Oleh: Ihya’
Bismillahirrahmanirrahim
“Hasil dari (10
– 4y – y 2 ) – (4y 2 + 2) adalah?” Aduh … Ini pelajaran apa sih?
Di dalam serambi hari,
malam telah bersemayam. Dunia mulai lenggang, tanpa pelita, tersisa gelita.
Rumah-rumah dibelai angin dingin. Orang-orang mulai meninggalkan kesibukan dan
bergerak menuju ranjang peristirahatan, kecuali Caca. Gadis kecil itu dia tidak
boleh tidur sebelum mengerjakan sebuah tugas. Pekerjaan Rumah (PR) adalah satu
dari banyaknya tanggungan tugas yang harus ditunaikan oleh seorang murid
sekolah. Ketika suara jangkrik dari kebun belakang rumahnya mengantarkan dunia
untuk terlelap, Caca masih sedang berjuang untuk melawan banyak hal.
Matematika, teman bagi segilintir
murid, musuh bagi sisanya – atau mayoritasnya. Bagaimana dengan Caca? Apakah
dia teman mata pelajaran ini atau musuhnya? Caca sama sekali tidak pernah mau
punya musuh, dia terus berusaha menjadi teman bagi matematika, juga bagi semuanya
di dunia. Soal-soal di buku tulis catatan tersanding, Caca menarik napas berat.
Dia berusaha mengisi titik-titik yang tersedia, memaksa dirinya. Yang Caca
hadapi bukan lagi soal penjumlahan atau pengurangan biasa. Sekarang ada hal-hal
baru yang Caca tidak begitu mengerti, tapi dia terus paksa.
Lima menit, Caca masih berusaha bisa. Tak bisa dibohongi, kepalanya mulai
pusing. Caca harus pintar matematika kalau mau menjadi dokter! Kalimat
sang Papa selalu beredar di kepala Caca. Kamu harus ranking di kelas!
Ucapan mamanya ikut muncul. Gadis kecil itu terus memaksa dirinya. Tangannya
bergerak, dia menjawab pertanyaan yang ada, setelah berusaha berpikir sebisanya.
Tidak bisa dibohongi, isi hati Caca berisik ingin putus asa. Dia sudah mencoba
terus, dan tetap saja tak kunjung menguasai pelajaran hitung-menghitung ini,
apalagi benar-benar menyukainya. Setiap kali Guru Tuti menerangkan matematika,
Caca tidak pernah abai dan terus memperhatikan. Caca bingung, kenapa semakin
hari semakin banyak muncul rumus dan simbol-simbol baru. Bagaimana mungkin
angka bisa dikali dengan huruf? Dia kesulitan untuk memahami dan mengikuti
pelajaran. Tidak masalah, Caca pasti bisa. Dirinya terus ia paksa.
Menit-menit berlalu, pena hitam di tangannya sesekali dia genggam sesekali
dia letakkan. Rambut poninya ia tiup-tiup. Setelah berpikir sebisanya (lagi),
dia ragu dengan jawaban-jawaban yang telah ditulisnya. Caca mencoret-coret
jawaban itu, dan seperti itu terus berkali-kali. Berjuang dengan bimbingan
pusing di kepala, belajar ditemani oleh meja dan lampu.
Hampir satu jam berkutat dengan angka-angka dan simbol-simbol yang entah
kapan akhirnya ini, kepalanya mulai pusing tidak karuan. Mungkin butuh
istirahat sejenak. Jemari Caca bergerak ke arah laci meja. Ketika ditarik
pegangan laci tersebut, di bagian ujung laci terlihat harta karun milik Caca: pensil
dan buku gambar lengkap dengan pensil warna. Harta karun rahasia yang selalu
dia sembunyikan dari orang tuanya. Terakhir kali Caca didapati menggambar,
wajah masam yang merespon.
Caca melompat ke arah kasur, buku tulis matematika dia tinggal berduaan
dengan pena. Di atas ranjang tidurnya, Caca membuka buku gambarnya dan mulai menggambar
sesuatu. Kepalanya iseng bertanya, mau gambar apa ya? Sambil menggurat
garis dan titik, gadis kecil itu senyam-senyum sendiri.
Meong ...
Saat sedang seru-serunya Caca menggambar, dia datang. Suaranya terdengar
dari balik pintu kamar yang tertutup. Caca beranjak menuju pintu dan
membukanya.
“Hai Cici, Kamu belum tidur?”
Meong ...
“Psst ... jangan berisik, ayo masuk.” Caca menengok ke arah luar memastikan
keadaan aman, lalu menutup pintu kamar. Caca kembali ke kasur.
Kucing oren ini bertahun-tahun telah menjadi karib sejati bagi Caca. Sebagai
anak semata wayang, Cici – kucing orennya yang entah jantan atau betina itu –
adalah satu-satunya saudara baginya. Sahabat tempat Caca mencurahkan segala
keresahan hatinya. Pelipur di kala lara, penghibur di kala gundah gulana.
Memang terasa berlebihan, memang akan terlihat aneh ketika Caca bercerita
panjang tentang ini dan itu ke kucing peliharaan yang seharusnya tidak mengerti
apa yang diucapkannya. Tapi Caca bisa berceloteh seperti ini hanya ke Cici
kesayangannya, memangnya ke mana lagi?
“Aku jenuh dengan PR matematika,
jadi aku mau menggambar-gambar sebentar. Kamu tahu kan aku suka sekali
menggambar. Lihat, apa yang sedang kugambar.” Caca melihatkan sketsa gambarnya
ke Cici – yang aslinya entah mengerti atau tidak.
Meong ...
“Lihat gambarnya bagus, kan? ini cita-citaku. Ya, aku sadar diri sih kalau
matematika saja aku kesulitan hehehe. Aku yakin pasti bisa , Ci, pasti! Pasti
bisa membanggakan orang tua. Keren kan?!”
Meong ...
Setiap kali Cici mengeong, Caca yakin dia mendengarkan dan paham apa yang
dia ucap-ucapkan. Kucing itu hanya terduduk dan mengeong, Cici sudah tidak
seaktif sebelumnya, mungkin karena sudah berumur.
“Terima kasih, Cici, sudah selalu jadi temanku.” Caca mengelus bulu lembut
kucing kesayangannya. Dan ternyata badannya panas. Caca menganggapnya sedikit
janggal, tapi belum terlalu menghiraukan. Gadis kecil itu tenggelam menikmati
momen bersama Cici di atas kasurnya. Sampai tiba-tiba ...
