Fajar
pagi dengan cahaya mentari menerobos gedung gedung berbaris rapi coklat
dilapisi debu-debu yang basah bak pasukan kaum muslimin saat menanti dua
kemenangan, Ahmad meraih tongkat, dengan sepenuh tenaga dia memakainya untuk
berjalan, setiap langkah yang ia kerahkan mengingatkan dirinya dan
kawan-kawannya sebulan lalu, tentang sebuah pengorbanan dan kehormatan yang
telah ia alami, iya benar, dia mengorbankan dirinya dengan menendang bom granat
yang dilemparkan oleh seorang tentara Zionis ke arah teman temannya yang sedang
bermain bola.
Satu bulan lalu, ketika itu semua penonton melihat dua permainan
kelompok yang saling beradu strategi penyerangan dan pertahanan tim,
Ahmad menendang bola dari tengah lapangan pasir menuju gawang sang lawan semua
mata tertuju pada sebuah bola yang melesat kencang bak peluru yang melesat dari
sebuah pistol. Bola itu membentur tiang gawang terdengar sebuah suara, Blaaaaar.
Sebuah bunyi yang bukan berasal dari suara
gawang yang tersambar bola. Tanah yang mereka pijak bergetar, burung-burung
gagak yang hinggap di gawang seketika terbang
terengah-engah, alarm mobil-mobil di sekitar lapangan berbunyi
serentak, Kegembiraan mereka seketika terpecah saat terdengar sebuah bom dari
arah selatan lapangan, mereka serentak
menghentikan permainan dan terdiam, melihat sebuah asap mengepul tinggi dari
jarak satu kilo meter dan menyusul suara gemuruh sebuah gedung yang runtuh.
“Lariiiiiii” teriak Asyraf salah satu rekan tim pertandingan sepak bola.
Mereka pun lari sekencang kencangnya, belum saja lima detik bom terlempar ke
arah lapangan dan mengarah kepada Asyraf, rekan tim Ahmad dan sekaligus saudara
sepupunya, dengan sigap Ahmad tersadar bahwa Asyraf adalah anak laki-laki
tunggal dan hanya mempunyai ibu, karena ayahnya Asyraf syahid dalam sebuah
peperangan saat Asyraf dalam kandungan ibunya,
“Asyraf awas di sampingmu” teriak Ahmad. Ahmad berlari mendekati bom itu,
karena bom masih belum meledak, selang beberapa detik kesempatan untuk
menendang bom granat itu , Ahmad
menendang bom itu seperti dia menendang bola, dengan sekuat tenaga dengan kaki
kanannya menggunakan sepatu bekas tinggalan dari ayahnya, bom granat itu pun
terpental, dan Blaaaaar ....Bom granat itu meledak dahsyat, belum saja jarak
antara Ahmad dengan bom granat itu satu meter, Ahmad terbaring ditengah
lapangan dan dia merasa semua penglihatannya hitam seperti dalam ruangan hampa
tanpa setitik cahaya.
Tubuh
Ahmad terbaring di tengah lapangan tersenyum tipis dari bibir yang basah karena
shalawat dan zikir, kulit yang putih kini berlapis debu, kaki kanan yang selalu
menemani kaki kirinya untuk berjalan menuju masjid, majelis-majelis ilmu,
menemani adiknya bermain, membantu ibunya berdagang, yang ia gunakan untuk
memijakkan untuk berjihad, berperang mengusir penjajah bumi para nabi dan tanah
yang pernah disebut oleh Nabi Muhammad SAW, kini sedang pergi dahulu dari kaki
kirinya menuju surga, disambut kemudian dibasuh oleh bidadari, kaki kanannya
menari-nari, dipakaikanlah sepatu dari intan dan za’faran emas berwarna
merah, setiap derap langkah kaki kanannya di surga, ia bisa merasakan derap
kaki itu senada dengan detak jantung Ahmad, dan dia tidak mempedulikan apa yang
terjadi pada dirinya saat itu.
Asyraf yang menyadari apa yang terjadi dengan Ahmad, ia berlari
sekencang mungkin menuju Ahmad yang tergeletak di tengah lapangan dengan pasir
yang beterbangan bekas ledakan dahsyat
bom granat.
“wahai Ahmad
saudaraku, apa yang engkau lakukan terhadap dirimu sendiri, wahai Ahmad, Ahmad,
Ahmad, Ahmaaaaaaaaad kakimu.......kakimu kaki kananmu wahai sepupuku?” kata
Asyraf berteriak histerissambil memeluk badan Ahmad.
“Allah, Allah ,
Allah, Allah...............” Bibir Ahmad tak henti-hentinya melafazd-kan nama
Allah SWT, Tuhan tempat ia memasrahkan semua perkara Dunia dan Akhiratnya.
