Header Ads Widget

Darussalam Audio

Merayakan Takdir


 Oleh: Rintik Hujan

            “Semua aku dirayakan ... hu, oh .,,”  Baris terakhir lagu penyanyi cantik nan anggun itu menyusuri telinga gadis penikmat lirik dari lagu yang selalu ia dengarkan sambil mengkhayalkan nasib dirinya entah kapan ia bisa merasakan apa itu ‘dirayakan'?  Belaian angin jalanan membuatnya hanyut dalam alunan lagu itu yang memang ia atur untuk diulang terus menerus, maklum gadis ini percaya manifestasi, menurutnya kalau sering mendengar lagu ‘semua aku dirayakan' kelak ia bisa ‘dirayakan' juga.

Tiiiiin! Suara klakson dan rem mendadak yang dilayangkan supir angkot biru yang ditumpangi Raina membuatnya saling tabrak antar-penumpang lainnya dan menghancurkan khayalannya membuka matanya yang tertutup rapat sepanjang jalan tadi karena tenggelam dalam alunan lagu favoritnya itu.

Fyuuh.... “ Raina menghela nafas karena pemandangan di sekitarnya yang memang tidak asing baginya, ratusan antrean kendaraan roda empat dan dua membuat isi kepalanya tambah ramai dan rasanya mau meledak. Ditambah polusi dan panasnya udara di sekelilingnya yang mendorongnya keluar dari kendaraan antar-jemputnya itu meskipun belum sampai tujuan aslinya.

Akhirnya kaki Raina menjadi ganti angkot biru andalannya untuk menapaki trotoar sambil memandangi manusia-manusia yang sedang terjebak di kemacetan ibu kota. Masih dengan lagu yang menari bebas di telinganya ia berjalan menuju istananya sambil memikirkan cara menunjukkan hasil ujian tengah semesternya yang menempati ranking dua di kelasnya itu. Nilai yang sangat didambakan teman temannya, tapi tidak dengan raja dan ratu di istananya.

Raina menegakkan bahunya, mengelus dadanya, mengatur nafasnya, dan melukiskan senyuman badutnya begitu sampai di depan pintu istananya. “Assalamu’alaikum, Raina pulang.

Waalaikumussalam, Raina, gimana hasil ujiannya?“ jawab bunda menyambut putrinya. Benar saja bayang-bayang isi kepalanya memang sudah ditunggu oleh ibunda ratunya itu, alih-alih menanyakan kabar justru kertas nilai Raina yang akan ditanya begitu ia pulang.

Ini, Bunda, Raina ranking dua di kelas, Bun, tadi Raina dapat hadiah kupon jajan di kantin lima puluh ribu dari bu guru, lumayan kan bisa buat jajan Raina satu bulan, Bunda! jelas Raina dengan semangat sambil menyodorkan kertas nilai ujiannya.

“Raina! Ayah dan bunda kan sudah bilang berkali kali kamu itu harus bisa dapat ranking satu Raina, uang jajan lima puluh ribu ayah juga mampu! Universitas impian ayah bunda untuk kamu itu memilih anak-anak unggulan sekolah Raina,” sambar bunda bak suara petir.

“Iya Bunda, Raina akan belajar lebih giat lagi,” jawab Raina yang sudah tidak ada di pandangannya selain lantai putih yang mulai rabun karena tertutup bendungan air mata yang ia tahan.

Raina membungkukkan badannya lalu pergi meninggalkan bundanya yang masih memandangi kertas berisi nilai Raina yang dipenuhi huruf ‘A' dan beberapa ‘A-' dan ‘B+’ .  Sebenarnya Raina sudah tidak kaget dengan respon yang akan ia dapat dari bundanya itu, tapi tetap saja hati gadis SMA kelas 12 itu tetap terasa sesak, belum respon ayahnya nanti sepulang kerja ketika melihat hasil ujiannya, ia pasti akan dikarantina seperti tahun lalu. Ambisi orang tuanya untuk menjadikannya seorang dokter sudah tidak bisa diganggu gugat walau sebenarnya Raina tidak mendambakan hal itu. Sedari dulu Raina dan saudaranya memang hidup sesuai arahan orang tuanya, mereka anak yang patuh. Kakaknya sudah melanjutkan studi ke luar negeri, jadi sekarang giliran Raina yang di-gembleng  ayah bundanya.