Aduh,
ketiduran!
Niatnya hanya menggambar-gambar
sebentar melepas jenuh, tapi malah ketiduran. Caca semalaman tertidur tengkurap
dengan buku gambar di depannya dan pensil di sekitar tangannya. Bencana
sesungguhnya adalah PR matematikanya yang belum selesai, dan suasana semakin
mencekam ketika suara mamanya terdengar memanggil dari luar.
“Caca ... bangun! Siap-siap ke
sekolah!” Suara itu mendekat ke pintu kamar.
Dengan dada yang berdegup kencang
dia buru-buru membereskan peralatan gambarnya dan memasukannya ke laci rahasia
di meja belajar. Melihat buku tulis matematikanya yang penuh coretan dan tugasnya
belum selesai. Hatinya mengaduh bingung.
“Iya, Ma, Caca sudah bangun ....” Caca
terpikirkan sesuatu, jantungnya berdegup semakin kencang. Dia menyapu seluruh
sudut kamar dengan pandangannya, sampai ke bawah kasur, seperti mencari
sesuatu.
Dari balik pintu yang setengah terbuka,
mama Caca muncul, “Cepat, Caca, jangan lupa rapikan kasurnya!” Mimik dan suara
galak ibunya menyambut pagi Caca, dan dia sudah terbiasa. “Itu kucing kamu
sakit ya, dari tadi seperti diam saja di kandang.”
Kabar baik dan kabar buruk; kabar
baiknya Caca tidak ketahuan telah ‘menyelundupkan’ Cici ke kamar – itu
pelanggaran berat, kalau ketahuan pasti Caca akan jadi bulan-bulanan omelan
mamanya; kabar buruknya, firasat buruk tentang Cici yang sakit tadi malam semakin
kuat. Kalau Cici sakit, memang aku harus bagaimana ya?
Mandi, ganti baju, sarapan; Caca
berangkat ke sekolah.
***
Caca masih kelas satu SMP. Tidak
mudah, perlu banyak penyesuaian di tahap baru ini, baik dari lingkungan, teman,
sampai pelajaran. Ah, pelajaran, apa kabar PR matematika?
Bel berbunyi, suara dentingnya
berkunjung dari telinga ke telinga. Sinar matahari pagi merambat ke
jendela-jendela. Para siswa merapat ke kelas-kelas, saling bertukar sapa dan
senyum. Banyak yang terlihat sumringah, dan di antara yang sumringah itu pasti
tidak ada Caca. Iya, karena masalah yang ‘itu’. Sambil menunggu guru datang,
Caca masih berusaha mencoba menuntaskan PR-nya. Tapi tak kunjung bisa. Waktu
yang mendesak membuatnya tidak tenang menyelesaikan PR, ditambah pikiran
tentang Cici yang sakit membuatnya tidak fokus. Seketika Bu Tuti masuk ruangan.
Pasrah saja siswi satu ini, tamat sudah riwayatnya.
“Kita akan langsung membahas bersama
tugas rumah yang sudah ibu berikan, sekarang yang ibu sebut namanya maju
kerjakan di papan tulis.” Kabar baik, PR tidak dicek satu-satu, tapi sama saja
kalau Caca yang disuruh maju. Semoga tidak.
Bu Tuti menyebut satu nama dari absen kelas, “Anfa Karim, ayo maju
kerjakan di depan.” Caca menghembuskan napas lega, bukan dia yang dipanggil,
tapi ini baru satu dari sepuluh soal.
Siswa yang disebut maju. Setelah
selesai menulis dan dibahas. Dia mendapatkan tepuk tangan karena jawabannya
benar. Bu Tuti meminta para siswa untuk mengoreksi jawabannya masing-masing
sesuai tulisan di papan tulis.
Bu Tuti kembali memanggil “Sekarang
... Kevin Jaelani.” Caca masih aman. Tugas-tugas dibahas, papan tulis dipenuhi
angka, huruf, simbol, dan garis. Nama-nama siswa disebut satu persatu. Ada yang
benar, ada yang salah. Caca merasa aman saja.
“Bergas Pamungkas.”
“Puspa Aglonema.”
“Ahmad Romea.”
Sampai akhirnya, Bu Tuti menyebut
nama, “Aca Selaksa Asa.”
Aduh. Ternyata Caca tidak
beruntung, namanya akhirnya ikut disebut juga. Dalam bingung ia berdiri
gemetar.
“Ayo, Nak, kerjakan nomor enam.”
Caca masih terdiam di bangkunya. Dia
hanya punya satu cara. “Maaf, saya belum menyelesaikan PR, Bu,” ucap Caca terus
terang.
Bu Tuti mengernyitkan dahi. “Kenapa
belum?”
“Saya belum paham penjelasan ibu
minggu kemarin, saya kesulitan, Bu,” tanggap Caca dengan kepala tertunduk.
“Masa begitu saja tidak paham, ini
mudah lho. Yang lain, mudah atau tidak?” Guru matematika itu menanyai semua
anggota kelas.
“Mudah ...,” jawab semua siswa
serempak.
“Itu dengar, yang lainnya paham,
berarti penjelasan ibu cukup jelas. Cuma kamu saja masa yang tidak paham,
berarti kamu yang tidak memperhatikan. Padahal sebentar lagi sudah mau ujian,
masa semudah ini saja belum paham.” Lebam hati Caca jadi bulan-bulanan gurunya
di tengah semua murid. Caca berusaha tegar, dia sudah terbiasa.
“Iya, Bu, maaf.”
“Memangnya apa yang belum kamu
pahami, Caca?”
“Saya bingung, Bu, kenapa huruf itu dikurangi
dan ditambah dengan angka, maksudnya apa? Kenapa seperti itu?”
HAHAHAHAHA
Caca kaget. Bukannya dapat respon baik, satu kelas menertawai Caca,
termasuk si guru. Gadis berambut poni itu terguncang, bukannya tadi dia diminta
bertanya apa yang dia bingungkan, kenapa ia malah jadi bahan olok-olokan. Bendungan
air matanya hampir saja jebol. Hati Caca ingin berteriak. Di mana salahku?
“Pertanyaan kamu ini aneh. Pasti
cuma alasan karena belum mengerjakan. Ya sudah, kamu berdiri sampai akhir
pelajaran.”
