– untung saja – masih elok di mataku
Di bulu mata dan alisku
Malah merahmu terbenam di mata kananku
Berurat dan berair
(biarlah ini tidak
seberapa dibanding
perjuangan para
pahlawan)
Yang kiri masih menahan bersihnya si putih
Nurani menggeliat tidak karuan
Tapi mulut masih berusaha berdzikir
merapal-rapal harapan
apakah
ada?
Kutulis di tengah panas gurun pasir
Kepada angin kutitipkan surat cintaku untukmu
Semoga kata-kata penuh harap itu tidak diculik perompak
Somalia
Semoga kalimat rindu itu tidak dicuri ikan di Samudera
Hindia
Semoga doa-doaku tidak hilang arah ke Laut Mediterania
Hanya kepada tanah itu sorot mata sang kurir tertuju
Prihatinku,
Oh khawatirku
Dirimu masih layak menjadi tempat pulang, bukan?
Entahlah, aku hanya menulis resah
Dari sampah di hati yang kian gelisah
Apakah istana megah barumu adalah villa yang hanya untuk
orang-orang kaya
Yang dinding dan tiangnya seharga jerit ibu-ibu yang gontai
mengurus anaknya
Yang lantai marmernya senilai memar di punggung dan kantung
mata para bapak
Pongah sembilan naga
Membuat Garuda jadi berkotek?
Pancasila-ku apakah samudera di atas daun talas?
Apakah istana barumu candi keangkuhan?
Kelaparan merobek lambung rakyat miskin
Sekolah-sekolah mencipta pengemis
Universitas membentuk penjilat
Jeruji kerangkeng koruptor menipis seiring detik
Tirani semakin berani
Pejuang semakin terbuang
Kepala kritis berhadapan dengan tatapan bengis
Maksiat hati pantang terobati
Kejayaan masa depan hanyalah narasi tanpa isi
Puisi yang bait-baitnya hanya imajinasi
Kebenaran dikucilkan di sudut ruangan kedap suara
Kebodohan dirawat, diternak, dikembangbiakkan
Rasa malu pun dikandung bulu cenderawasih
yang menghilang perlahan dari mata manusia
Kecewa merundung hijau hutan-hutan
yang dibabat oleh gergaji ambisi
Sakit hati menetes di dalam air mata ibu pertiwi
Alih-alih ke dokter, engkau lebih memilih ke perias
Borok dan koreng yang mengakar di kulitmu
Mau sampai kapan terus kaututupi
dengan bedak kepalsuan?
Yang merona
tapi mematikan
“Kau
angkuh,” ucapku.
Sejarah
tidak dapat menyangkalku.
Di manakah emasnya masa depanmu?
Di hati pemuda yang nilai tanggung jawab dan harga diri baginya
hanyalah angan-angan
Di mata pemuda yang tontonannya adalah penyesatan dan
penyesatan?
Di tangan pemuda yang tidak mau menyentuh buku?
Rela dijajah oleh kebodohan diri sendiri
Penjajahan gaib, lebih sulit raib!
Merebah dan mengumpat
Bergunjing suka-suka
Sialan! Aku berpikir terlalu keras
Menuju Indonesia Cemas!
Sialan! Kepala bergidik tidak tahan lagi!
Menuju Indonesia Gemas
Sialan! Tubuhku lunglai tidak berdaya apa-apa
Menuju Indonesia Lemas!
Sampai datang sebuah perang,
semuanya baru akan terbangun
buaian nyaman
sebuah zaman ada harganya
bukan datang cuma-cuma
Mungkin harapan masih ada – walaupun kecil
Sekecil cetakan huruf-huruf di buku bacaanku
0 Komentar