“Raina! Kamu masih bisa tidur nyenyak setelah melihat hasil ujian kamu ini!”Ssuara kencang beserta gebrakan pintu itu membangunkan Raina dari tidurnya yang bahkan belum lelap. Kepalanya tegak dari posisi bersandar ke atas buku pelajarannya itu. Benar saja ayahnya sudah tahu hasil ujiannya yang masih gagal menempati posisi pertama di kelas. Raina kembali ke posisi siap belajar di bawah sorotan lampu belajarnya jari-jari rampingnya terus mengerjakan latihan soal dan mewarnai kalimat-kalimat penting.

“Raina, dengarkan ayah! Jangan pernah kamu merasa puas kalau kamu belum bisa mendapat peringkat satu di ujian akhir nanti. Setelah ini kamu akan ayah karantina. Pulang sekolah tidak ada acara main sama teman, langsung pulang! Belajar! Enyahlah kupon gratis kantin kamu! Ayah gak akan kasih kamu uang jajan sebelum kamu berhasil di ujian akhir nanti dan lolos SNBP!“  bentak ayah dengan gestur tangan kanan menunjuk-nunjuk Raina dan tangan kiri memegang pinggang khas gaya marah ayah. Disusul dengan sambaran pintu yang ditutup kencang sambil ayah meninggalkan Raina.

Hari demi hari bulan demi bulan berlalu Raina jalani seperti biasa dengan bayang-bayang yang menghantuinya. Ekspektasi ayah dan bunda-nya dan tekanan untuk mencapai peringkat dan universitas impian raja dan ratu itu. Raina tidak punya pilihan selain patuh, karena ia tak punya siapa pun selain ayah bunda dan ia sudah merasa hidupnya memang hanya untuk mewujudkan mimpi ayah bunda yang belum bisa dicapai mereka. Kakaknya pun sama, mereka memang sudah sepasrah itu. Di otak Raina, ‘mimpiku adalah mimpi, mimpi ayah bunda harus terwujud kalau ingin tetap hidup.’

Entah sejak kapan Raina sudah tidak punya tujuan atau mimpi selain melakukan apa yang diperintahkan ayah bunda. Yang ia harapkan hanya semua itu terwujud dan ia bebas dari amarah ayah bundanya itu. Ia hanya ingin ‘dirayakan’.

Hari ujian akhir tiba.

Raina sudah duduk di kursi ujian dengan otak yang penuh dengan serapan materi dan perut yang kenyang dengan latihan soal walau kosong dari makanan karena seleranya sudah habis muak karena minggu ini dia karantina ketat di rumah, ia lupa kapan terakhir kali tidur nyenyak dengan selimut hangatnya karena bulan terakhir ini ia menghabiskan waktunya dengan buku-buku pelajaran yang ada di meja belajarnya itu

Ujian berjalan dengan lancar, Raina menjawab semua pertanyaan dengan luwes dan hati-hati penuh harap semoga ujian akhir ini ia bisa memenuhi tuntutan ayah bunda, hanya itu harapnya.

Teng teng….  Suara bel menandakan waktu ujian telah usai. Raina berdiri memegangi kertas jawaban yang akan ia kumpulkan itu, memandangi penuh harap memejamkan mata menarik napas dalam -alam lalu menghembuskannya. Ia ingin dirayakan, ingin dirayakan ayah bunda bukan dimarahi. Seluruh tenaganya terkuras habis untuk mengerjakan soal-soal ujian tadi. Setelah kertas jawabannya diserahkan dan Raina berjalan keluar kelas tiba-tiba pandangannya kabur. Bruk!” Raina pingsan di Koridor kelas, Teman-teman nya langsung mengerubunginya dan membawanya ke UKS.