Caca dihukum berdiri di kelas di
tengah murid yang lain sendirian. Mungkin sejatinya hanya beberapa jam, tapi
bagi Caca sendiri rasanya laksana tersiksa berabad-abad lamanya. Perasaan malu,
bersalah, putus asa bercampur dengan pikiran tentang kesehatan kucing
kesayangannya di rumah. Caca berusaha tegar karena memang ini kelalaiannya yang
tidak menyelesaikan tugas, bukan? Di balik tunduk kepalanya beberapa tetes air
mata menitik. Mirisnya, tiada yang peduli.
Jam pembelajaran selesai, setelah satu hari sekolah yang membuat lelah,
dengan satu mata pelajaran yang berdurasi satu abad. Para siswa kembali ke
rumah masing-masing. Tidak semudah menghilangkan murung dari wajah Caca. Buruk
sekali hari ini.
Saat berjalan menyusuri lorong kelas, Caca menemukan sebuah poster lomba di
mading. Ketika dilihat, ternyata itu lomba menggambar. Tema yang diangkat
adalah cita-cita. Pas sekali. Mendung di perasaan Caca mulai pudar. Dia akan
mengikuti lomba itu. Gambar yang tadi malam di sketsa bersama Cici akan
diselesaikannya dan dikumpulkan untuk lomba ini. Ingin sekali Caca
memperlihatkan hasil karyanya kepada orang tuanya, supaya dia punya sesuatu
yang dibanggakan. Seringai akhirnya terbit di wajah Caca.
***
Sepulang dari sekolah, Caca langsung
menyampaikan kabar lomba menggambar itu kepada mamanya dengan antusias. Di
dapur si mama sedang mencuci piring.
“Mama.”
“Ya?” Mama Caca fokus kepada setiap
lingkar piring di hadapannya.
“Tadi di sekolah ada pengumuman
lomba, Ma.”
“Hm ....”
Caca masih melanjutkan ceritanya
dengan antusias, “Caca mau ikut, Ma, Caca yakin bisa menang.” Mamanya masih
mencurahkan segala perhatian kepada piring-piring kesayangannya. Caca masih
menyembunyikan satu hal dari pengumuman ini, tapi mau tidak mau Caca harus
menyampaikannya. “Ma, izinkan Caca ikut lomba ini ya ....”
“Lomba apa?”
“Lomba menggambar, Ma, Caca mau
banget ikut, Caca suka banget, Ma. Please. Boleh kan, Ma. Gambar Caca
bagus kok, Mama pasti bangga.” Caca memohon semelas mungkin.
“Tadi bagaimana pelajaran sekolahmu?”
tanya mama tanpa menoleh ke Caca.
“Emm ... tidak terlalu baik, Ma.” Caca
menjawab apa adanya, masih berharap semoga mama bisa sedikit mengerti sedihnya.
“Pelajaran di sekolah saja masih
tidak terlalu baik, masa mau ikut lomba. Lomba gambar lagi. Kamu Ganti baju
dulu sana!” jawab Mamanya ketus. Tidak ada raut mendukung. Sudah tidak ada
kompromi, mamanya tidak mendukung. Entah ada apa di balik kisah orang tuanya, kenapa
Caca tidak pernah didukung untuk menyalurkan minatnya di seni rupa, padahal
jiwa Caca potensial sekali bahkan di seni-seni yang lain juga. Caca punya jiwa
seni. Caca sudah tahu sikap ini dari lama, dia berharap kali ini mungkin ada
jawaban lain, karena Caca sendiri punya sesuatu untuk mereka berdua di balik gambarnya
kali ini. Sudahlah, daripada sakit hati semakin menghitam, biar matanya saja
yang berkaca-kaca. Pupus sudah harapannya. Sekarang Caca meninggalkan mamanya
di dapur, menuju satu-satunya pelipur lara.
“Hai, Cici.”
Meong ...
“Aku sedih sekali. Aku tadi dihukum di kelas, ditertawakan juga. Gara-gara
tidak selesaikan PR, kamu besok lagi bangunkan aku ya, jangan tahu-tahu
menghilang, Ci.”
Mmm ...
“Kamu tahu, kan? Gambarku yang tadi
malam itu, bagus, kan? Ya, tapi sama saja. Mama tidak suka. Papa juga nanti
akan sama saja. Aku sedih, Ci.”
Seketika dia melihat sesuatu yang
aneh, dan mencium bau tak sedap. Ternyata Cici ‘mengompol’ di kandang.
Seharusnya dia buang air kotak pasir. Astaga, kok bisa? Kalau mama tahu bisa
kacau!
Caca sigap membawanya ke kamar mandi
secepat mungkin sebelum terendus oleh mama. Dia dan kandangnya harus
dibersihkan. Benar, badannya panas, tangan Caca merasakannya. Cici diam saja
anteng, tidak banyak memberontak seperti kucing biasanya. Janggal.
Di kamar mandi, Cici dibilas. Ketika diusap-usap bulunya, Caca mendapati
hal janggal lain di kaki kanan kucingnya. Ada bengkak. Lupakan masalah lomba
gambar yang tidak direstui. Ada yang lebih menyedihkan sekarang.
“Kamu kenapa, Ci? Kamu kok bisa ‘ngompol’ di kandang? Kakimu kenapa? Aduh
kamu jangan sampai kenapa-napa, ya. Jangan diulangi lagi ya, nanti kalau
ketahuan pasti mama marah besar.” Mata Caca tadi hanya berkaca-kaca, sekarang
turun hujan dari sana. “Kalau kamu kenapa-napa aku punya siapa lagi, Ci?”
Dengan penuh kasih Caca memandikan kucing kesayangannya, yang juga saudara dan
karibnya.
Kepala Cici mendongak menatap ‘sahabat’-nya, sorot matanya ikut menyiratkan
kesedihan. Tapi dia hanya bisa menyimak dan menuruti Caca sambil mengeong. Meong
Meong Meong.
Usai membereskan si kucing, Caca segera mengurus kandang. Dia bingung apa
yang sebenarnya terjadi dengan Cici. Niat hati meminta mama untuk membawa Cici
ke dokter hewan, tapi dia baru saja menerima sikap tidak mengenakan dari
ibunya. Sedih apa lagi yang akan datang setelah ini pada Caca?
