“Semua
aku dirayakan ... hu, oh .,,” Baris terakhir lagu penyanyi cantik nan anggun
itu menyusuri telinga gadis penikmat lirik dari lagu yang selalu ia dengarkan
sambil mengkhayalkan nasib dirinya entah kapan ia
bisa merasakan apa itu ‘dirayakan'? Belaian
angin jalanan membuatnya hanyut dalam alunan lagu itu yang memang ia atur untuk
diulang terus menerus, maklum gadis ini percaya manifestasi, menurutnya kalau
sering mendengar lagu ‘semua aku dirayakan' kelak ia bisa ‘dirayakan' juga.
Tiiiiin! Suara klakson dan rem mendadak yang dilayangkan supir angkot biru
yang ditumpangi Raina membuatnya saling tabrak antar-penumpang lainnya dan
menghancurkan khayalannya membuka matanya yang tertutup rapat sepanjang jalan
tadi karena tenggelam dalam alunan lagu favoritnya itu.
“Fyuuh.... “ Raina
menghela nafas karena pemandangan di sekitarnya yang memang tidak asing
baginya, ratusan antrean kendaraan roda empat dan dua membuat isi kepalanya
tambah ramai dan rasanya mau meledak. Ditambah polusi dan panasnya udara di
sekelilingnya yang mendorongnya keluar dari kendaraan antar-jemputnya itu
meskipun belum sampai tujuan aslinya.
Akhirnya kaki
Raina menjadi ganti angkot biru andalannya untuk menapaki trotoar sambil
memandangi manusia-manusia yang sedang terjebak di
kemacetan ibu kota. Masih dengan lagu yang menari bebas di telinganya ia
berjalan menuju istananya sambil memikirkan cara menunjukkan hasil ujian tengah
semesternya yang menempati ranking dua di kelasnya itu. Nilai yang sangat
didambakan teman temannya,
tapi tidak dengan raja dan ratu di istananya.
Raina
menegakkan bahunya, mengelus dadanya, mengatur nafasnya, dan
melukiskan senyuman badutnya begitu sampai di depan pintu istananya. “Assalamu’alaikum,
Raina pulang.”
“Wa’alaikumussalam,
Raina, gimana hasil ujiannya?“ jawab bunda menyambut putrinya. Benar saja
bayang-bayang isi kepalanya memang sudah ditunggu oleh ibunda ratunya itu,
alih-alih menanyakan kabar justru kertas nilai Raina yang akan ditanya begitu
ia pulang.
“Ini, Bunda,
Raina ranking dua di kelas, Bun,
tadi Raina dapat hadiah kupon jajan di kantin lima puluh ribu dari bu guru,
lumayan kan bisa buat jajan Raina satu bulan, Bunda!”
jelas Raina dengan semangat sambil menyodorkan kertas nilai ujiannya.
“Raina! Ayah dan
bunda kan sudah bilang berkali kali kamu itu harus bisa dapat ranking
satu Raina, uang jajan lima puluh ribu ayah juga mampu! Universitas impian ayah
bunda untuk kamu itu memilih anak-anak unggulan sekolah Raina,”
sambar bunda bak suara petir.
“Iya Bunda,
Raina akan belajar lebih giat lagi,” jawab Raina
yang sudah tidak ada di pandangannya selain lantai putih yang mulai rabun
karena tertutup bendungan air mata yang ia tahan.
Raina
membungkukkan badannya lalu pergi meninggalkan bundanya yang masih memandangi
kertas berisi nilai Raina yang dipenuhi huruf ‘A' dan beberapa ‘A-' dan ‘B+’
. Sebenarnya Raina sudah tidak kaget
dengan respon yang akan ia dapat dari bundanya itu, tapi tetap saja hati gadis
SMA kelas 12 itu tetap terasa sesak, belum respon ayahnya nanti sepulang kerja
ketika melihat hasil ujiannya, ia pasti akan dikarantina seperti tahun lalu.