***

“Raina, maafkan ayah dan  bunda terlalu menekan kamu untuk giat belajar dan dapat ranking satu di kelas sampai kamu begini,” Suara khas yang ia kenali itu masuk ke telinga Raina yang belum sepenuhnya sadar, matanya masih mencoba untuk terbuka tapi suara itu seperti tangisan bunda yang baru pertama kali ia dengar.

Ayah, bagaimana ini? Raina sampai tumbang begini pasti karena kita kan ayah? tangis bunda semakin sesenggukan.

Raina yang mendengar hal itu sontak hanya bisa terdiam. “Bun, jangan begini Bun, nanti sakit Bunda bisa kambuh kalau begini Bun, yah juga khawatir sama Raina, tapi Raina pasti kuat. Bun, sudah jangan sampai Bunda stress dan sesak bun, itu bunda sudah mulai pucat lohSuara ayah menimpal tangis bunda yang sesegukan itu.

Sakit? Bunda sakit apa? Kambuh? Selama ini bunda ada sakit? Raina membatin dengan pandangannya yang masih rabun ia melihat pemandangan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Iya, bunda menangis karena khawatir padanya, ayah yang memeluk bunda, dan ia di rumah sakit?

Raina mencerna semua hal ini. Ayah bunda yang selalu terlihat keras dan tidak peduli kesehatannya dan lebih peduli dengan pelajaran Raina tiba-tiba sekhawatir ini. Dan bunda,  bunda ada sakit apa? Raina tidak pernah tahu itu,ini semua ada apa? Tiba-tiba ayah seperti berjalan menuju ranjang Raina, Raina langsung menutup matanya berpura-pura tidak mendengar dan melihat semuanya.

Hari pengumuman hasil akhir ujian tiba. Raina sudah tidak fokus dengan peringkat yang dari kemarin menghantuinya karena dia masih terbayang-bayang apa yang sebenarnya terjadi di hari dia pingsan. Karena setelah ia pulang dari rumah sakit sikap ayah bunda kembali seperti biasa, bicara secukupnya dan selalu menyuruh Raina belajar. Di tengah lamunannya yang kosong itu ternyata ia tidak dengar namanya sudah di panggil berkali kali oleh wali kelasnya.

“Raina!” Tangan teman bangku belakangnya mengaburkan lamunannya.

Hah! Iya, kenapa? jawab Raina kaget.

“Raina ayo maju ke depan kelas Nak, kamu peringkat satu di kelas!“ ucap gurunya yang sudah berdiri bangga di depan kelas itu.

Perasaan Raina campur aduk akhirnya hari ini tiba, ia menerima kertas nilainya itu dengan senyum yang merekah, dia tidak sabar menunjukkannya ke ayah bunda. Apakah setelah ini ia akan dirayakan? Semoga iya, batinnya. Raina mendapat tepuk tangan merayakan hasil usahanya, iya dari teman-teman kelas dan gurunya itu. Tapi dari ayah bunda? Ia masih menerka-nerka.

Hari ini adalah hari terakhir Raina dan teman-temannya duduk di bangku kelas 12, jadi setelah jam pelajaran terakhir Raina dan teman-teman merayakan hari bahagia mereka itu, mereka makan bakso bersama di tukang bakso langganan mereka di depan sekolah. Apakah Raina ikut? Tentu saja. Ia terbawa suasana bahagia di hari itu. Apalagi ‘merayakan' dan ‘dirayakan' adalah hal yang paling ia inginkan, walau yang paling ia inginkan adalah bersama keluarganya, tapi tak apa bersama teman juga mengurangi bebannya.