Hitam yang dari menggumpal di hati Caca kini bermanifestasi menjadi malam
yang menelan cahaya mentari. Papa pulang, makan malam kelurga digelar. Di meja
makan, yang disantap bukan hanya hidangan masakan mama, obrolan-obrolan juga
dilahap keluarga kecil beranggotakan tiga orang itu (Berempat dalam hitungan
Caca dengan tambahan Cici sebagai saudaranya).
“Caca bagaimana sekolahnya?”
“Hmm ... baik, Pa.”
“Papa, teman-temanku hampir semuanya
sudah punya HP. Kemarin kan Papa pernah bilang mau belikan aku, Pa. Teman-teman
semuanya sekarang membahas internet, kalau tidak dari HP dari warnet.”
“Kamu gak boleh ke warnet! Nanti gak fokus belajar!”
Caca mendengus, itu sudah pasti dia sudah tahu dia tidak boleh main ke
warnet. “Terus HP-nya bagaimana, Pa?”
“Nanti gampang, Papa dulu gak perlu itu buat belajar, toh bisa saja.”
Caca terdiam.
“Kamu sebentar lagi ujian, kan? Bagaimana persiapan? Sudah menguasai semua,
kan? Awas saja kalau nilainya jelek,” lanjut kepala keluarga itu.
“Iya, Pa.”
“Tadi katanya di sekolah Kamu ada masalah? Itu kenapa?” Tiba-tiba mama
masuk ke obrolan dan membahas urusan sekolah Caca tadi pagi.
Caca tertegun. Hati kecil meronta dan tidak bisa berbohong. Hah?
Perasaan tadi pagi aku hanya bilang ‘tidak terlalu baik’, siapa juga yang
bilang ada masalah? Kenapa juga sih harus di depan Papa!
“Oh, ya? Kenapa, Ca?” Papanya ikut penasaran.
Caca mau tidak mau menjawab seaman mungkin, “Ini, Pa, Ee ... Caca tidak
terlalu paham matematika, jadi Caca tidak bisa mengerjakan soal dari Bu Tuti
tadi. Kenapa sih ada huruf yang ditambah sama dikurangi sama angka? Itu
maksudnya seperti apa?”
“Matematika SMP itu masih mudah, Ca, masa Kamu begitu saja tidak bisa.
Makanya, belajar yang rajin. Siapa anaknya Pak Akram itu, Ma?”
“Karim.”
“Nah, itu lihat dia, pintar sekali sering juara sejak SD, kamu tahu dia,
kan?”
“Iya, Pa.” Caca tertunduk. Dia tidak sabar makan malam ini selesai, supaya
bisa langsung bermain-main dengan Cici. Oh, iya Cici! dia harus bilang
sesuatu.
Piring-piring penuh ayam goreng dan
tempe bacem yang dilengkapi oleh sambal perlahan tandas. Terlihat lezat, tapi
pikiran dan perasaan Caca tidak bisa mengecap semua nikmat itu. Dari tadi dia
memikirkan bagaimana dia meminta orang tuanya untuk membawa kucing
kesayangannya yang sedang sakit ke dokter hewan. Setelah semua yang dia lewati,
dia punya jutaan alasan untuk ketakutan meminta ini. Namun, kali ini demi cintanya
kepada Cici, Caca harus bersuara.
“Pa, Ma ..., Cici sakit. Badannya panas, sepertinya kakinya bengkak.”
Papanya merespon, “Nanti juga sembuh sendiri, biasa itu.”
“Minta tolong temani Caca bawa Cici ke dokter hewan, Pa, Ma.” Akhirnya
permintaan itu terucap.
“Kucing-kucing terus, kucing terus, pikirkanmu itu kucing saja. Jangan-jangan
malah gara-gara dia kamu jadi tidak rajin belajar,” ucap mama. Menyesakkan
sekali.
“Ma, sekali ini saja. Kasihan Cici, Ma. Justru, Caca tidak bisa belajar
karena ingat terus kalau Cici. Ayo, Ma. Caca mohon.” Semakin memelas wajah
Caca. Dia bersikukuh, walau sudah tahu bagaimana kedua orang tua akan
meresponnya.
Papa dan mamanya menyimak rengekan anaknya. Mereka masih sibuk mengunyah,
sambil berpikir dan saling tatap.
“Nanti Caca takut tidak fokus ujian kalau Cici masih sakit, Pa, Ma.” Sekali
lagi Caca memohon dilengkapi dengan gesture tangannya.
Papa menarik napas panjang. “Baiklah. Nanti kalau libur sekolah kita ke
dokter hewan. Syaratnya, nilai ujian nanti harus bagus! Kalau tidak kamu harus
ikut les tambahan!”
Keajaiban apa ini? Permintaanku diterima. Caca menangguk.
Setelah makan malam keluarga bubar, Caca mendekat ke Cici, menyampaikan
kabar tadi dengan antusias, “Hai, Cici, ada kabar baik buat kamu, papa setuju
lho bawa kamu ke dokter. Wah, akhirnya ya .... Tenang kamu pasti sembuh.”
Tangan mungil Caca meraih kepala Cici dengan mengelus bulu-bulunya.
Meong ...
***
Libur akhir pekan datang. Pagi-pagi
sekali mereka bersiap-siap. Seperti janji yang telah terucap, keluarga kecil
itu berangkat ke dokter; papa, mama, anak kandung mereka Caca, untuk mengobati
saudara tirinya yang tak teranggap: Cici si kucing oren.
Caca membayangkan seperti apa
rupanya klinik hewan itu. Biasanya Caca bisa melihat banyak pasien duduk untuk
mengantre pemeriksaan, pembayaran, juga pengambilan obat kalau di rumah sakit,
puskesmas, atau klinik. Sekarang seperti apa? Imajinasinya melayang
membayangkan bahwa antrean di klinik hewan mungkin tidak jauh berbeda, hanya
pasiennya saja yang tidak sama.
Klinik terlihat. Tergantung di pintunya
tulisan ‘buka’. Kaca bening hampir meliputi seluruh dinding, menyisakan sedikit
bagian dengan cat biru. Papa yang pertama kali masuk disusul Caca yang menjinjing
kandang kucing dan mama di belakangnya. Ternyata klinik itu sepi, tidak ada
antrean seperti yang dibayangkan Caca. Mungkin ‘pasien-pasien’ milik klinik ini
memang jarang dan tidak sebanyak pasien-pasien rumah sakit umum.
“Silakan, ada yang bisa kami bantu?”
Seorang resepsionis menyambut.