Ambisi orang tuanya untuk menjadikannya seorang dokter sudah tidak bisa diganggu
gugat walau sebenarnya Raina tidak mendambakan hal itu. Sedari dulu Raina dan
saudaranya memang hidup sesuai arahan orang tuanya,
mereka anak yang patuh. Kakaknya sudah melanjutkan studi ke luar negeri, jadi
sekarang giliran Raina yang di-gembleng ayah bundanya.
“Raina! Kamu
masih bisa tidur nyenyak setelah melihat hasil ujian kamu ini!”Ssuara
kencang beserta gebrakan pintu itu membangunkan Raina dari tidurnya yang bahkan
belum lelap. Kepalanya tegak dari posisi bersandar ke atas buku pelajarannya
itu. Benar saja ayahnya sudah tahu hasil ujiannya yang masih gagal
menempati posisi pertama di kelas. Raina kembali ke posisi siap belajar di bawah
sorotan lampu belajarnya jari-jari rampingnya terus mengerjakan
latihan soal dan mewarnai kalimat-kalimat penting.
“Raina,
dengarkan ayah! Jangan pernah kamu merasa puas kalau kamu belum bisa mendapat
peringkat satu di ujian akhir nanti. Setelah ini
kamu akan ayah karantina.
Pulang sekolah tidak ada acara main sama teman, langsung pulang! Belajar! Enyahlah kupon gratis kantin
kamu! Ayah gak akan kasih kamu uang jajan sebelum kamu berhasil di ujian akhir
nanti dan lolos SNBP!“ bentak ayah
dengan gestur tangan kanan menunjuk-nunjuk Raina
dan tangan kiri memegang pinggang khas gaya marah ayah. Disusul dengan sambaran
pintu yang ditutup kencang sambil ayah meninggalkan Raina.
Hari demi hari
bulan demi bulan berlalu Raina jalani seperti biasa dengan
bayang-bayang yang menghantuinya. Ekspektasi ayah dan bunda-nya
dan tekanan untuk mencapai peringkat dan universitas impian raja dan ratu itu.
Raina tidak punya pilihan selain patuh, karena ia tak punya siapa pun selain
ayah bunda dan ia sudah merasa hidupnya memang hanya untuk mewujudkan mimpi
ayah bunda yang belum bisa dicapai mereka. Kakaknya pun sama, mereka memang
sudah sepasrah itu. Di otak Raina, ‘mimpiku adalah mimpi, mimpi ayah bunda
harus terwujud kalau ingin tetap hidup.’
Entah sejak
kapan Raina sudah tidak punya tujuan atau mimpi selain melakukan apa yang
diperintahkan ayah bunda. Yang ia harapkan hanya semua itu terwujud dan ia
bebas dari amarah ayah bundanya itu. Ia hanya ingin ‘dirayakan’.
Hari ujian
akhir tiba.
Raina sudah
duduk di kursi ujian dengan otak yang penuh dengan serapan materi dan perut
yang kenyang dengan latihan soal walau kosong dari makanan karena seleranya
sudah habis muak karena minggu ini dia karantina ketat di rumah, ia lupa kapan
terakhir kali tidur nyenyak dengan selimut hangatnya karena bulan terakhir ini
ia menghabiskan waktunya dengan buku-buku pelajaran yang ada di meja belajarnya
itu
Ujian berjalan
dengan lancar, Raina menjawab semua pertanyaan dengan luwes dan hati-hati penuh
harap semoga ujian akhir ini ia bisa memenuhi tuntutan ayah bunda, hanya itu
harapnya.
Teng teng…. Suara
bel menandakan waktu ujian telah usai. Raina berdiri
memegangi kertas jawaban yang akan ia kumpulkan itu, memandangi penuh harap
memejamkan mata menarik napas dalam -alam lalu
menghembuskannya. Ia ingin dirayakan, ingin dirayakan ayah bunda bukan
dimarahi. Seluruh tenaganya terkuras habis untuk mengerjakan soal-soal
ujian tadi. Setelah kertas jawabannya diserahkan dan Raina berjalan keluar
kelas tiba-tiba pandangannya kabur. Bruk!” Raina pingsan di Koridor kelas,
Teman-teman nya langsung mengerubunginya dan membawanya ke UKS.