Sekarang Raina sudah sampai di depan rumahnya, entah mengapa rasa gugup dan takut masih ada seperti biasa setiap hari pengumuman hasil ujian, padahal sekarang ia berhasil meraih apa yang dituntut ayah bunda, entah jantung Raina tetap berdegup kencang tak karuan saat ia mulai membuka pintu rumahnya

Assalamu’alaikum Ayah Bunda, Raina pulang…,” salam Raina dengan suara bernada ragu. Ia terkejut ternyata ayah dan bunda sedang duduk santai di ruang keluarga yang kelihatannya memang sedang menunggunya.

“Waalaikumussalam, Raina ayo duduk sini sama ayah bunda,” jawab ayah sambil menepuk sofa di sebelahnya. Jangan ditanya sekencang apa jantung Raina berdegup sekarang, pikirannya sudah melayang ke mana-mana pasalnya duduk bersama seperti ini sudah sangat lama tidak ia rasakan terakhir kali mungkin waktu ia dan kakaknya masih anak-anak.

Bagaimana hasil ujian kamu Raina?“ tanya bunda langsung begitu Raina duduk di atas sofa empuk itu.

Ehm, eh, ini, Bunda,” jawab Raina gelagapan saking gugupnya sambil menyerahkan kertas nilainya itu.

Ayah yang berada di sampingnya mengambil kertas itu dari tangan Raina lalu melihatnya bersama dengan bunda. Seperti biasa barisan nilai A mengisi tabel nilai pelajaran di dalamnya kali ini tidak ada nilai B, ya, karena Raina sekarang ranking satu.

Kamu ranking satu di kelas kan, Raina? “ tanya ayah dengan nada memastikan.

Hah? Iya Ayah, Raina ranking satu di kelas, Ayah kok sudah tahu?jawab Raina kaget dengan pertanyaan ayahnya itu.

“Ayah bukan sudah tahu, tapi ayah tidak mau ada jawaban lain, lebih tepatnya memang sudah seharusnya kamu bisa ranking 1 Raina. Kan, lihat, sekarang kamu bisa dapat ranking 1! Kemarin-kemarin kamu itu hanya kurang serius Raina, coba kalau kemarin ayah biarkan kamu puas dengan kupon lima puluh ribu itu? Entah sekarang kamu rangking berapa Raina?” Raina diam mematung mencerna kalimat yang terucap dari orang yang ia harapkan kalimat selamat dan merayakan dirinya itu.

“Raina, setelah ini kamu harus mulai bersiap untuk proses pendaftaran kuliah, banyak berdoa semoga kamu bisa lulus jalur SNBP kalau tidak lulus kamu harus daftar SNBT dan belajar lebih giat lagi untuk masuk universitas ternama itu, ingat! Menjadi dokter handal itu butuh usaha lebih Raina.Tambah bunda yang juga belum terucap kata “Selamat atau semacamnya untuk putrinya itu. Raina bingung, reaksi apa ini? Kenapa tidak seperti ekspektasinya? Ini adalah yang dari kemarin ayah bunda tuntut! Raina berhasil tapi kenapa tetap begini? Apakah ini benar-benar takdir dirinya untuk tidak dirayakan oleh orang yang ia paling sayang di dunia ini?

Lalu bunda? Kemarin semua kata-kata penyesalan bunda waktu di rumah sakit? Ayah juga? Apa itu semua? Raina bingung. Iya Ayah, iya Bunda, setelah ini Raina akan pantau terus proses SNBP-nya,” jawab Raina singkat.

“Terima kasih ayah bunda sudah mengarahkan Raina sampai sejauh ini, Raina masuk kamar ya, Bun, Yah,” tutur Raina menutup percakapan, lalu meninggalkan ruang keluarga yang begitu jarang terpakai itu. Ayah dan bunda hanya terdiam melihat putrinya yang hanya menunduk sedari tadi.

