetap ambil SMK sebagai kelanjutan studiku.
“Oke kalo itu mau Kamu Dek, tapi Kamu harus ingat satu hal. Kamu akan selalu punya kesempatan untuk jadi sarjana. Kamu boleh ambil SMK, tapi setelah itu Mamas dan keluarga tetap berharap Kamu pergi kuliah. Bukankah hal itu juga wajar? Banyak juga orang-orang diluaran sana yang melakukan hal itu dan nyatanya itu bukan larangan. Mosok kakak-kakaknya do jadi sarjana
Adek bungsunya enggak? Semua dapat haknya Dek tak terkecuali Kamu. Apapun pilihan
Kamu kami akan selalu
mendukung dan menghormati keputusanmu.”
Kata-kata itu membuat tangisku pecah, tangisan haru dan bahagia karena
ternyata bukan penolakan yang jadi jawabannya, tapi sebuah persetujuan dan
dukungan. Hal itu membuatku merasa bahagia sekaligus lega. Awan gelap yang selama ini menyelimuti hati dan sebuah keinginan yang sulit
sekali untuk diutarakan kini hilang sudah.
“Sudah-sudah, ndak usah nangis lagi Anjani. Sekarang..., tinggal cari sekolah yang sesuai dengan kemauan Anjani. Adakah sekolah yang Kamu mau?” tanya Ibu lembut sembari mengusap-usap bahuku menenangkan.
“Belum tahu bu, Anjani belum dapat sekolah yang dimau,” jawabku.
“Ya sudah, setelah ini kita cari bareng-bareng ya. Sambil nunggu kelulusan dan sedang liburan, lebih baik mencari sekolah dari sekarang, nanti Mamas antar untuk cari sekolahan, tenang saja” Kata kakak pertamaku.
Sisa
liburanku diisi misi pencarian sekolah. Tidak mudah ternyata mencari
sekolahan dengan standar yang
kumau, namun setelah mengunjungi beberapa sekolah akhirnya Aku menemukan juga
sekolah impianku. Ketika hari kelulusan, Aku dinyatakan lulus. Bahkan Aku lulus
dengan prestasi yang cukup baik, posisi pertama dengan nilai terbaik. Guru-guru
dan teman-teman memberikan ucapan selamat untukku. Aku berfoto bersama mereka,
mengabadikan momen kebersamaan kami.
Lepas hari kelulusan Aku memulai kehidupan SMK dengan jurusan multimedia sebagai pilihanku. Sekolahnya berada di Bogor dengan basis asrama. Aku benar-benar menggunakan waktu tiga tahun masa SMK-ku dengan sungguh-sungguh. Tahun pertama, Aku belajar hal-hal dasar seputar dunia multimedia, bersosialisasi dengan teman-teman satu angkatan; juga guru-guru pengajar yang ada di sekolah. Ditahun itu, untuk pertama kalinya Aku juga mengikuti perlombaan festival film nasional tingkat menengah atas yang diadakan oleh salah satu perguruan tinggi di Indonesia dalam rangka hari ulang tahun kampus. Itu adalah tahun-tahun dimana Aku mulai aktif mengikuti kegiatan diluar sekolah.
Ditahun kedua SMK, Aku mulai aktif berorganisasi di sekolah, tak ketinggalan kegiatan lomba yang juga kerap kali diikuti oleh sekolahku. Di akhir masa kelas dua, Aku harus melAkukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang menjadi sebuah keharusan bagi siswa-siswi SMK. Pencarian tempat PKL ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Namun, setelah melalui banyak proses dan negosiasi, dibantu dengan kenalan kakak pertamaku. Akhirnya, Aku mendapatkan tempat PKL yang dekat dengan rumah kakak pertamaku dan tempat yang sesuai dengan minatku.
Tempat PKL-ku kebetulan adalah salah satu perusahaan percetakan buku yang kental dengan nuansa islami. Dari pengalaman PKL Aku belajar banyak. Diantaranya proses pembuatan video iklan, editing soft cover buku cerita anak, bahkan hingga voice over. Aku benar-benar dibekali dengan pengalaman yang tak terlupakan selama tiga bulan magang di tempat tersebut. Selain belajar banyak, Aku juga berkenalan dengan banyak orang, membangun relasi-ku sendiri batinku. Di hari terakhirku magang, Bapak pembimbingku berpesan “Jika nanti Anjani kesulitan mencari pekerjaan, datang saja kesini, kami sangat membutuhkan orang seperti Anjani”. Aku tersenyum dan berterima kasih dengan tawarannya sebagai jawaban.