***
“Raina, maafkan
ayah dan bunda terlalu menekan
kamu untuk giat belajar dan dapat ranking satu di kelas sampai kamu begini,” Suara
khas yang ia kenali itu masuk ke telinga Raina yang belum sepenuhnya sadar,
matanya masih mencoba untuk terbuka tapi suara itu seperti tangisan bunda yang
baru pertama kali ia dengar.
“Ayah,
bagaimana ini? Raina sampai tumbang begini pasti karena kita kan ayah?”
tangis bunda semakin sesenggukan.
Raina yang mendengar hal itu sontak
hanya bisa terdiam. “Bun, jangan begini Bun,
nanti sakit Bunda bisa kambuh kalau begini Bun, yah
juga khawatir sama Raina, tapi Raina pasti kuat. Bun,
sudah jangan sampai Bunda stress dan sesak bun, itu bunda
sudah mulai pucat loh” Suara ayah
menimpal tangis bunda yang sesegukan itu.
Sakit? Bunda sakit apa? Kambuh? Selama ini bunda ada sakit? Raina membatin dengan pandangannya yang
masih rabun ia melihat pemandangan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Iya,
bunda menangis karena khawatir padanya, ayah yang memeluk bunda, dan ia
di rumah sakit?
Raina mencerna
semua hal ini. Ayah bunda yang selalu terlihat keras dan tidak peduli
kesehatannya dan lebih peduli dengan pelajaran Raina tiba-tiba sekhawatir ini. Dan
bunda, bunda
ada sakit apa? Raina tidak pernah tahu itu,ini
semua ada apa? Tiba-tiba ayah seperti berjalan menuju
ranjang Raina, Raina langsung menutup matanya berpura-pura
tidak mendengar dan melihat semuanya.
Hari pengumuman
hasil akhir ujian tiba. Raina sudah tidak fokus dengan peringkat yang dari
kemarin menghantuinya karena dia masih terbayang-bayang
apa yang sebenarnya terjadi di hari dia pingsan. Karena setelah ia pulang dari
rumah sakit sikap ayah bunda kembali seperti biasa, bicara secukupnya dan
selalu menyuruh Raina belajar. Di tengah lamunannya yang kosong itu ternyata ia
tidak dengar namanya sudah di panggil berkali kali oleh wali kelasnya.
“Raina!” Tangan
teman bangku belakangnya mengaburkan lamunannya.
“Hah!
Iya, kenapa?” jawab Raina kaget.
“Raina ayo maju
ke depan kelas Nak, kamu peringkat satu di kelas!“
ucap gurunya yang sudah berdiri bangga di depan kelas itu.
Perasaan Raina
campur aduk akhirnya hari ini tiba, ia menerima kertas nilainya itu dengan
senyum yang merekah, dia tidak sabar menunjukkannya ke ayah bunda. Apakah
setelah ini ia akan dirayakan? Semoga iya, batinnya. Raina mendapat tepuk
tangan merayakan hasil usahanya, iya dari teman-teman
kelas dan gurunya itu. Tapi dari ayah bunda? Ia masih menerka-nerka.
Hari ini adalah
hari terakhir Raina dan teman-temannya duduk di bangku kelas 12, jadi setelah
jam pelajaran terakhir Raina dan teman-teman merayakan hari bahagia mereka itu,
mereka makan bakso bersama di tukang bakso langganan mereka di depan sekolah. Apakah
Raina ikut? Tentu saja. Ia terbawa suasana bahagia di hari itu. Apalagi
‘merayakan' dan ‘dirayakan' adalah hal yang paling ia inginkan, walau yang
paling ia inginkan adalah bersama keluarganya, tapi tak apa bersama teman juga
mengurangi bebannya.