Papa langsung meminta Caca
menjelaskan. Gadis kecil berambut poni menunjukkan kucing malang yang sedang
merana di kandang. “Cicinya sakit, harus diobati ....”
“Wah, sakit ya .... Kalau begitu,
langsung dibawa masuk saja, Dek, ke ruang dokter.” Resepsionis itu mengantarkan
Caca dan keluarga. “Mari kesini.”
Ada beberapa ruangan berjejer. Ruang
konsultasi, ruang operasi, ruangan apotek grooming, ruangan hotel dan
rawat inap ‘pasien’ – berupa kandang-kandang steril, ruang gawat darurat, sampai
laboratorium. Resepsionis mengarahkan
Caca dan keluarga ke ruang konsultasi. Ruangan itu seluas 5x6 meter. Isi
perabotan di dalamnya tidak jauh berbeda dengan ruang perawatan pasien
‘manusia’. Meja dokter penuh dengan kertas-kertas catatan, lemari obat-obat dan
meja periksa telah menunggu mereka.
“Mari duduk,” ucap seorang laki-laki
muda berkaca mata. Tidak salah lagi, dia adalah dokter di sini. Pakaian dan
masker yang ia kenakan mempertegas identitasnya. Caca langsung menyerahkan
kandang kucing kesayangannya. “Wah, lucu sekali kucingnya, siapa namanya?”
lanjut si dokter.
“Cici.”
“Kenapa kucingnya?”
Caca menelan ludah, “Badannya panas,
Dok, terus dia tidak bisa jalan ke mana-mana, sepertinya kakinya bengkak.
Setiap hari Cici diam terus, padahal biasanya suka lari-lari, suka mainan sama
aku, Dok.”
“Ayo dibawa kucingnya.” Setelah
menulis satu dua hal, sang dokter beranjak dari mejanya menuju meja periksa.
Caca ikut sambil membawa Cici ke arah dokter. Ditaruhnya ‘rumah’ kucing
itu, sang dokter mengenakan sarung tangan dan pelan-pelan mengeluarkan Cici. Papa
dan mama menetap di depan meja dokter sambil terlihat mengobrolkan satu dua
hal.
Kucing oren itu diam saja, tidak banyak bergerak, seperti memang sudah
tidak punya semangat hidup. Mengeong lemas satu dua kali, membiarkan tangan
dokter mengecek sekujur tubuhnya. Matanya, mulutnya, tubuhnya, sampai kakinya. Mata
dokter jeli mengecek kaki Cici dengan jeli. Di tengah proses pemeriksaan itu,
Caca mengingat momen pertama kali dia bertemu dengan Cici.
Delapan tahun sudah berlalu. Tubuh mungil Caca basah terkena satu-dua
ciprat hujan saat itu. Mama awalnya mengajak Caca berbelanja keperluan ke
pasar. Sayang hujan turun deras dan mengharuskan mereka menepi ke sebuah latar
toko. Seiring dengan suara melodi pertemuan hujan dan tanah, Caca seperti
mendengar suara yang lain di tengah gemercik rintik. Caca umur lima tahun tahun
menoleh ke sana ke mari mencari-cari suara yang terdengar seperti cicitan itu. Beberapa
menit berlalu, hujan reda, suara hujan pudar, suara cicitan itu semakin jelas.
Caca mencari suara itu, seperti ada dorongan di dadanya, ada rasa penasaran di
kepalanya. Seperti suara tikus, tapi berbeda.
Suara itu semakin jelas. Caca menghiraukan mamanya yang menahannya dan
menyuruhnya jangan pergi sendiri. Entah kenapa dia penasaran sekali dengan
suara itu. Sumber suara ditemukan di sebuah sudut pasar yang tidak jauh dari
tempatnya. Tergeletak di hadapannya sebuah kardus lusuh yang kalah oleh basah,
termakan tetesan hujan. Tidak salah lagi dari dalam situlah suara berasal.
Caca takut, tapi rasa penasarannya
mengalahkan semua takut. Dia jongkok untuk memastikan, dibukanya kardus tadi. Ternyata
ada seekor kucing kecil yang basah kuyup dan merintih-rintih, badannya masih
terlalu kecil, suaranya belum sempurna layaknya kucing pada umumnya, dia
mencicit. Pupil mata Caca membesar. Dibuatnya jatuh cinta oleh anak kucing itu.
Sigap, tangan mungil perempuan kecul langsung
meraih tubuh kecil kucing itu. Rasa empati dalam dirinya tumbuh alami – memang
seharusnya selalu seperti itu.
“HEH, APA ITU? JANGAN DIPEGANG!”
teriak mama Caca dari arah belakangnya.
Caca terkaget, tapi dia sudah terlanjur
jatuh hati ke kucing di hadapannya. Caca memohon kepada mamanya untuk boleh
membawa pulang kucing itu, walaupun pasti jawabannya tidak boleh. Mamanya
membentak-bentak melarang. Berkali-kali Caca memohon, ditambah rengekan, aksi
mogok pulang, dan antraksi reog. Setelah negosiasi panjang, mamanya akhirnya
mengiyakan tidak mau lagi menggelar panggung drama berkepanjangan. Akhirnya
kucing itu dibawa pulang.
Lihatlah kucing kecil ini, bagi Caca
dia tidak lain adalah dirinya. Sama-sama kecil, sama-sama basah, dan sama-sama
kesepian. Hangat rasa hati Caca saat membawanya di tangan, walau aslinya badan
mereka berdua sedang basah. Akhirnya, dia punya teman, dia punya saudara yang
bisa dia sayangi – hal yang tidak dipunyai Caca selama ini. Karena suara
cicitannya, Caca memutuskan untuk menyematkan nama pada kucing ini, nama yang
tidak jauh dari namanya sendiri. Saudara baru ini diberinya nama: Cici.
Lihatlah kucing kesayangan ini, bagi Caca dia adalah segalanya. Caca besar
bersama Cici. Dari sejak badan mereka berdua masih kecil, sampai tumbuh besar.
Dulu Cici sangat pecicilan. Bisa menjadi teman bermain Caca. Seiring bertambah
umur, seiring bertambah berat suara ngeong-nya, Cici mulai menjadi
pendiam, tidak segesit sebelumnya.
Lihatlah kucing yang sudah tidak kecil ini, kini terbaring sakit di atas
meja periksa. Lumpuh kakinya sampai untuk pergi membuang hajat saja tidak bisa.
