Namaku Hidayat, mahasiswa baru Al-Azhar. Aku ingin
menceritakan sesuatu. Ceritaku tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin berbagi
sebuah pelajaran yang kudapatkan di hari pertamaku masuk kuliah.
***
Bulan Oktober di Kairo adalah masa transisi antara
musim panas dan musim dingin. Sinar panas yang mengintimidasi perlahan
menghilang, diganti dengan angin lembut penuh kesejukan. Selain hawa dan suhu, dinamika
para mahasiswa juga berganti. Masa liburan telah usai, diganti dengan masa
perkuliahan di kampus.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk kuliah. Kegembiraan
di hatiku tidak bisa tergambarkan. Setelah sekian lama, harapanku tercapai
juga. Teringat
jelas suara ustadzku di pesantren yang menceritakan berbagai hal seputar
Al-Azhar. Sekarang, siapa sangka aku sudah ada di dalam lingkungannya;
melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri, bahkan menjadi bagian
darinya. Nasehat-nasehatnya yang dia sampaikan sebelum aku berangkat juga
kembali membanjiri ingatanku. Senang sekali. Tanpa disadari, karena saking
senangnya, dari apartemen sampai gerbang kuliah aku meringis terus,
senyum-senyum sendiri. Senyum terus mengembang hingga aku tiba di gerbang
kampus dan seseorang memanggilku.
“Oi, Dayat!” Seseorang memanggilku dari jauh. Suaranya
familiar. Kupincingkan mataku, ternyata itu Ilham. Dia adalah temanku sejak di
pesantren. Sekarang kami kembali mengenyam pendidikan di bangku yang sama di
Al-Azhar, di fakultas Ushuluddin.
“Yoi, bro. Gimana, semangat hari pertama kuliah?”
tanyaku. Kami bersalaman.
“Musta’id Insyallah, wa anta?” Ilham menyambutku dengan Bahasa Arabnya. Katanya dia
siap, disambung dia menanyakan apakah aku siap juga.
“Siap, dong. Wah, ada apa ini? Ngomong sama aku saja
pakai Bahasa Arab kamu,” ujarku sambil bergurau. Sebagai lulusan pesantren,
Bahasa Arab pastilah menjadi bahasa kedua kami. Bahasa ini tidak mampu lepas
dari kehidupan para penuntut ilmu agama seperti kami.
“Kacau kamu, Yat. Kita ini sekarang mahasiswa di
kampus internasional. Masa ngomongnya pakai Bahasa Indonesia terus. Harus
latihan, lah, biar terbiasa. Jangan lupa nasehat para asatidz dulu.”
“Hahaha…,” balasku. Aku tertawa saja.
Ilham tiba-tiba menyengir. “Dayat …, Dayat …, jangan
bilang kamu belum mandi?”
“Hei! Ngawur kamu. Sudah, lah, pasti.” Basa-basi Ilham
tidak lucu sama sekali.
“Udah mandi, tapi kok …,” Ilham menyisir pandangannya
kepada penampilanku. Dia setengah tertawa. Aku paham maksudnya, dia
mengomentari tampilanku yang terkesan semrawutan.
“Aduh, tidak penting
sekali, sih. Kok malah
jadi bahas penampilanku. Ayo cepat masuk kuliah. Aku sudah tidak sabar.”
Kami pun melangkah ke gerbang dengan gembira. Aku terus meringis saking antusiasnya, dan
Ilham nyengar-nyengir sendiri melihat penampilanku. Dasar Ilham, lihat
penampilannya juga sama saja kacau balau, tapi sok mengomentariku. Biarlah kami
sudah sahabat, sudah biasa.
Masuk gerbang kampus. Kami masuk lewat gerbang
belakang, gerbang terdekat dari tempat tinggal kami. Pandanganku menyapu
sekitar. Kulihat mahasiswa-mahasiswa datang berangsur-angsur. Wajah-wajah yang
jarang sekali kulihat. Ada yang berhidung mancung; berjenggot tebal; ada juga
yang wajahnya dipenuhi brewok. Ada yang berkulit putih sekali, ada yang gelap,
ada juga yang coklat khas asia tenggara. Pakaian yang disandang juga
bermacam-macam sekali. Dari sepatu, celana, baju, hingga penutup kepala.
Semuanya menggambarkan berbagai macam latar belakang mahasiswa-mahasiswa yang
berkuliah di Al-Azhar dari seluruh penjuru dunia.
Penjaga gerbang memeriksa barang bawaanku dan Ilham.
Penjaga ini melaksanakan tugasnya sambil mengobrol dengan beberapa karibnya
dengan dialek Mesir yang belum terlalu kupahami. Yang jelas dialek mereka bukan
Bahasa Arab yang sudah kukuasai.