Seusai magang, kelas akhir SMK menantiku. Sama seperti halnya teman-teman yang lain, Aku juga mempersiapkan sebaik-baiknya untuk kelulusan dan juga rencana selepas SMK. Kegiatan belajar mengajar di sekolah menjadi lebih padat, ada kelas tambahan yang harus Aku dan teman-teman ikuti. Aku berpikir keras perihal rencana selepas SMK, kayaknya Aku mau kuliah abis ini, jurusan desain komunikasi visual kalo nggak desain produk, kira-kira kampus mana ya? Bisa nggak ya Aku? Di tengah lamunanku, Aku disadarkan oleh panggilan teman yang mengatakan bahwa wali kelas memanggilku ke kantornya selepas makan siang.
Sesuai
rencana, siang seusai makan siang Aku memenuhi panggilan wali kelas di kantor.
Kuketuk pintu kantor beliau tiga kali dan mengucapkan salam. Dari dalam
terdengar jawaban yang mempersilakan untuk masuk. Kudorong pintu ruangannya,
terlihat beliau sedang membaca lembaran-lembaran kertas di atas mejanya. Beliau
melihatku lalu mempersilakanku duduk di depannya.
“Anjani, bagaimana kabarmu nak hari ini?” Beliau membuka obrolan dengan bertanya apa kabarku. Senyuman terbit di bibirnya, berusaha membuat obrolan nyaman dan tidak kaku.
“Kabar saya baik Bu, Alhamdulillah. Ngomong-ngomong ada apa Ibu memanggil saya ke kantor Ibu?” tanyaku balik.
“Jadi begini Anjani, sama seperti teman-teman yang lain. Ibu sengaja
memanggilmu kemari sekedar bertanya apa rencana Kamu selesai sekolah nanti. Sekiranya
apakah mau kuliah atau bekerja. Ibu hanya ingin memfasilitasi
murid-murid dengan memberi saran jika
bisa perihal rencana kalian. Jika hendak masuk kuliah, sekolah bisa membantu
untuk membuat rekomendasi ke kampus yang ingin
dituju, sesuai dengan program studi yang ingin diambil, tentunya lewat nilai
raport kalian selama sekolah disini.
Adapun jika ingin bekerja, sekolah bisa membuat rekomendasi ke perusahaan tempat kalian melamar. Jadi
bagaimana dengan rencana Anjani sendiri seusai SMK?” jawab wali kelas panjang
lebar.
“Anjani
belum tahu Bu...” jawabku jujur. Wali kelas menatapku bingung mendengar jawabanku.
“Maksud
Anjani, bukan berarti Anjani tidak memiliki rencana. Anjani punya beberapa
rencana, tapi Anjani belum mendiskusikannya dengan keluarga. Boleh Anjani jawab
setelah Anjani mendiskusikannya dengan keluarga Bu?” lanjutku.
Beliau
terkekeh pelan lalu berkata “ Tentu boleh Anjani, Ibu harap sebelum ujian
Anjani sudah memiliki jawabannya. Ketika hari penjengukan besok, silahkan diskusikan dengan keluarga.
Apakah keluargamu akan datang menjenguk?” tanyanya. Aku mengangguk
“Nah
kalau begitu, Ibu harap Anjani sudah memiliki jawabannya hari Senin nanti.
Temui Ibu kembali pada hari
Senin di waktu dan tempat yang sama seperti
hari ini, bisa nak?” tanyanya
lagi dan kujawab dengan
anggukan yang sama.
Dua
hari setelahnya adalah hari Ahad, hari penjengukan dan rapat wali murid kelas
tiga. Aku menunggu keluargaku
datang, sama dengan teman-teman yang lain. Pukul sepuluh pagi Ibu dan
kakak-kakakku datang, segera kuhampiri mereka di tempat penjengukan. Sama seperti
biasanya kami menghabiskan
waktu penjengukan dengan mengobrol, membahas kegiatan apa saja yang Aku ikuti,
kabar tetangga di rumah, tertawa dengan ledekan Kakak-kakak, atau sekedar
candaan tanggung yang begitu renyah disampaikan.
Lelah
mengobrol, pindah acara makan-makan dengan perbekalan yang sebelumnya telah
disiapkan oleh Ibu. Hari-hari seperti menjadi penghiburan tersendiri untukku. Karena, rasanya
seperti mengisi ulang daya tubuhku. Seusai makan Aku memutuskan untuk membuka obrolan
terkait rencana sekolahku
setelah lulus SMK nanti. Ini seperti mengulang kejadian tiga tahun yang lalu
ketika Aku hendak masuk SMK. Aku senyum-senyum
sendiri mengingat momen kala itu. Dulu mungkin
rasanya menakutkan, tapi kali ini Aku belajar banyak dari pengalaman.
“Ibu, Mas, Mbak, Anjani mau minta pendapat nih” “Iya, bagaimana Anjani?” jawab Ibu.