Badannya panas, matanya lemas. Caca yang menyaksikannya dirundung khawatir atas
banyak kemungkinan. Dia sudah cukup besar untuk membaca kemungkinan terburuk. Memang
berapa panjang umur kucing?
“Kamu pasti sembuh, kan, Ci?” Caca menyuratkan suara kasihnya kepada Cici
ketika dia masih terbaring diperiksa. “Ayo, kamu bisa sembuh, kita nanti main
bareng-bareng lagi. Kalau kamu kenapa-napa aku main sama siapa, Ci?”
Meong .... Cici menjawab, matanya melirik ke Caca. Tidak
ada yang pernah tahu apakah itu benar-benar jawaban untuk Caca, atau itu hanya
suara alami saja. Tapi setiap kali mendengar itu, Caca merasa punya teman, dan
kali ini kaca-kaca bening kembali muncul di matanya.
“Cici-nya sakit sejak kapan?” tanya dokter kepada Caca.
“Satu minggu yang lalu, dok. Badannya panas, dan juga ... tidak bisa
jalan.” Mata Caca semakin berair. “Cici baik-baik saja kan, dok? Pasti bisa
sembuh?”
“Iya, semoga ya.”
Pemeriksaan selesai. Dokter memasukkan kembali Cici ke ‘mahligai’-nya.
Mengajak Caca kembali ke meja dokter untuk menyampaikan hasil. Di hadapan kedua
orang tua Caca dan Cici, dokter menjelaskan banyak hal. Caca berusaha serius memahami,
walau banyak yang tidak paham. Mungkin orang dewasa sengaja menggunakan bahasa
yang tinggi supaya tidak dipahami anak kecil.
“Dok, kucing anak saya ini kan seperti penjelasan dokter barusan lumayan
sulit pengobatannya. Sudah lumayan parah. Pastinya juga tersiksa kalau
terus-terusan seperti ini. Mungkin untuk meringankan, dan menyudahi rasa sakit
kucingnya, walau mahal dan berat tapi bagaimana dengan eutanasia?” papar Papa
Caca.
Dokter termangu. Beberapa detik senyap. “Untuk itu ....”
“Kami tidak masalah kalau harus membayar mahal, mungkin ini jalan keluar
supaya si kucing tidak terus-terusan tersiksa, bukan?”
“Bisa dipikirkan lagi, Pak, kita lihat juga perkembangannya bagaimana
nanti. Untuk sekarang saya berikan obat dulu saja, semoga ada dampak baik.”
Dokter memberikan resep obat untuk diambil di apotek.
“Kalau semakin parah atau kenapa-napa, dokter bisa kami minta datang ke rumah,
kan?” Sekarang mama yang bertanya.
“Kalau mendesak bisa, Bu. Ini nomor
saya.” Dokter menyerahkan kartu namanya.
Caca berbinar-binar, belum pernah dia melihat papa dan mamanya sepeduli itu
pada kucingnya. Dia senang sekali. Bisa sedikit meringankan rasa khawatirnya
pada Cici. Caca lega dan tersenyum tipis. Tapi satu yang dia bingung, kenapa orang
dewasa ini selalu menggunakan bahasa yang asing, atau mungkin supaya tidak
dipahami anak kecil. Eutanasia itu apa? Pengobatan seperti apa? Ah, apapun
itu, semoga Cici bisa sembuh.
***
Untaian jam menenun hari, dan lembaran-lembaran hari menyatu menjelma
pekan-pekan. Waktu ujian datang. Meski Cici belum pulih dan hampir terlihat
tidak ada perkembangan, tapi janji Caca untuk mendapatkan nilai bagus harus dia
penuhi. Caca harus memenuhi ekspektasi orang tuanya. Setiap hari dia harus
berperang dengan rasa malasnya, kekhawatirannya, dan semua pikirannya untuk
fokus belajar. Lumayan memusingkan.
Hiburan Caca di masa-masa ini ada dua; pertama menggambar coretan lamanya,
walau dia tidak jadi ikut lomba dia masih tetap mau menyelesaikan gambar itu
dan menunjukkannya ke orang tua; kedua bermain dengan cici, apalagi? Walau Cici
cuma bisa tiduran di kandang, tapi cukup mendengar ngeong-nya saja Caca bisa
terhibur. Setiap hari Caca tidak pernah lupa untuk memberikan Cici obat melalui
larutan minum. Dia telaten mengurus Cici yang tidak bisa berjalan, dari makan,
minum, tidak luput buang air. Waktu berjalan, dan Caca tidak mendapati ada
perkembangan di kesehatan cici, sedih memang, tapi dia bisa apa selain memberi
obat dan mengayomi. Ya, dia berusaha tenang dan santai, karena kalaupun Cici tidak
kunjung sembuh dengan obat biasa, masih ada cara ampuh yang disampaikan papanya
untuk menyembuhkan kucing kesayangannya itu, yaitu eutanasia, entah apapun itu
artinya.
Pekan dan pekan pun merajut bulan. Setelah timbul tenggelam Caca dalam
pertempuran, ujian sekolah berlalu. Hari ini adalah hari yang menegangkan. Hari
yang pasti akan datang juga. Caca duduk di kelas dengan jantung yang berdebar
dengan sangat kencang, wali kelasnya akan mengumumkan hasil ujian yang lalu. Bagaimana
ya hasil nilaiku?
Satu persatu siswa dipanggil. Urutan pemanggilan diatur oleh wali kelas sesuai
ranking. Siswa-siswa yang paling unggul maju lebih awal. Caca tidak berharap
banyak, tidak harus ranking, yang penting nilainya tidak jelek, sudah cukup. Satu,
dua, tiga. Teman sekelasnya berlalu lintas di sekitarnya. Maju mengambil rapor
nilai, dan kembali ke bangku. Namanya tidak juga disebut. Pikirannya pun
mendung. Di tengah-tengah, Caca masih menunggu dengan hati yang macet. Buruk
sekali, sudah hampir satu kelas sudah dipanggil, hingga akhirnya dia harus
menerima kenyataan kalau nilainya paling rendah di kelas. Nilainya sangat
rendah membuat rata-rata kelasnya turun. Dia yang terakhir maju ke depan kelas,
bayangkan saja seberapa intimidatif sorot mata semua orang yang ada di kelas
saat dia maju.