Gedung-gedung fakultas
menyambutku. Semuanya serba coklat, khas bangunan di Mesir. Di dekat gerbang,
terdapat kafetaria. Tulisan-tulisan di plang, spanduk, dan banner semuanya
berbahasa Arab. Kulihat di sana banyak sekali mahasiswa yang mampir untuk
sekedar minum kopi atau bahkan untuk sarapan. Wajah-wajah dari berbagai ras yang baru bagi mataku menghiasi kampus. Bangku-bangku kayu tersedia di kanan dan kiri jalan. Gedung fakultas Ushuluddin kutuju. Letaknya di sisi
kiri setelah kafetaria kalau masuk dari gerbang belakang sepertiku barusan.
Menemukan gedung fakultas mudah saja, tapi kelasnya di mana? Hari pertama
masuk kuliah, pertama masuk ke gedung ini, maklum. “Ke mana kita?” tanyaku.
“Sebentar, kelas kita di mana ya
...?” Ilham menggulir-gulir layar ponselnya, mencari informasi dari Whatsapp.
“Lama sekali,” protesku.
“Sabar, kamu juga sama-sama tidak
tahu kan?” Ilham berkelit.
“Tanya saja,” ucapku.
“Kamu saja yang tanya, kalau mau.”
Kuambil inisiatif, kupanggil seseorang yang sedang lewat di lorong gedung. Mahasiswa
ini berbadan tinggi besar. Kulitnya putih, matanya sipit. Kalau ditilik-tilik,
bisa jadi dia dari Tiongkok, atau mungkin dari negara Asia tengah. Mungkin juga
dari Jepang, atau Korea. Aku tidak terlalu bisa membedakan, dan yang jelas aku
juga tidak punya kepentingan untuk menanyakan itu.
Aku bertanya apakah dia tahu ruangan untuk wafidin (mahasiwa luar
negeri) tingkat satu. Dia menjawab, kelas yang kami maksud ada di lantai dua. Singkat
saja, tapi keren. Aku baru saja mengobrol dengan orang ‘China’. Dan yang
lumayan unik, sesi tanya-jawab dengan orang ‘China’ barusan ditunaikan dengan
Bahasa Arab.
Sampai di lantai dua. Anak tangga demi anak tangga dititi satu persatu, di
setiap anak tangga tertulis sebuah kata motivasi berbahasa Arab. Setelah menaiki tangga, ternyata aku dan Ilham
butuh petunjuk lagi. Di lantai dua masih terdapat banyak ruangan dan lorong.
Kami berdua berjalan sedikit bingung, Ilham berusaha mencari informasi lagi
dari Whatsapp. Lama sekali.
Melihat kami berdua yang kebingungan, ada seorang mahasiswa lain yang
mendatangi kami. Badannya besar, kulitnya gelap. Jelas sekali teman yang satu
ini dari benua Afrika. Sambil terseyum dia menanyai masalah kami. Kebetulan, dia juga sedang menuju ke sana, pemuda ini
mengajak kami untuk ikut berjalan bersamanya. Sambil berjalan, aku beranikan
diriku untuk bertanya nama dan asal teman mahasiswa yang satu ini. Dia menjawab
pertanyaanku; Namanya Umar, asalnya dari Komoro. Sungguh, nama negara yang tidak pernah kudengar selama
ini. Entah di mana pun negara itu, entah bahasa apa yang digunakan di sana, yang jelas percakapan kami
lancar dan hangat dengan Bahasa Arab. Bukan Bahasa
Komoro, bukan Bahasa Indonesia. Umar mengantarkanku dan Ilham sampai ke kelas,
lalu kami masuk bersama.
Masuk ke dalam kelas.
Di depan pintu aku terdiam sesaat. Kutarik nafas
panjang. Kupandangi suasana kelas dari ujung hingga ujung. Tempat belajar kami adalah ruangan luas yang kalau kulihat bisa menampung kira-kira tiga ratus
mahasiswa. Bangku dan meja yang ada disusun berundak-undak menjadi tribune. Jadi,
seperti ini kampusku. Senyum di pipi ini masih mengembang demi menikmati
momen pertama masuk kuliah. Kuayunkan kakiku; melangkah masuk. Ilham mengikuti
langkahku. Bismillah.
Duduk di atas bangku kuliah. Aku dan Ilham duduk
bersebelahan di area tengah ruangan, Ilham ada di kiriku. Lagi-lagi kupandangi suasana kelas. Kunikmati momen
duduk di bangku ini, deretan bangku yang boleh jadi dulu menjadi tempat duduk
para ulama ketika menimba ilmu.
Tadi, di depan gedung, kudapati banyak mahasiswa dari berbagai negara,
sekarang mahasiswa dari berbagai macam negara ada di sekitarku, kanan-kiri,
depan-belakang. Wajah di kelas ini bermacam-macam sekali, tapi kali ini
semuanya memasang ekspresi yang sama: fokus mendengarkan dosen.