“Pas
selesai magang kemarin, Anjani terpikirkan tujuan Anjani selanjutnya. Insyaallah
Anjani bakal lanjut kuliah. Sama seperti saran Ibu dan Kakak-kakak dulu
sewaktu Anjani memilih bersekolah di SMK ketimbang SMA. Rencana Anjani mau
ambil jurusan desain, pilihannya kalau nggak desain komunikasi visual ya
produk, tapi kalo perihal kampus yang mana…, Anjani belum tahu.”
“Dimanapun
Kamu bersekolah, Kamu berhak mendapatkan pendidikan yang terbaik” jawab kakak
pertamaku.
“Kita semua bakal selalu dukung
apapun cita-cita Kamu Dek” timpal
kakak keduaku.
Kakak-kakak
yang lain tersenyum dan mengangguk, menyetujui ucapan dari kakak keduaku.
Aku terharu dan merasa beruntung memiliki keluarga yang sangat mendukung apapun
cita-citaku. Perasaan untuk selalu memberikan yang terbaik untuk mereka semakin
berkobar. Alasanku untuk tetap berjuang tetap bertahan bertambah, dan mereka
ada diantara puluhan alasan itu.
“Terimakasih semua, Anjani nggak akan pernah lupa kebaikan yang Ibu dan
Kakak-kakak lakukan buat Anjani. Anjani senang sekali, sungguh terima kasih.”
Sore
harinya, keluargaku bersiap untuk pulang, mengakhiri sesi penjengukan hari ini.
Aku menyalami Ibu dan kakak-kakakku, mengantar
mobil yang ditumpangi mereka hingga keluar gerbang
tak terlihat oleh mata. Aku menggenggam erat kado yang kakak-kakak hadiahkan
untukku. Kakak keempatku yang menyerahkannya langsung sebelum mereka menaiki
mobil sambil berbisik di telingaku “jangan lupa dibaca suratnya” katanya. Susah
payah kutahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata, menahan perasaan
yang campur aduk antara senang, sedih, dan haru.
Hari Senin sesuai janji yang kubuat dengan wali kelas, Aku menemui
beliau di ruangannya. Aku mengutarakan keputusanku untuk lanjut berkuliah
dengan mantap. Beliau tersenyum melihatku bersemangat dengan mata yang
berbinar. Obrolan dengan beliau berakhir tak lama setelahnya. Jam pelajaran
segera dimulai, Aku pamit undur diri untuk mengikuti pelajaran di kelas. Beliau
paham, mengangguk mempersilakanku keluar dari ruangannya.
Detik berlalu menjelma menit, menit menjelma jam, jam berganti hari, berganti minggu, berganti bulan. Hari-hari menjelang masa ujian dipenuhi dengan belajar, belajar, dan belajar. Latihan soal setiap hari, berkutat dengan rumus-rumus dan hafalan setiap harinya. Tidak ada waktu untuk bersantai, nasib sebagian siswa ditentukan dengan ujian kali ini. Semua orang serius menghadapi ujian yang saat ini nyata di depan mata. Satu, dua, tiga minggu lewat beberapa hari, nyaris satu bulan Aku dan teman-teman menjalani ujian. Ujian lisan, tulis, hingga praktek terlewati sudah. Lega sekali rasanya melewati ujian kali ini.
Aku menutup bab perjuangan panjang semasa SMK dengan akhir yang indah. Hasil ujian yang keluar sungguh memuaskan. Bahkan impianku untuk lanjut berkuliah dengan program studi yang Aku inginkan berhasil Aku raih. Terima kasih Tuhan, engkau sudah mengabulkan doa-doaku, juga doa Ibu dan keluargaku. Tanpa mereka, Aku bukan siapa-siapa. Terima kasih sudah menghadirkan keluarga terbaik dalam hidup yang tidak sempurna ini.
***
Sabtu
pagi di akhir tahun 2018. Sebuah keluarga beranggotakan lima wanita dewasa dan
seorang pria tampak tersenyum cerah. Para wanita berbusana kain kebaya merah
muda dan kain songket yang senada menambah kesan keanggunan yang melekat pada
mereka. Sementara itu, sang pria mengenakan baju kemeja dengan warna serupa
ditambah jas hitam dan celana hitam
melengkapi penampilan necisnya hari itu. Keluarga itu berjalan memasuki
auditorium tempat adik bungsu mereka diwisuda. Sang Ibu ditemani oleh
Kakak pertama masuk kedalam aula auditorium menuju bangku wali peserta wisuda yang ada. Sedangkan empat kakaknya duduk di luar auditorium, menyaksikan
wisuda dari luar lewat layar televisi besar yang sengaja disediakan
panitia wisuda. Kebahagiaan dan rasa bangga terpancar dari wajah sang Ibu dan
para Kakaknya. Menyaksikan Adik bungsu mereka yang dulu masih susah disuruh
bangun pagi untuk sekolah kini akan wisuda sarjana. Itupun sarjana dari kampus
terbaik di Indonesia, bukan main adiknya pikir
mereka.