Kelas bubar, waktunya semua kembali. Dengan kepala tertunduk dia melangkah keluar
kelas. Tidak sabar dia ingin pulang bertemu Cici, atau tidur sajalah di rumah,
apapun asal tidak menyedihkan. Meski dia tahu yang akan menyambutnya adalah
amarah dari orang tuanya. Suasana semesta tidak senada dengan perasaanya, siang
itu hari cerah, tapi sanubari Caca gelap gulita karena badai. Di tengah badai
itu, bencana puting beliung datang menambah kekacauan.
“Padahal pelajarannya masih mudah, nilainya rendah banget sih. Buat nilai
kelas turun saja. Dasar pemalas!” Seseorang mengumpatnya dari belakang.
Terdengar satu dua gunjingan menyusul menancapkan sembilu ke hatinya. Getar
dada Caca mengirimkan duka ke matanya. Ditahannya deras air mata, dia tidak
sanggup menoleh ke belakang. Dia langsung melangkah pulang ke tempat yang
mungin tidak bisa disebut rumah. Apa ada lagi yang lebih buruk dari ini?
Semoga ini yang terakhir.
Caca tidak mungkin menutupi semua ini. Pasti mama dan papanya bagaimana pun
akan tahu. Caca harus menerima konsekuensi dari ‘rasa malas’-nya, dia harus
ikut les tambahan. Setidaknya di rumah masih ada satu pelipur lara untuknya,
semoga begitu. Sesampainya di rumah, mama pasti akan marah-marah, Caca sudah
siap mendengarkan. Itu sebuah keniscayaan. Benar saja, baru beberapa langkah
masuk rumah, belum juga Caca mengabari kabar buruknya dari sekolah, mama sudah
berteriak dengan nada emosi, “CACA!!! KUCINGMU!!!”
Caca berlari sekencang mungkin ke arah suara mamanya, pikiran buruk
menghantuinya. Ternyata Cici ...
“Pokoknya kamu bersihkan kucingmu itu sama kandangnya! Mama tidak mau
bersihkan, menjijikkan. Kalau sampai begitu lagi awas saja ya!”
Caca hanya bisa terpatung. Ekspresi seperti apa memangnya yang bisa dia
ungkapkan setelah semua ini. Setelah mama pergi, Caca mendekat ke kucingnya.
Mereka saling tatap. Sudah kubilang jangan diulangi, Ci, nanti takut
ketahuan mama, kan? Melalui tatapannya Cici ingin mengungkapkan iba, dia
seperti ingin minta maaf sedalam-dalamnya. Tapi seperti biasa, Cici hanya bisa
mengeong. Meong ....
***
Normalnya setelah ujian para siswa
akan menikmati liburan, tapi tidak dengan Caca; dia justru harus mengenyam les
tambahan. Hukuman dari papa dan mama tidak bisa diganggu gugat. Setelah tahu
hasil ujian Caca, papa dan mamanya menceramahi anak semata wayangnya itu dengan
nada tinggi. Masih saja Caca berusaha tegar walau babak belur hatinya. Memang
aku harus kuat untuk bisa membanggakan orang tua!
Dari siang menuju sore, les-les itu diikutinya
dengan rajin. Mengusir semua awan hitam yang menghampiri pikiran dan
perasaannya. Rasa khawatir akan Cici yang tidak kunjung sembuh adalah yang
paling mengganggu, ditambah ada rasa takut kalau saat ditinggal kucing
kesayangannya itu akan mengulangi ‘kesalahannya’ dan ketahuan mama. Semua
rundungan dunia ini berat sekali bagi Caca.
Memang kegiatan les ini menyibukannya di waktu liburan, tapi tetap saja
waktu-waktu berjalan dengan lebih longgar. Dia jadi sering keluar rumah.
Gelisah akan Cici ingin diselesaikannya. Dia akhirnya memutuskan, seusai les
dia akan mencari tahu apa itu ‘eutanasia’. Hari-hari liburan tidak masalah
bukan kalau pergi ke warnet.
Warung internet, sebuah tempat yang menyediakan fasilitas bagi masyarakat
umum yang belum punya akses sendiri ke internet. Penggunaan komputer yang ada
di bilik-bilik warnet sebenarnya banyak peruntukkannya; untuk browsing, untuk
menonton video, untuk membaca artikel; tapi anak-anak seumuran Caca yang ke
sini lebih sering menyerahkan uangnya untuk bermain game. Itulah kenapa
tidak mungkin Caca diperbolehkan main ke tempat ini, haram sekali oleh orang
tuanya. Rasa penasaran Caca kuat mendorongnya, tidak masalah kalau uang sakunya
harus terpakai untuk ini. Eutanasia
itu apa sih?
Ini kali pertama Caca ke warnet, setelah
melewati beberapa momen canggung dan bingung, Caca sekarang sudah duduk di
depan komputer. Dia mencoba-coba banyak cara, hingga akhirnya dia menemukan
mesin pencarian. Dengan ‘sebelas jari’ dimasukkannya kata kunci itu huruf demi
huruf. Eutanasia. Mesin pencarian di layar memberikan jawaban.
Bayangkan saja bagaimana reaksi
Caca. Kebenaran ini membuatnya meledak tapi membeku di wakttu yang samanya, gemetar
jemarinya, matanya terbelalak tidak percaya, dan saat itu tidak ada yang bisa
menahan deras air matanya. Sayatan-sayatan di hatinya semakin menganga. Dia
memilih bangun dan segera pulang. Ternyata papa dan mama setega itu!
Ternyata mereka sekejam itu! Terny ...
Kali ini semesta mau senada dengan
perasaannya. Langit sedang murung, desau maruta hinggap dari telinga ke telinga,
kicau guruh menjelmakan atmosfer seperti akan runtuh. Biar saja langit runtuh,
bintang-bintang berguguran, bulan remuk, bahkan matahari sampai layu sekalipun
Caca tidak peduli. Caca bergegas pulang dan di pikirannya hanya satu. Dia
berlari-larian sambil membiarkan angin mengusap air matanya. Saat ini benak
Caca ramai oleh gambaran-gambaran buruk bahwa dia akan kehilangan satu-satunya
teman dalam hidupnya. Gerimis mulai ikut menangis.
Beberapa gang lagi dia sampai di
rumah. Sampai dia berpapasan dengan seorang lelaki dewasa berkacamata sedang
berjalan di bawah lindungan payung. Sosok yang tidak asing.