Sekarang Raina
sudah sampai di depan rumahnya, entah mengapa rasa gugup dan takut masih ada
seperti biasa setiap hari pengumuman hasil ujian, padahal sekarang ia berhasil
meraih apa yang dituntut ayah bunda, entah jantung Raina tetap berdegup kencang
tak karuan saat ia mulai membuka pintu rumahnya
“Assalamu’alaikum
Ayah Bunda, Raina pulang…,”
salam Raina dengan suara bernada ragu. Ia terkejut ternyata ayah dan bunda
sedang duduk santai di ruang keluarga yang kelihatannya memang sedang
menunggunya.
“Waalaikumussalam,
Raina ayo duduk sini sama ayah bunda,” jawab ayah sambil menepuk sofa di sebelahnya.
Jangan ditanya sekencang apa jantung Raina berdegup sekarang, pikirannya
sudah melayang ke mana-mana pasalnya duduk bersama seperti ini sudah sangat
lama tidak ia rasakan terakhir kali mungkin waktu ia dan kakaknya masih anak-anak.
“Bagaimana
hasil ujian kamu Raina?“ tanya bunda langsung begitu Raina duduk di atas sofa
empuk itu.
“Ehm,
eh, ini, Bunda,” jawab Raina gelagapan
saking gugupnya sambil menyerahkan kertas nilainya itu.
Ayah yang
berada di sampingnya mengambil kertas itu dari tangan Raina lalu melihatnya
bersama dengan bunda. Seperti biasa barisan nilai A mengisi tabel nilai
pelajaran di dalamnya kali ini tidak ada nilai B, ya, karena Raina
sekarang ranking satu.
“Kamu ranking
satu di kelas kan, Raina? “ tanya ayah dengan nada memastikan.
“Hah?
Iya Ayah, Raina ranking satu di kelas, Ayah kok
sudah tahu?”jawab Raina kaget dengan pertanyaan ayahnya itu.
“Ayah bukan
sudah tahu, tapi ayah tidak mau ada jawaban lain, lebih tepatnya memang sudah
seharusnya kamu bisa ranking 1 Raina. Kan, lihat, sekarang
kamu bisa dapat ranking 1! Kemarin-kemarin
kamu itu hanya kurang serius Raina, coba
kalau kemarin ayah biarkan kamu puas dengan kupon lima puluh ribu itu? Entah
sekarang kamu rangking berapa Raina?” Raina
diam mematung mencerna kalimat yang terucap dari orang yang ia harapkan kalimat
selamat dan merayakan dirinya itu.
“Raina, setelah
ini kamu harus mulai bersiap untuk proses pendaftaran kuliah, banyak berdoa
semoga kamu bisa lulus jalur SNBP kalau tidak lulus kamu harus daftar SNBT dan
belajar lebih giat lagi untuk masuk universitas ternama itu, ingat! Menjadi
dokter handal itu butuh usaha lebih Raina.” Tambah
bunda yang juga belum terucap kata “Selamat”
atau semacamnya untuk putrinya itu. Raina bingung, reaksi apa ini? Kenapa tidak seperti ekspektasinya? Ini adalah yang
dari kemarin ayah bunda tuntut! Raina berhasil tapi kenapa tetap begini? Apakah
ini benar-benar takdir dirinya untuk tidak
dirayakan oleh orang yang ia paling sayang di dunia ini?
Lalu bunda?
Kemarin semua kata-kata penyesalan bunda waktu di rumah
sakit? Ayah juga? Apa itu semua? Raina bingung. “Iya Ayah, iya Bunda,
setelah ini Raina akan pantau terus proses SNBP-nya,”
jawab Raina singkat.
“Terima kasih ayah bunda sudah
mengarahkan Raina sampai sejauh ini, Raina masuk kamar ya, Bun, Yah,” tutur
Raina menutup percakapan, lalu meninggalkan ruang keluarga yang begitu jarang
terpakai itu. Ayah dan bunda hanya terdiam melihat putrinya yang hanya menunduk
sedari tadi.