“Anjani Putri Pradana,
Sarjana Desain.”
Gadis
cantik yang dipanggil namanya dari pengeras suara dalam ruangan wisuda maju ke
depan. Langkahnya mantap penuh kepercayaan diri. Mereka tersenyum melihat adik
bungsunya. Dengan jubah toga yang dikenakan menambah kesan dewasa yang melekat
dalam dirinya.
Senyuman tak lepas dari wajah
sang Ibu yang sudah keriput,
menandakan usianya yang sudah
lama tidak muda. Hari ini, tugas sang Ibu mengantarkan anak-anaknya hingga
sarjana tuntas sudah. Meskipun dirinya hanya lulusan SMA, namun anak-anaknya
harus sarjana. Tak apa, baginya masa depan anaknya lah yang terpenting. Sang
Ibu benar-benar definisi wanita tangguh, ‘wonder
woman’ dalam keluarga itu. Berjuang membesarkan anak-anaknya seorang diri
setelah kepergian sang suami bukanlah sebuah hal yang mudah, tapi lihat Ibu itu. Ia berhasil
melewati masa-masa sulitnya. Anak-anaknya yang lain ikut
tersenyum di samping sang Ibu yang kini hujan
air mata, sangat
terharu dengan pencapaian anak bungsunya.
Acara
wisuda berakhir dengan khidmat. Keluarga
itu menunggu adik kecil mereka keluar dari tengah-tengah lautan manusia. Sudah
berjanji untuk bertemu di tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Sebuah buket
dan kado kecil sudah menanti untuk sang Adik.
“Congratulation
adek,...” kata mereka
kompak.
“Wah,
makasih banyak Ibu, Mas, Mbak. Makasih sudah jadi support system terbaik untuk Anjani. Sudah sabar dengan rengekan
dan keluhan yang kerap kali Anjani lakukan. Terima kasih, kayaknya nggak akan
cukup, pokoknya Anjani sangat berterima kasih dengan hadirnya
keluarga yang sangat Anjani
cintai ini.” Mata sang Adik berkaca-kaca menahan kebahagiaan hari itu. Mulutnya
bahkan tak henti-hentinya mengucapkan rasa terima kasih kepada Ibu dan
saudara-saudaranya. Sungguh sebuah momentum kebahagiaan yang layak untuk
dikenang.
Hari
dimana sang Adik mengenakan toga dan menerima gelar sarjana menjadi saksi
perjuangan hidupnya sejauh ini. Jatuh bangunnya, prestasinya, tawanya, dan
tangisannya mewarnai pencapaian dirinya yang sekarang. Sang Adik telah
membuktikan kepada dirinya sendiri kalau dia mampu meraih impian yang dulu
sempat membuat dirinya takut untuk mewujudkannya. Bapak mereka yang kini tak
lagi membersamai mereka pasti juga sangat bangga
jika ada. Lihatlah
Pak, anak bungsumu sekarang
sudah jadi sarjana bahkan
sudah bekerja. Ia bukan lagi anak kecil ingusan dengan kuncir dua dikepalanya. Bukan juga
anak kecil yang kerap kali disangka cucumu bukan anakmu. Dialah anak yang
dahulu kerap Bapak ajak duet bernyanyi, dia si bungsu dari kelima anakmu.
Sang
Adik menghambur, memeluk erat Kakak-kakaknya. Ia teringat akan sepucuk
surat yang diterimanya kala
ia SMK. Surat yang menjadi sebuah pegangan dan cambukan untuk membuatnya terus
bertahan dimasa-masa kuliahnya. Seingatnya isi surat itu seperti ini:
Teruntuk adik kecil kami, Untuk beberapa alasan, dahulu kami takut Kamu tumbuh dewasa sebelum waktunya. Namun lihat sekarang, Kamu sudah tumbuh menjadi seorang gadis cantik berbakat dengan relasi meyakinkan. Terima kasih sudah hadir dalam keluarga kita, menjadi penutup cerita kita berlima. Kamu dan karya-karyamu, cantik, menawan, berkharisma. Sedikit sesal karena belum ada membersamai Kamu kecil dahulu hingga sekarang, belum bertanya bagaimana hari-harimu dulu, lantas bagaimana perasaanmu yang lalu. Tapi sungguh, kami sangat bangga padamu dek. Bagaimanapun Kamu, Kamu tetaplah Adik kecil kami. Tawa dan tangismu menghiasi wajah bahagia Ibu dan Bapak selalu. Adek, selamat berproses ya, selamat berjuang dengan harapan yang Kamu langitkan kepada Rabb pencipta alam. Do’a terbaik dari kami sekeluarga untukmu.
0 Komentar