Menjelang
pilpres kemarin, saat masa kampanye lebih tepatnya. Tersebar
postingan-postingan di sosial media yang memuat perkataan Kiai Hasan Abdullah
Sahal Pimpinan Pondok Gontor Ponorogo “Yang benar itu belum tentu menang. Yang
menang itu belum tentu benar. Maka pilihlah yang benar karena hisabnya akan
lebih ringan di akhirat nanti.”
Pernyataan
Kiai Hasan di atas memang ditujukan dan erat kaitannya dengan pilpres. Namun
jika boleh menggunakan kaidah usul fikih al-‘ibroh bi ‘umumil al-lafdzi laa
bi khususi as-sabab, dawuh beliau mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar
urusan pilpres.
Saya mengartikan menang di sini bukanlah sekedar kemenangan dalam
pilpres, tapi lebih dari itu, saya mengartikan menang dengan keberhasilan.
Karena pada hakikatnya, seseorang dikatakan menang karena dia berhasil
memperjuangkan harapannya, dalam konteks pilpres tentu yang dimaksud menang
adalah berhasil menjadi presiden.
Begitu juga dengan kata “memilih” yang tidak saya artikan sekedar
mencoblos paslon tertentu, tapi saya mengartikan memilih sebagai berjuang atau
sikap idealis. Tersebab, seseorang mendukung dan mencoblos paslon tertentu menunjukan bahwa dirinya berjuang untuk
paslon tersebut agar bisa menang dan maju menjadi presiden.
Dengan kata lain, saya mengartikan perkataan Kiai Hasan “Pilih yang
benar bukan sekedar menang” dengan “Tetaplah memperjuangkan kebenaran, walaupun
kemungkinan kecil kamu akan berhasil mewujudkannya.” Pemaknaan ini, saya rasa
sangat relevan dengan keadaan dunia zaman sekarang.
Karena pada hakikatnya, berpihak kepada kebenaran bukan hanya sekedar
untuk mewujudkan apa yang diperjuangkan. Lebih dari itu, memperjuangkan
kebenaran menunjukan keberpihakan kita kepadanya, sehingga di hari kiamat
nanti, Allah akan mencatat kita sebagai pejuang kebenaran.
Seorang aktivis lingkungan yang sadar bahwa penggunaan plastik sangat
merusak alam akan bersiteguh tidak menggunakan plastik atau menguranginya.
Walau dia sadar, bahwa perbuatannya tidak akan berdampak banyak jika tidak ada
kesadaran dari mayoritas masyarakat, sedangkan untuk menyadarkan mayoritas
masyarakat membutuhkan waktu yang tidak singkat. Saya juga teringat bapak saya
yang teguh pendiriannya untuk tidak
menyogok saat membuat SIM, walau saya yakin betul, apa yang dilakukannya tidak
akan menghilangkan budaya sogok-menyogok SIM jika tidak diiringi tindakan tegas
dari pemerintah dan juga kesadaran dari oknum anggota kepolisian.
Tapi semua sikap idealis yang mereka lakukan membuat dunia tahu di
mana mereka berpihak. Ini selaras dengan
kisah Nabi Ibrahim saat dibakar oleh Raja Namrud yang dibawakah oleh Kiai Said
Aqil saat menjelaskan keberpihakannya pada paslon tertentu walaupun tahu
dirinya bukan siapa-siapa dan tidak akan berpengaruh banyak.
Saat Nabi Ibrahim dibakar oleh Raja Namrud, semua binatang baik yang
besar maupun kecil meniupkan api tersebut guna memadamkannya. Termasuk di
dalamnya semut, semut pun ditanya oleh binatang-binatang besar “Mengapa kamu
ikut memadamkan api, padahal dirimu tahu tiupanmu tidak berarti apa-apa” Semut
pun menjawab “Saya tahu tiupan saya tidak ada artinya, tapi untuk menunjukan
bahwa saya berada di pihak Nabi Ibrahim.”
Walhasil, saya ingin mengajak pembaca agar jangan putus asa dan berhenti
untuk memperjuangkan kebenaran yang sedang dilakukan. Karena pada hakikatnya,
perjuangan kebenaran yang dilakukan akan menunjukan bahwasanya diri kita masuk
dalam barisan kebenaran.
0 Komentar