Malam itu,
Raina merenung memandangi langit bertabur bintang, dengan telinga yang
tersumbat alat untuk mendengarkan lagu favoritnya itu ia berusaha menenangkan
hati dan pikirannya dan menyadarkan dirinya untuk tidak lagi banyak berharap
untuk ‘dirayakan' . Raina, sekarang kamu fokus jalani hidup sesuai keinginan
ayah bunda, maka hidup kamu akan aman, turunkan ekspektasi tentang dirayakan
Raina, batinnya. Raina memutuskan untuk menjalani takdir hidupnya
Tahun demi
tahun Raina jalani dengan semangat hidup baru dan merayakan setiap hal kecil yang ia capai
sendiri bukan ia sudah tidak mau dirayakan ayah bunda lagi, tapi sudah tidak
menaruh banyak ekspektasi kisah cinta keluarganya seperti orang-orang yang ia
lihat di sekitarnya. Kini Raina sedang fokus menuntaskan studi spesialisnya.
Iya, dia sudah lulus kedokteran umum dan sekarang ia melanjutkan program
spesialis hematologi karena permintaan ayah bunda.
Semua berjalan
seperti biasa, interaksi antara anak dan orang tua
itu secukupnya atau sekedar menanyakan progres perkuliahannya. Ketika lulus
kedokteran kemarin,reaksi pun sama, tuh kan, kamu itu
bisa, jangan lupa program spesialis Raina tetap giat belajar, apakah Raina kaget? Sedih? Tentu
tidak, sekarang kalimat itu ia jadikan pacuan untuk dirinya selama itu hal
baik, bukan? Ia akan selalu membuktikan kemampuannya pada ayah bunda, sampai
nanti akhirnya mungkin ayah bunda akan mengerti keinginan Raina yang sudah ia
kubur sementara itu. Iya, dirayakan'.
Pagi ini,
suasana berbeda; ayah, bunda, kakak, dan kakak iparnya semua sibuk membantu
persiapan hari spesial calon dokter spesialis hematologi itu, ayah dan kakak
yang sudah rapi memakai batik gagah, bunda dan kakak iparnya yang membantu
merias Raina, semua terasa aneh baginya. Ia hanya tersenyum tipis memandangi
kehangatan yang lama tak ia rasakan ini.
“Bunda!
Raina sudah siap belum?“ tanya ayah dari depan rumah.
“Iya, Ayah,
tunggu sebentar ini Raina sudah selesai!“ jawab bunda sambil memegang pundak Raina
yang masih menghadap kaca riasnya itu. Semua sudah siap lalu mereka semua berangkat bersama ke kampus
Raina. Iya, hari ini adalah wisuda program spesialisnya
“Wisudawati
terbaik program spesialis predikat summa cumlaude! Saudari
dr. Raina Mutia Sari Sp.PD-KHOM spesialis hematologi, dengan IPK
3,95!“ Suara yang menggema ke seluruh sudut aula memanggil Raina berjalan
menaiki panggung untuk mengambil hasil jerih payahnya selama ini, hari yang
sangat ia nantikan dan hari yang sangat diinginkan ayah bundanya itu. Setelah
Raina bersalaman dengan para rektor, ia turun dari panggung dan dilihatnya ayah
bunda melambai lambaikan tangan mereka agar Raina bisa melihat wajah bahagia
mereka, Raina tersenyum senang karena hal sesederhana ini yang ia harapkan dari
dulu.
Setelah semua
rentetan acara wisuda selesai, para wisudawan dan wisudawati bergegas menuju
pintu keluar aula mereka tak sabar ingin melihat keluarganya yang menunggu di
luar begitu pun Raina, benar saja ketika sampai di luar aula banyak keluarga
yang sudah menunggu dengan banyak buket bunga yang mereka lambaikan untuk
mencari putra-putri mereka. Mata Raina berusaha menelusuri kerumunan orang
berharap menemukan wajah ayah, bunda, dan kakaknya sampai matanya berhenti pada
sorot mata yang sedang menatapnya juga, iya, itu Ayah dan Bundanya.