Asyraf sesegera mungkin membopong tubuh
Ahmad dengan sekuat tenaga, diangkatlah Ahmad walaupun tubuh Asyraf lebih
kecil, Asyraf melihat ke arah selatan di belakang sebuah gedung, terdengar
suara derap kaki tentara Zionis laknatullah yang kapan dan di mana saja
membunuh warga sipil yang tak berdosa.
Asyraf membopong Ahmad ke arah utara dari lapangan sebelum para tentara Zionis
laknatullah menemukan mereka berdua, dan menjadi sasaran empuk di tengah
lapangan bebas.
“Allah, Allah,
Allah, Allah......” Terdengar dari bibir Ahmad, ia masih saja tersenyum dan
berzikir seirama dengan derap langkah kaki Asyraf saat lari membopong di pundanknya.
Asyraf membawanya jauh dari lapangan, lari sejauh-jauhnya, sampai di sebuah
gedung terbengkalai, yang menurutnya aman dari kejaran manusia-manusia kejam
dan biadab, dan membawanya ke lantai enam, menyandarkan Ahmad di sebuah tembok
sebuah ruangan kosong dan terbengkalai, di mana tempat yang tidak mungkin untuk
di temukan oleh pasukan Zionis, mereka berdua berdiam dan menunggu pasukan
penyelamat Hamas.
Asyraf pun mengintip ke bawah dari jendela, melihat kondisi yang aman,
Asyraf pun kembali ke pada Ahmad.
”Bagaimana kondisimu sepupuku?”
tanya Aysraf.
”Alhamdulillah
aku baik-baik saja,” kata Ahmad
“Bagaimana engkau mengatakan bahwa
dirimu baik-baik saja sedangkan kamu kehilangan kaki kananmu? Apa yang engkau
pikirkan? Apa yang membuatmu tetap tersenyum dari tadi? Mengapa kau mengorbankan dirimu hanya karena diriku
saja?” tanya Asyraf heran.
Sambil membaringkan badannya Ahmad berkata,”Wahai Ahmad saudaraku,
bagaimana aku bisa bersedih sedangkan aku bisa mendengarkan derap kaki kananku
seirama dengan denyut nadiku dan jantungku, bagaimana aku bersedih sedangkan
aku mempunyai islam, iman, dan ihsan yang menjadi karunia Allah SWT untukku,
ilmu sebagai senjataku, sabar sebagai kekuatanku, yakin adalah kekuatanku,
kejujuran sebagai penolongku, shalat sebagai kebahagiaanku, itulah keteladanan
nabi kita Muhammad SAW sebagai alasan kenapa aku masih tetap bersyukur”.
Asyraf memikirkan dan meresapi apa yang Ahmad katakan sampai mereka
tertidur di sebuah gedung yang terbengkalai, mereka terbangunkan oleh sebuah
suara yang menyejukkan telinga, suara yang bersumber dari bibir seorang mujahid
Hamas.
“wahai
anak muda bangunlah, di sekitar tempat sini sudah aman dari para pecundang
zionis itu, ikutlah kami!!! kalian akan aman, istirahatlah dengan nyaman di
markas kami!!!, di sana ada dokter yang akan merawat dan mengobati kalian”.Ucap
mujahid itu dengan nada yang penuh dengan kasih sayang bak sang induk ayam
menemukan anak itiknya di tengah hutan yang lebat sembari melihat kondisi kaki
Ahmad yang putus sampai paha atasnya.
Ahmad
dan Asyraf saling bertatap mata dan mereka mulai mempercayai mujahid itu saat
melihat sorban yang menutupi kepala mujahid itu terdapat kalimat laailaahaillallah.
mereka mengikuti rombongan para mujahid Hamas dengan kondisi perut kosong kelaparan,
sepatu lusuh mereka berdua masih
menempel di kaki mereka, dan mereka hingga sampai di markas para mujahidin tempat
berlindung sementara mereka hingga selamat.
Ingatan Ahmad masih sangat segar satu bulan lalu, diraihnya tongkat dan
berjalan dengan satu kaki dibantu dengan tongkat, Ahmad selalu merasakan derap
langkah, seolah-olah kaki itu mengatakan kepada Ahmad, “hei Ahmad aku
menunggumu, wah di sini kau ditunggu istri-istri bidadarimu”.
Semakin
ia melangkah semakin kokoh imannya , begitulah sebuah keimanan orang-orang saleh
berilmu dan beradab, penuh dengan keikhlasan dan luasnya rasa syukur, penuh
dengan keteladanan Rasulullah SAW.
TAMAT
0 Komentar