Bagaimana kisah awal Bang Onim bisa mendapatkan akses untuk datang
dan berjuang di Palestina?
“Sebelum berangkat ke Palestina ini saya bergabung ke lembaga
kemanusiaan medis namanya ‘Mer-C’. Saya bergabung di situ sejak tahun 2000-2012
sebagai relawan. Saya juga salah satu mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof.
Dr. HAMKA, sarjana ekonomi Islam dan perbankan syariah. Pada saat terjadi
peperangan tahun 2008, ada tim dari ‘MER-C’ yang berangkat ke Gaza. Gelombang
pertama berhasil masuk ke Gaza, dan saya waktu itu gelombang kedua, akhir tahun
2008 saya ke Gaza, pergantian tahun ke 2009 saya masih di Gaza. Ini pertama
kali saya ke jalur Gaza. Salah satu misi waktu itu yang kami jalankan adalah
pembangunan rumah sakit Indonesia. Saya salah satu yang mengurus tanah wakaf
untuk pembangunan rumah sakit Indonesia. Sampai ke tingkat proses tender
kontraktor saya masih di sana, progres pembangunan tahap pertama saya berdana
di sana.
Sebelum itu sebenarnya saya juga pernah ikut yang namanya Freedom
Flotillah atau Usthulu-l-Huriyyah (sebagai perwakilan MER-C),
yang berangkat dari Turki dengan kapal Mavi Marmara, tahun 2010, bulan Mei. Saya
pernah ikut di kapal Mavi Marmara yang pada akhirnya kapal kami dibajak, kami
diikat oleh Israel, kami ditodong, dan dijebloskan ke dalam penjara Israel. Itu
bulan Mei 2010, itu masih bujang, 2 tahun setelah kedatangan pertama. Dengan
dijebloskan ke dalam penjara tentunya tidak ada rasa patah semangat atau
mundur. Kami tetap berjuang. Itulah (kisah) cikal bakal saya masuk ke jalur
Gaza.
Setelah pembangunan rumah sakit sudah berjalan, progresnya sudah
bagus, saya mengundurkan diri dan (setelah itu) konsennya ke jurnalistik. Jadi
saya sebenarnya background-nya bukan seorang jurnalis, tapi – semuanya
atas izin Allah SWT – saya belajar otodidak untuk mempelajari tentang dunia
jurnalis; menulis berita, menulis naskah, live on tab, satu ke tingkat –
Alhamdulillah – bisa melakukan live secara langsung di beberapa televisi
termasuk di TVOne. Kenapa Bang Onim bisa mempelajari tentang dunia jurnalis
yang padahal sebelumnya bukan (memiliki) background jurnalis? Sebenarnya
ini situasi Gaza yang meminta saya, situasi Gaza memaksa saya untuk merubah
karakter dari Bang Onim yang tadinya tidak memahami (bagaimana) memegang
kamera, tidak tahu menulis berita dan naskah pada akhirnya bisa menulis naskah
dan – Alhamdulillah – bisa melewati pengalaman baru tersebut. Intinya awal
menginjakkan kaki itu 2008 akhir, setelah itu balik (2009). Datang lagi 2010.
Nah, 2010 itulah mulai benar-benar stay di sana, sampai ke tingkat jadi
ketua cabang Mer-C, sampai menjadi tim inti pembangunan rumah sakit.”
Bagaimana lingkungan pendidikan anak-anak di Gaza, khususnya pendidikan
Al-Qur’an?
“Saya sendiri awalnya jika tidak terjadi peperangan, maka saya
lebih mempertahankan anak-anak saya itu sekolah di jalur Gaza, tidak akan dibawa
keluar. Kenapa? Karena kekuatan dari pendidikan yang ditanamkan oleh tarbiyah
wa ta’lim di Gaza itu lebih mengedepankan ta’lim ad-diniyyah. Ta’lim
ad-diniyyah ini kan mencakup di dalamnya Tahfizhu-l-Qur’an. Para
penghafal Al-Qur’an. Kenapa tarbiyah wa talim itu lebih mengedepankan
agar supaya para murid diarahkan untuk menjadi penghafal Al-Qur’an? Karena
dengan mereka menjadi penghafal Al-Qur’an, semua ilmu yang mereka butuhkan
nanti di kursi perkuliahan atau mungkin di taujihi, ilmu tersebut itu
sudah mereka dapatkan di Al-Qur’an. Jadi, 99% dari penghafal Al-Qur’an itu
ternyata semuanya bisa berhasil di bidang pendidikan dan juga di bidang bisnis,
itu ternyata para penghafal al-Qur’an karena mereka mendapatkan ilmu. Contohnya
kedokteran, itu mereka tentunya menggali tentang isi yang terkandung dalam ayat
suci Al-Quran, menambah pengetahuan mereka yang pada akhirnya masuk universitas
kedokteran. Wah, itu wawasannya mereka luar biasa, karena memang di sana itu
ditekankan agar supaya anak-anak murid itu harus menjadi penghafal Al-Qur’an.
Mayoritas dari rumah-rumah yang di Gaza, keluaran yang ada di Gaza,
pasti ada satu orang dalam satu keluarga menjadi penghafal Al-Qur’an. Sudah
menjadi budaya. Karena mereka berpikir bahwa untuk mempertahankan Palestina,
untuk bisa menarik simpati atau bisa mengajak masyarakat muslimin di luar sana,
tentunya kita harus punya potensi, salah satu potensi tersebut (adalah) yang
kita dapatkan dari ayat Al-Quran tersebut. Dan juga kita dapat mempertahankan
Baitul Maqdis dan tanah Palestina, satu cara yang paling efektif yaitu
bagaimana caranya kita tetap menjaga interaksi dengan ayat suci Al-Qur’an.
Jadi, kekuatan mereka itu dengan menjaga komunikasi dan interaksi dengan ayat
suci al-Qur’an.
Pada saat terjadi peperangan tentunya mereka wajar panik dan juga
ketakutan, tapi dengan mereka melantunkan ayat suci al-quran, (hal itu) bisa
menekan kekhawatiran dan juga ketakutan tersebut. Jadi, Al-Qur’an ini sendiri
kan menjadi pengobat segala penyakit, itu yang memang dipertahankan oleh warga
Palestina di Gaza wabilkhusus para pejuang Palestina. Para pejuang Palestina
berjuang dengan mata tertutup di kantongnya selain magazine (peluru),
tentunya mereka juga mengantongi Al-Qur’an yang kecil itu. Saat mereka
berjaga-jaga – yang kita kenal dengan murabithin – sambil ada senter di
kepala mereka muraja’ah, membaca Al-Quran. Itu yang membuat penjajah ketar-ketir saat
ini, jadi kekuataan yang paling luar biasa itu bukan terletak pada alat yang
mereka produksi, tapi kekuatan yang mereka memiliki itu kuncinya (adalah)
karena mereka berinteraksi dengan ayat suci Al-Qur’an. Jadi memang ditekankan,
yang pada akhirnya luar biasa, daya ingatnya itu kuat banget. Menghafal
Al-Qur’an, tidak melupakan, jadi langusng tertanam sekaligus
mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.”
0 Komentar