Rintikan hujan
yang terdengar begitu deras, angin yang sudah tidak bisa berkompromi, selimut tebal
yang sepertinya sudah tak tahan melindungi tubuh ini. Terdengar suara yang
sudah tidak asing lagi di telinga ini. “Bangun, nak, adzan subuh sudah
berkumandang, ayok segera ke masjid!” Panggilan lembut dengan penuh kasih
sayang itu membuat kubergegas bangun dari tempat tidurku, mengambil payung dan
segera pergi ke masjid. Padahal hujan lho.
Namaku Muhammad
Zamrud, entah mengapa teman-temanku biasa memanggilku Jambred. Sekarang aku
duduk di kelas 3 SMP. Aku terlahir di dalam keluarga yang cukup keras dalam
beragama dan berpendidikan. Dari kecil aku sudah dimasukkan orang tuaku di
lingkungan sekolah islam. Semasa perjalanan hidupku di bangku sekolah aku
termasuk siswa yang berprestasi yang cukup membanggakan nama baik sekolah dan
keluarga layaknya bintang yang bersinar terang. Kamarku cukup luas untuk
menyimpan semua penghargaan-penghargaan atas semua prestasiku. Ini semua
mungkin dari hasil didikan orang tuaku sejak kecil. Aku sangat bersyukur mempunyai
keluarga yang sangat peduli akan pendidikanku, kebutuhanku, serta kehidupanku.
Aku seorang anak
tunggal yang sedang beranjak menjadi dewasa. Rasanya, seperti tidak punya
tempat untuk bercerita. pergaulanku yang selalu dibatasi oleh orang tuaku membuatku
tidak banyak memiliki teman yang cocok denganku. Rasa-rasa, seperti kehidupanku
semuanya berada di tangan orang tuaku. Dulu, aku anak yang sangat taat kepada
orang tua, kini mulai terbenak dalam pikiranku “Mau sampai kapan aku di atur
begini”. Aku mulai iri dengan teman-temanku yang kurasa mereka diberi
kebebasan yang lebih. Seringkali aku diejek oleh teman-temanku dengan sebutan “anak
mamah”. Namun aku masih berusaha tidak menanggapi hal-hal itu. Hari demi hari
aku masih menunggu kesadaran orangtuaku bahwasanya aku sudah beranjak dewasa,
aku masih berharap aku bisa diberi kebebasan seperti teman-temanku yang lain.
Namun pengharapan itu hanya menghasilkan kekecewaan yang cukup mendalam.
Di suatu waktu
aku mengikuti lomba olahraga basket antarsekolah. Aku dan teman-temanku berangkat
ke tempat perlombaan menggunakan transportasi mobil, yang biasa kita sebut
dengan sebutan “Angkot”. Seperti biasa, usai lomba ataupun latihan aku dan
teman-temanku mampir di suatu angkringan langganan yang biasa kita sebut warung
“Ummi”. Karena kata “ummi” yang tertulis di depan warung itu aku langsung
terpikirkan ibuku yang biasa mengkhawatirkanku. Tidak kusangka waktu sudah menunjukan
pukul 10 malam. Untuk orang sepertiku yang jarang keluar malam, itu sudah
sangat larut untuk belum pulang ke rumah. Namun, aku berusaha bersikap biasa
saja seperti teman-temanku yang lain. Tidak lama kemudian dikarenakan aku belum
diberi kebebasan untuk memegang handphone sendiri, ibuku mencoba
menghubungiku dengan menelpon temanku. “Eh, Jambred, emak lu nelpon nih di
suruh balik katanya udah malem,” ucap temanku dengan bahasa gaulnya. Dengan
menahan rasa malu, aku izin ke teman-temanku untuk pulang terlebih dahulu. Sialan.
Sesampainya aku di rumah, seperti biasa ibuku marah dengan caranya sendiri.
Diam tanpa berkata-kata adalah gaya khas marah ibuku yang sudah biasa.
Seperti biasa, di
penghujung tahun ajaran, para orang tua berdatangan ke sekolah untuk menjemput
rapor hasil anaknya masing-masing. Setibanya orang tuaku di rumah, aku
dipanggil oleh orang tuaku. Kali ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya, yang biasanya
aku melihat senyumah indah dengan penuh bangga di wajah ibuku, tapi kali ini
tidak. Perasaan cemas bercampur kecewa yang tertampak di wajah ibuku layaknya
melihat sinar bintang yang meredup. “Ada apa dengan kamu, nak?” pertanyaan terlontar
dari mulut ibuku. “Kemarin-kemarin nilai kamu bagus, sekarang kamu makin dewasa
bukannya malah tambah bagus kok malah tambah anjlok…,” ucap ibuku dengan nada sedikit
tinggi.