“Kamu ini memperhatikan tidak, sih?
Dari tadi menengok ke kanan-kiri, senyum-senyum sendiri.” Ilham di sampingku
menegur. Suaranya lirih. Mungkin dia mulai risih melihatku yang tiada
henti-hentinya tersenyum.
Di saat Ilham menegurku, dosen
meminta mahasiswa membuka buku. Serempak semuanya membuka-buka buku mereka
masing-masing. Halaman berapa tadi? Aku tidak fokus, Ilham juga tidak. “Halaman berapa, Ham?”
“Dua puluh mungkin, eh ... berapa ya?” Dia juga
ragu.
Aku menoleh ke mahasiswa di sisi
kananku, dari wajah dan perawakannya jelas sekali dia orang Indonesia. Dia
sedang membuka bukunya. Aku bertanya padanya, “Halaman berapa?”
Mahasiswa di sampingku diam, dia
menatapku bingung. Mungkin suaraku kurang jelas. Kuulangi pertanyaanku.
“Halaman berapa?”
Raut wajahnya mengisyaratkan bahwa dia tidak mengerti. Kuperjelas lagi intonasiku,
“Halaman, halaman ..., halaman berapa?” Dia bingung, aku lebih bingung. Apa
yang salah dari ucapanku?
“Ayyu Shafhah?” Ilham dari
sebelah kiriku bertanya kepada ‘mahasiswa Indonesia’ di sisi kananku.
“Aa …, Al-hadiyah wa ‘isyruun,” katanya dengan Bahasa Arab. Dia baru
paham maksud dariku. “Halaman dua puluh satu” artinya.
Senyum antusiasku berganti raut
bingung untuk beberapa saat. Sambil kubuka bukuku, sambil kuberpikir, “dia
tidak paham Bahasa Indonesia, berarti bukan dari Indonesia. Padahal wajah dan
perawakannya sangat mirip.” Kulupakan bingung ini untuk fokus hanya ke
penjelasan dosen.
Senyum antusiasku kembali lagi ketika mendengarkan penjelasan yang luar
biasa tentang Ilmu Tauhid. Sang dosen menjelaskan pelajaran sambil berjalan
mengelilingi tempat duduk kami. Suaranya jelas sekali. Kalimat-kalimatnya
lugas. Bahasa Arab yang beliau gunakan indah sekali. Aku mengangguk-angguk
berusaha memahami pelajaran dengan bahasa ini. Kusadari ternyata aku masih
sangat bodoh. Ilmuku bukan apa-apa, ilmu Allah segalanya.
Pelajaran pertama usai. Dosen pamit
undur diri. Mahasiswa menetap di tempat untuk menunggu pelajaran selanjutnya.
Rehat ini kusempatkan ini mengobrol dengan ‘mahasiswa Indonesia’ di sebelah
kananku. Dialog kumulai dengan memastikan dia ini dari negara mana. “Anta
min ayyi balad, Ya Akhi?” tanyaku ramah.
“Min Filibin,” jawabnya
dengan hangat.
Ternyata dia dari Filipina. Pantas
saja mirip. Kusampaikan padanya bahwa aku kira dia orang Indonesia, “Hasibtuka
Indunisiy, Ya Akhi.” Tidak ketinggalan senyum dan tawa renyah dariku. Sopan
santun yang ‘Indonesia banget’.
Dari sebelah kananku Ilham langsung
ikut menimbrung. Dia menanyakan nama teman baru kami ini,“Ismukal karim?”
“Akhuka: Jaafar,” ucapnya.
Beberapa menit berikutnya aku habiskan untuk mengobrol bersama Ilham juga
Jaafar, teman baru kami dari negara tetangga. Kami saling menjual beli
pertanyaan dan jawaban. Aku dan Ilham banyak bercerita tentang Indonesia,
Jaafar juga tidak ketinggalan menceritakan banyak tentang Filipina. Di tengah
obrolan, terbesit sesuatu di pikiranku. Indonesia dan Filipina aslinya kan
dekat, tapi ketika aku dan Ilham dipertemukan dengan Jaafar di Mesir,
ternyata kita tidak bisa mengobrol melainkan dengan Bahasa Arab.
Obrolan menarik di antara kami harus berhenti saat dosen datang. Para
mahasiswa kembali fokus ke pelajaran. Kali ini giliran Ilmu Manthiq: Ilmu
Logika. Pelajaran yang lumayan rumit. Kuperhatikan semua kalimat yang diucapkan
oleh dosen, kucermati kata demi kata, bahkan kuresapi huruf demi huruf. Dosen
kami menjelaskan semuanya secara runtut dengan Bahasa Arab. Satu-dua jam
berkutat dengan logika, pelajaran ditutup tepat ketika otak para mahasiswa
mulai berasap. Lumayan, lumayan banyak yang tidak kupaham. Kuliah selesai, para mahasiswa berangsur beranjak pulang. Jaafar
berpamitan pulang kepada kami berdua. Dengan Bahasa Arab pastinya.