Malam itu, Raina merenung memandangi langit bertabur bintang, dengan telinga yang tersumbat alat untuk mendengarkan lagu favoritnya itu ia berusaha menenangkan hati dan pikirannya dan menyadarkan dirinya untuk tidak lagi banyak berharap untuk ‘dirayakan' . Raina, sekarang kamu fokus jalani hidup sesuai keinginan ayah bunda, maka hidup kamu akan aman, turunkan ekspektasi tentang dirayakan Raina, batinnya. Raina memutuskan untuk menjalani takdir hidupnya

Tahun demi tahun Raina jalani dengan semangat hidup baru dan  merayakan setiap hal kecil yang ia capai sendiri bukan ia sudah tidak mau dirayakan ayah bunda lagi, tapi sudah tidak menaruh banyak ekspektasi kisah cinta keluarganya seperti orang-orang yang ia lihat di sekitarnya. Kini Raina sedang fokus menuntaskan studi spesialisnya. Iya, dia sudah lulus kedokteran umum dan sekarang ia melanjutkan program spesialis hematologi karena permintaan ayah bunda.

Semua berjalan seperti biasa, interaksi antara anak dan orang tua itu secukupnya atau sekedar menanyakan progres perkuliahannya. Ketika lulus kedokteran kemarin,reaksi pun sama, tuh kan, kamu itu bisa, jangan lupa program spesialis Raina tetap giat belajar, apakah Raina kaget? Sedih? Tentu tidak, sekarang kalimat itu ia jadikan pacuan untuk dirinya selama itu hal baik, bukan? Ia akan selalu membuktikan kemampuannya pada ayah bunda, sampai nanti akhirnya mungkin ayah bunda akan mengerti keinginan Raina yang sudah ia kubur sementara itu. Iya, dirayakan'.

Pagi ini, suasana berbeda; ayah, bunda, kakak, dan kakak iparnya semua sibuk membantu persiapan hari spesial calon dokter spesialis hematologi itu, ayah dan kakak yang sudah rapi memakai batik gagah, bunda dan kakak iparnya yang membantu merias Raina, semua terasa aneh baginya. Ia hanya tersenyum tipis memandangi kehangatan yang lama tak ia rasakan ini.

Bunda! Raina sudah siap belum?“ tanya ayah dari depan rumah.

Iya, Ayah, tunggu sebentar ini Raina sudah selesai!“ jawab bunda sambil memegang pundak Raina yang masih menghadap kaca riasnya itu.  Semua sudah siap lalu mereka semua berangkat bersama ke kampus Raina. Iya, hari ini adalah wisuda program spesialisnya

Wisudawati terbaik program spesialis predikat summa cumlaude! Saudari dr. Raina Mutia Sari Sp.PD-KHOM spesialis hematologi, dengan IPK 3,95!“ Suara yang menggema ke seluruh sudut aula memanggil Raina berjalan menaiki panggung untuk mengambil hasil jerih payahnya selama ini, hari yang sangat ia nantikan dan hari yang sangat diinginkan ayah bundanya itu. Setelah Raina bersalaman dengan para rektor, ia turun dari panggung dan dilihatnya ayah bunda melambai lambaikan tangan mereka agar Raina bisa melihat wajah bahagia mereka, Raina tersenyum senang karena hal sesederhana ini yang ia harapkan dari dulu.

Setelah semua rentetan acara wisuda selesai, para wisudawan dan wisudawati bergegas menuju pintu keluar aula mereka tak sabar ingin melihat keluarganya yang menunggu di luar begitu pun Raina, benar saja ketika sampai di luar aula banyak keluarga yang sudah menunggu dengan banyak buket bunga yang mereka lambaikan untuk mencari putra-putri mereka. Mata Raina berusaha menelusuri kerumunan orang berharap menemukan wajah ayah, bunda, dan kakaknya sampai matanya berhenti pada sorot mata yang sedang menatapnya juga, iya, itu Ayah dan Bundanya.