Aku yang
bingung ingin menjawab apa, langsung bergegas ke kamar dan menutup pintu. rasanya
seperti tidak ada yang mengertiku dalam kondisi seperti ini, orang tua yang
hanya bisa memberi over-nasehat tanpa pernah mencoba mengajakku
mengobrol untuk lebih memahamiku. Itulah yang terngiang-ngiang di dalam pikiranku.
Di saat itulah aku mulai merasa kurang mendapat perhatian dari keluarga, yang
kudapat hanyalah tekanan dan tuntutan. Dari sinilah aku mencoba dengan
kehidupan baruku, aku bergaul dengan teman-teman yang menurutku asyik dan dapat
membuatku nyaman. Hari demi hari, waktu libur kuhabiskan dengan teman-teman yang
kurasa posisinya saat ini lebih penting dari keluargaku sendiri. Di saat itulah
aku mulai mendapat kebahagian di luar rumah, aku mendapatkan tempat untuk
bercerita, aku dapat berkeluh kesah dengan mereka, bahkan sampai masalah keluarga
pun aku ceritakan kepada mereka. Seakan-akan seperti sudah tidak butuh keluarga
lagi, yang dibutuhkan hanya uang yang dihasilkan dari jerih payah mereka saja.
Waktu yang
ditunggu-tunggu pun telah tiba, aku yang sudah berani pergi tanpa izin orang
tua, langsung bergegas keluar rumah untuk pergi ke puncak bersama teman-temanku
dalam rangka merayakan kelulusan kita bersama. Kami berangkat menuju puncak –
salah satu destinasi di Bogor – menggunakan kendaraan masing-masing, tetapi
tidak dengan aku. Aku menaiki sepeda motor temanku yang aku boncengi. Angin
sepoi-sepoi arah puncak yang menemani perjalanan kini membuatku mengantuk, seperti
rasanya ingin berbaring di atas kasur empuk yang ditemani udara dingin air
conditioner (AC). Tanpa kusadari ternyata benar aku sedang berada di atas kasur
empuk yang ditemani udara dingin air conditioner (AC). Namun kali ini
dengan kondisi yang berbeda, lebih ramai ditemani dengan selang kecil infus dan
gulungan gulungan perban.
Tampak buram di
mataku yang berdempetan dengan perban di kepala, dua sosok yang pernah
kulupakan keberadaannya dan sudah kuanggap tidak peduli lagi kepadaku. Tapi
apa, lantas bukan mereka, siapa lagi yang senantiasa meluangkan waktunya untuk
menemaniku di dalam kondisi seperti ini. Tanpa kusadari, tetesan air mata mulai
membahasi pelipis mataku, sebagai rasa penyesalan atas apa yang sudah kupikirkan
dan kuperbuat kepada mereka.
Hari berganti
hari, hanya mereka yang setia menemaniku yang tak bisa berbuat apa-apa di atas
ranjang, terasa seperti bayi yang mendapat kasih sayang pertama dari kedua
orang tuanya. Yang terbenak di dalam pikiranku sekarang “Apakah aku mampu
menjadi mereka di saat mereka yang berada di posisiku sekarang”. Semakin
hari kondisiku semakin membaik dan akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan
di pondok pesantren, sesuai yang sering aku dan orang tuaku diskusikan saat aku
masih kecil. Dan aku berjanji kepada orang tuaku kelak akan mengubah sinar yang hampir redup kemarin
akan bersinar kembali seperti dulu.
Lantunan ayat
suci dari masjid terdengar cukup menyejukan hati ini. Tak terasa aku pun sudah
berada di dalam kampung nan damai ini. Rasa penyesalan itu masih terngiang-ngiang
di pikiranku. betapa egoisnya aku, yang hanya ingin diperhatikan dan diperlakukan
dengan baik. Tanpa memikirkan apa yang sudah kulakukan untuk mereka yang
semakin hari semakin menua, dan aku menyadari bahwa keluarga itu lebih penting
dari pada segalanya, seperti yang biasa kita sebut, keluarga adalah harta yang
paling berharga.
Aku tersenyum mengenang masa itu….
Keluarga… suatu kata yang penuh arti untukku.
1 Komentar
Masya Allah tabarakallah 🌷
BalasHapus