“Ayo pulang, Yat.” Ilham berdiri dari bangku bersiap-siap pulang.
“Sebentar, duduk dulu.” Aku memintanya untuk duduk kembali. Dia menurut, kusodorkan bukuku yang terbuka
ke hadapannya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Bahas ulang materi tadi sebentar coba,” ucapku. Aku masih belum paham beberapa hal. Semangat
hari pertama kuliah mendorongku untuk tidak kembali sebelum benar-benar paham pelajaran. “Ini maksudnya apa ya?” lanjutku.
Aku menetap sebentar, Ilham membantuku memahami materi tadi. Di sekitar kami
bangku-bangku mulai kosong, menyisakan beberapa mahasiswa. Di tengah penjelasan
Ilham untukku, seorang mahasiswa yang duduk di bangku depanku ikut bergabung.
Tampilannya, paras wajahnya, suaranya mirip sekali orang Indonesia.
“Manthiq tadi, ya, Ustadz? boleh bergabung?” Bahasanya bukan Bahasa Indonesia, tapi mirip; logatnya khas
sekali. Yang ini pasti dari Malaysia.
Aku, Ilham, bersama Amir – teman baru kami dari
Malaysia – beberapa menit mengulas pelajaran. Apakah obrolan lancar
“Jadi, tashawwur adalah terhadap gambaran sesuatu yang di benak kita, paham kan?.”
Ilham menjelaskan. Aku mengerti bahwa Ilham berusaha menggunakan Bahasa
Indonesia sebaku mungkin supaya Amir bisa paham juga.
“’Benak’ ini …, Eee …?” Amir
berusaha mencerna kosakata ‘benak’. ternyata
sebaku dan sesederhana apapun Bahasa Indonesia yang disampaikan Ilham, tetap
saja pasti ada yang berbeza.
“Benak itu ....” Aku berusaha membantu menjelaskan.
“Adz-Dzihn.” Ilham menerjemahkannya ke Bahasa Arab.
“Aa …, faham.” Amir menjawab. Seperti itu terus
obrolan kami berlanjut. Ada saja kosakata Bahasa Indonesia yang tidak dipahami
Amir, begitu juga sebaliknya. Celah pemahaman bahasa yang ada diisi dengan
Bahasa Arab. Begini terjadi berkali-kali, hingga kami bertiga berjalan keluar
bersama. Unik sekali, kami berasal dari negara yang bertetanggaan dengan bahasa
yang hampir serupa, tapi ketika ada misunderstanding di antara kami, Bahasa
Arab yang berhasil menyatukan.
Baru hari pertama masuk kuliah, aku sudah mendapatkan
banyak sekali ilmu baru. Tidak hanya materi kuliah dari dosen, tapi lebih dari
itu aku mendapati sebuah keistimewaan pada bahasa keduaku, Bahasa Arab. Betapa
di sini Bahasa Arab mampu menjadi bahasa yang menyatukan seluruh penuntut ilmu
dari berbagai negara dan berbagai benua dari penjuru dunia. Tidak bisa
kubayangkan, bagaimana hidupku sebagai mahasiswa di sini berjalan kalau tidak mampu
berbicara menggunakan Bahasa Arab dengan baik. Pasti serba repot. Sebaliknya,
semua ilmu pengetahuan semakin mudah terserap, dan semua ibadah semakin kuat
terasa dengan Bahasa Arab.
Bahasa Arab dipilih oleh Tuhan menjadi lingua franca bagi para penuntut ilmu dari seluruh belahan dunia yang hendak mendalami agamanya. Lingua franca yang kekal dan terjamin keabadiannya. Bahasa Arab tidak lagi milik bangsa Arab saja (bahkan mereka hampir kehilangannya). Bahasa Arab milik semuat umat yang ingin bersama dengan Allah lebih dekat. Semua muslim wajib bisa berbahasa Arab, sekurang-kurangnya bisa memahami kalimat-kalimat yang ada dalam ibadah. Bahasa Arab merupakan sepaket kata dan kalimat yang berhasil menyatukan dunia karena rasa cinta terhadap agama dan bukan memaksa menyatukan dengan sejarah penjajahan.
"تعلموا العربيّة فإنها من دينكم." (عمر بن الخطاب رضي الله عنه)
1 Komentar
Pengalaman yg sangat mengwsankan tentunya,senang sekali bisa membaca tulisan ini, selamat ya ustadz .sukses selalu
BalasHapus