 

“Ayah! Bunda! Raina berteriak memanggil orang tuanya sambil berjalan dengan toga megahnya yang ia ayunkan. Begitu sampai di depan bundanya, hal mengejutkan terjadi, Raina langsung tenggelam dalam pelukan hangat bunda, kedua tangan bunda langsung mendekap tubuh langsung Raina kepala bunda bersandar di atas bahu Raina yang memang lebih tinggi dari bunda. Raina benar-benar tidak percaya hal ini akhirnya bisa ia rasakan lagi setelah bertahun-tahun lamanya.

“Selamat ya Raina anak bunda sayang, Terima kasih kamu selalu kuat dengan segala tuntutan yang bunda dan ayah beri, tanpa mengurangi sedikit pun hormat kamu kepada ayah bunda. Terima kasih ya sayang, maafkan bunda dan ayah yang selama ini menekan kamu untuk selalu mengikuti arahan bunda, bahkan kita tidak pernah merayakan hasil jeri payah kamu Nak, “ ujar bunda masih dengan posisi memeluk erat Raina. Tangan Raina yang sedari tadi masih terjuntai ke bawah sekarang ia layangkan untuk membalas pelukan bunda dengan erat.

“Raina, sebenarnya selama bertahun-tahun tahun bunda menuntut kamu untuk rajin belajar agar bisa menjadi dokter spesialis hematologi adalah karena bunda mau di akhir waktu bunda di dunia yang merawat bunda itu kamu Raina.  Maafkan bunda yang tidak bisa jujur dari awal ya, Nak.Mendengar hal itu Raina sontak melepas pelukannya dan memandang wajah bunda nya yang tak lagi muda.

Maksud Bunda apa, Bun?  tanya Raina kaget.Ayah, apa maksud bunda, Yah? Kakak dan istrinya hanya bisa diam melihat pemandangan hari ini, bunda masih menangis tak sanggup menjelaskan.

“Raina, jadi bunda itu selama ini punya penyakit genetik dari kakek dan nenek kamu, penyakit ini juga yang menjadi sebab meninggalnya kakek dan nenek. Dan memang sampai saat ini belum ada cara yang bisa menyembuhkan penyakit genetik ini secara total, Raina,” jawab ayah menenangkan

Jangan bilang bunda sakit anemia sel sabit?“ tanya Raina sebagai dokter spesialis hematologi yang sudah hafal penyakit genetik yang berhubungan dengan darah itu.

Ayah mengangguk. Melihat respon ayahnya kaki Raina lemas bukan main Raina tersungkur di atas rumput taman kampusnya itu. “Sejak kapan, Bunda?” Air mata Raina sudah tak terbendung lagi.

“Kalau sejak kapan Bunda juga tidak tahu tapi Bunda baru menyadari gejala dan periksa itu waktu kamu SMA Raina.”

Sejak saat itu Raina sudah tidak berpikir tentang ‘dirayakan' tapi bagaimana ia menghabiskan waktunya mengabdikan diri untuk merawat bundanya. Segala cara ia lakukan dari vaksinasi, transfusi darah, dan mengajukan transplantasi tulang. Ia selalu menyempatkan untuk menengok bundanya di sela kesibukannya di rumah sakit.

Kini dunia menunjukkan arti dirayakan dan merayakan untuknya, setiap orang punya porsi masing-masing untuk dirayakan dan merayakan. Dulu Raina belum merasakan hal itu, tapi kalau bukan karena tuntutan yang menyesakkannya dulu, mungkin sekarang bukan Raina yang menjadi dokter spesialis untuk bundanya. Ia tak lagi mempertanyakan mengapa ia tidak dirayakan, karena perayaan untuknya adalah kesuksesannya sekarang dan kesempatan merawat bunda dengan baik hingga maut memisahkan. Ini semua tentang takdir.


Posting Komentar

0 Komentar