“Ayah! Bunda!”
Raina berteriak memanggil orang tuanya sambil berjalan dengan toga
megahnya yang ia ayunkan. Begitu sampai di depan bundanya, hal mengejutkan
terjadi, Raina langsung tenggelam dalam pelukan hangat bunda, kedua tangan
bunda langsung mendekap tubuh langsung Raina kepala bunda bersandar di atas
bahu Raina yang memang lebih tinggi dari bunda. Raina benar-benar
tidak percaya hal ini akhirnya bisa ia rasakan lagi setelah bertahun-tahun
lamanya.
“Selamat ya
Raina anak bunda sayang, Terima kasih kamu selalu kuat dengan segala tuntutan
yang bunda dan ayah beri, tanpa mengurangi sedikit pun hormat kamu kepada ayah
bunda. Terima kasih ya sayang, maafkan bunda dan ayah yang selama ini menekan
kamu untuk selalu mengikuti arahan bunda, bahkan kita tidak pernah merayakan
hasil jeri payah kamu Nak, “ ujar bunda masih dengan posisi memeluk erat Raina.
Tangan Raina yang sedari tadi masih terjuntai ke bawah sekarang ia layangkan
untuk membalas pelukan bunda dengan erat.
“Raina,
sebenarnya selama bertahun-tahun tahun bunda menuntut kamu untuk rajin belajar
agar bisa menjadi dokter spesialis hematologi adalah karena bunda mau di akhir
waktu bunda di dunia yang merawat bunda itu kamu Raina. Maafkan bunda yang tidak bisa jujur dari awal
ya, Nak.” Mendengar hal itu Raina sontak melepas pelukannya dan memandang
wajah bunda nya yang tak lagi muda.
“Maksud
Bunda apa, Bun?” tanya Raina kaget. “Ayah, apa
maksud bunda, Yah?” Kakak
dan istrinya hanya bisa diam melihat pemandangan hari ini, bunda masih menangis
tak sanggup menjelaskan.
“Raina, jadi
bunda itu selama ini punya penyakit genetik dari kakek dan nenek kamu, penyakit
ini juga yang menjadi sebab meninggalnya kakek dan nenek. Dan memang sampai
saat ini belum ada cara yang bisa menyembuhkan penyakit genetik ini secara
total, Raina,” jawab ayah menenangkan
“Jangan
bilang bunda sakit anemia sel sabit?“ tanya
Raina sebagai dokter spesialis hematologi yang sudah hafal penyakit
genetik yang berhubungan dengan darah itu.
Ayah
mengangguk. Melihat respon ayahnya kaki Raina lemas bukan main Raina tersungkur
di atas rumput taman kampusnya itu. “Sejak kapan, Bunda?”
Air mata Raina sudah tak terbendung lagi.
“Kalau sejak
kapan Bunda juga tidak tahu tapi Bunda baru menyadari gejala dan periksa itu
waktu kamu SMA Raina.”
Sejak saat itu
Raina sudah tidak berpikir tentang ‘dirayakan' tapi
bagaimana ia menghabiskan waktunya mengabdikan diri untuk merawat bundanya.
Segala cara ia lakukan dari vaksinasi, transfusi darah, dan
mengajukan transplantasi tulang. Ia selalu menyempatkan untuk menengok bundanya
di sela kesibukannya di rumah sakit.
Kini dunia
menunjukkan arti dirayakan dan merayakan untuknya, setiap orang punya porsi
masing-masing untuk dirayakan dan merayakan. Dulu Raina belum merasakan
hal itu, tapi kalau bukan karena tuntutan yang menyesakkannya dulu, mungkin
sekarang bukan Raina yang menjadi dokter spesialis untuk bundanya. Ia tak lagi
mempertanyakan mengapa ia tidak dirayakan, karena perayaan untuknya adalah
kesuksesannya sekarang dan kesempatan merawat bunda dengan baik hingga maut
memisahkan. Ini semua tentang takdir.
0 Komentar