“Dokter?”
“Eh ... Dek Caca, ya?”
Dengan napas yang menderu dan mata
merah berkaca-kaca, walau suaranya tertahan, Caca memaksakan diri untuk
bertanya, “Dokter dari rumahku?”
Dokter itu menjawab dengan gugup, “I
... yyaa ....” Aneh sekali seorang dewasa dibuat gugup oleh anak kecil bukan?
“Dokter dipanggil orang tuaku?
Kenapa? Mengobati Cici? Bagaimana? Apa ada perkembangan, Dok?”
Pertanyaan-pertanyaan yang menggumpal itu akhirnya keluar, tidak ada lagi mulut
tersumpal.
“Memangnya kamu tidak diberi tahu
apa-apa?” Raut cemas tidak bisa ditutupi oleh wajah dokter hewan berkacamata
itu. Mendengar itu Caca langsung tahu apa yang terjadi. Tidak dihiraukannya
sang dokter, dia langsung berlari sejadi-jadinya. Sang dokter ikut bingung, dia
hanya melaksanakan permintaan, dan menerima bayaran.
Hujan turun deras, Caca sampai di
rumah dengan keadaan basah kuyup. Tidak peduli lagi peraturan rumah masalah
baju basah atau apalah, dia langsung masuk dengan krakatau yang meledak di
dadanya, dengan lahar merapi yang mendidih di kepalanya. Segera melangkah ke
tempat Cici, di sana ada mama yang sedang membereskan kandang dengan kain pel.
“Kok, kamu basah kuyup begitu
langsung masuk rumah, lihat lantainya jadi basah!” Sambutan hangat dari mama.
“Mama, Cici mana?”
“Ganti baju dulu sana!
“Cici ... Cici ... Cici ...!” Caca
memanggil-manggil sosok yang entah masih hidup atau tidak. Mengais-ngais
setetes harapan di tengah samudera kemungkinan.
“Kamu kok gak mau dengerin Mama,
Ya?”
“Cici di mana, Ma?” Caca abai pada
permintaan mamanya, pun mamanya seperti tidak mau menjelaskan dan mepedulikan
kalut hati anaknya. Meledaklah, meledak semua yang tertahan selama ini. “MAMA,
CICI DI MANA?!”
“KOK KAMU BERANI BENTAK MAMA!”
Di tengah drama ini, papa masuk
rumah dari pintu belakang. Celana papa dilipat, sandalnya dipenuhi tanah dan
air yang menjelma lumpur, dan cangkul kecil digenggam oleh tangannya. Terjawab
sudah, terjawab sudah semuanya. Air mata Caca berlinang-linang.
“Papa dari mana? Habis mencangkul tanah
untuk apa, Pa?”
“Papa jelasin ya, kamu harus paham.
Jadi ....”
“KEJAM! PEMBUNUH!!!” Tepat di akhir
teriakan itu Caca berlari sekencang mungkin ke arah kebun belakang rumah tempat
papanya datang.
Hujan semakin deras. Caca
mengelilingi kebun, dengan terisak memanggil-manggil Cici, walau tahu panggilan
itu tidak akan dibalas oleh ngeong-nya. Caca merintih saat hujan merintik. “Cici
... Cici ... Ci ... Ci ....”
Di dekat salah satu pohon, akhirnya ditemukan
sebuah gundukan tanah baru yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Tidak salah
lagi. Tidak salah lagi. Caca langsung mendekat dan tersimpuh di atas tanah
basah. Persetan dengan noda di bajunya, persetan dengan basah isi tasnya. Caca
menangis dan berteriak sejadi-jadinya. Hujan kesulitan menandingi deras air
mata Caca, guntur kesusahan menandingi pekik teriakannya. Semuanya seperti
bersahut-sahutan, sampai sulit membedakan mana yang linang air mata, mana yang
tetesan hujan; entah mana yang jeritan mana yang petir. Bahkan besok jika hari
kembali cerah, matahari mungkin tidak terbit lagi di gelap hati Caca. Dia ambil
secarik kertas dari tasnya. Adalah kertas dengan gambar orang tuanya bersama
dia di tengah mereka menggunakan pakaian dokter. Gambar itu seharusnya penuh
warna, tapi sedih yang melangit menjadikannya kini luntur, kini lusuh. Gambar
yang dia usahakan dengan kerja keras itu kini dia sobek-sobek hingga menjadi
sama seperti hatinya.
Diusap-usapnya tanah menggunduk itu.
Dengan telapak tangannya, dengan pipinya, dengan dahinya. Di setiap tetesan
hujan yang mengenai kulitnya, muncul kilasan-kilasan adegan bersama antara
mereka berdua. Saat bermain, saat berlari-larian, saat hanya duduk saling
menemani, mengobrol dengan dua bahasa yang tidak saling dimengerti, tapi mereka
saling memahami lewat sorotan mata. Kilasan-kilasan momen bersama dari kecil
bersama, saat Caca masih belum sekolah, saat Cici masih sangat kecil dan
mencicit. Sekarang semuanya hanya bayang-bayang fana. Mereka bahkan tidak
sempat berpamitan. Hujan menjadi saksi atas pertemuan dan perpisahan mereka.
Caca mulai bergumam, dengan
tersengal-sengal dia berdialog dengan tanah, dia mengobrol dengan yang sudah mati,
“Cici ... aku senang kok, tapi aku juga sedih. Aku senang, kan kamu sudah tidak
sakit lagi, kamu tidak tersiksa lagi, kamu tidak harus disalah-salahkan mama
lagi. Kamu masih hidup kok, cuma tubuh kamu saja yang sudah ... mati, tapi
tenang kamu buatku akan selalu di hati.
“Aku sedih, aku selalu kesepian dan tidak punya teman, Ci. Aku harus
bagaimana? Kalau sedih, putus asa, kecewa, sakit hati aku besok harus ke siapa?
Cici, kamu tahu? Yang sebenarnya dibunuh itu aku. Bahkan dengan cara yang lebih
kejam. Jantungku memang masih berdetak, nadiku masih berdenyut, darahku masih
mengalir, tubuhku sepenuhnya masih hidup, tapi oleh semua yang terjadi, setiap
asa di jiwakulah yang telah sempurna disuntik mati[1].”
2 Komentar
Mantap king
BalasHapusMantapppp, kalau aku jadi orang tua aku ngga akan kaya ortunya Caca
BalasHapus