Oleh: Kiki
Di pagi yang cerah matahari bersinar terang
layaknya sebuah cahaya harapan yang hidup dalam setiap jiwa manusia dan langit pun
berwarna biru cerah tanpa awan bak lautan yang tenang penuh dengan segala
misterinya membuat semangat para penuntut ilmu yang akan mengamalkan ilmunya di
pondok tercinta menjadi semakin membara.
Pagi itu tampaklah pemandangan guru-guru
pengabdian baru yang datang dari berbagai daerah dan latar belakang yang
berbeda pula, namun dengan satu tujuan yang sama yaitu membuat generasi setelah
mereka menjadi lebih baik dari mereka.
Mereka pun mulai menuju kamarnya masing-masing
yang telah di tentukan sebelumnya. Kamar-kamar guru pengabdian yang ada merupakan unit-unit usaha milik pondok. Di salah satu
unit usaha pondok tiba lah guru-guru baru yang siap mengabdikan dirinya kepada
ibunda tercinta, pondok As-Salaam.
Pondok As-Salaam adalah salah satu pondok
terbesar yang berada di daerah Jawa yang sudah memiliki banyak cabang di Pulau
Sumatra dan Sulawesi. Ahmad adalah salah satu dari guru pengabdian baru yang datang
dari Sumatra. Pemuda dengan perawakan sangar dan watak yang keras itu pun tinggal sekamar dengan guru baru lain yang bernama
Adit, teman sekamar Ahmad ini datang dari Jakarta dengan gaya hidup ala anak
kota yang serba berkecukupan.
Mereka pun disambut oleh senior kamar mereka,
beliau bernama Ustadz Jaya. Meskipun Ustadz Jaya ini seorang guru, beliau kerap
disapa Pak Jaya oleh guru-guru yang lain. Beliau pun mempersilahkan Adit dan
Ahmad untuk menuju kamar mereka berdua. Setelah sampai di kamar, mereka pun
dipersilahkan Pak Jaya untuk beristirahat terlebih dahulu mengingat perjalanan
mereka dari rumahnya cukup jauh. Setelah ditinggal Pak Jaya untuk beristirahat,
Adit dan Ahmad pun mulai merapikan barang mereka masing-masing. Di sela
menyusun pakaian di lemari, Ahmad dan Adit pun berkenalan mengingat mereka
berasal dari pondok cabang yang berbeda. Ahmad berasal dari pondok cabang yang
berada di Sumatra dan Adit berasal dari Pondok cabang yang berada di Sulawesi.
Seusai berkenalan, mereka pun mulai berbincang satu sama lain tentang
pengalaman mereka di pondok cabang mereka dahulu. Sesudah merapikan barang
mereka masing-masing mereka pun memutuskan untuk istirahat.
Malam pun tiba, mereka di panggil oleh Pak
Jaya untuk berkumpul di ruang tengah kamar. “Sini Ahmad, Adit, duduk dulu,”
kata Pak Jaya dengan yang duduk di kursi dengan beberapa buku pemasukan dan
pengaluran unit usaha.
“Jadi di samping kalian mengajar, kalian akan
mendapatkan tugas di sini, apa aja tugasnya?” ucap Pak Jaya dengan wajah senyum
namun tampak serius memandangi wajah mereka berdua.
“Apa Pak?” kata Ahmad dan Adit secara bersamaan,
mereka serius mendengarkan kata selanjutnya dari Pak Jaya.
“Kita akan buka kantin kita setiap hari, kita
akan bagi sesuai piket, saya sudah susun sesuai jadwal kalian mengajar,” jelas
Pak Jaya.
“Oh iya, kalian yang jaga piket jangan lupa
untuk mencatata penghasil di buku administrasi,” jelas pak Jaya kemudian
mengambil buku yang ditumpuk di depannya.
Seusai pembagian tugas dan transformasi nilai
yang cukup memakan waktu yang lama, Pak Jaya berpesan, “Ingat bahwasanya kita
di sini memiliki tujuan yang sama yaitu mengabdi kepada pondok kita tercinta.”
Pak Jaya pun tak lupa berpesan, “Don’t
judge the book by its cover, lihat isinya
bukan sampulnya. Kita memiliki rapor masing-masing maka tidak etis apabila kita membacakan rapor
seseorang di hadapan orang lain. Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan
tak ada gunanya untuk mengatakan kekurangan orang lain, jika engkau terus
memikirkan apa yang dikatakan orang lain maka engkau tak akan pernah menjadi
dirimu sendiri, lebih baik engkau perbaiki dirimu menjadi pribadi yang lebih
baik untuk menggapai ridho Allah meskipun engkau tak akan luput dari kesalahan
dan kekurangan, Ridha-n-naasi ghayatun la tudrak wa ridhaallah ghayatun la
tutrak.
Di akhir beliau berkata, “Watak seseorang akan
kelihatan bukan di awal, akan tetapi setelah ia berada di zona nyaman.” Setelah
itu Pak Jaya pun menutup perkumpulan dengan doa penutup majelis dan
mempersilahkan Ahmad dan Adit untuk beristirahat karena jam telah menunjukkan
pukul 23.00 WIB mengingat besok mereka akan mengajar para murid.
Esok
hari pun tiba, tepat pukul 07.00 bel berbunyi menandakan jam pelajaran dimulai,
Ahmad dan Adit pun sudah berada di kelasnya masing-masing, mengajar pelajaran
kepada para murid yang tengah bersemangat untuk menerima pembelajaran dari para
guru. Terlihat Adit dan Ahmad pun cukup cakap dalam menjelaskan pelajaran
kepada para murid hingga tak terasa bel istirahat pun berbunyi. Guru-guru pun
mencukupkan pembelajaran dan mempersilahkan murid-muridnya untuk beristirahat.
Adit dan Ahmad bergegas menuju kantin
mengingat mereka ditugaskan di sana. Sesampainya di kantin terlihat antrean para murid terlihat seperti ular panjang yang meliuk-liuk.
Satu per satu murid membayar jajanan mereka hingga terlihatlah semua jajanan
habis tak tersisa. Ahmad mengusap keringatnya seraya berkata, “Huhff … ternyata cape juga yah jualan.” Adit pun mengiyakan
perkataan Ahmad.
Bel berbunyi menandakan jam istirahat telah
usai. Adit dan Ahmad pun bergegas pergi ke kelas mereka masing-masing untuk
melanjutkan pelajaran. Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 12.30 dan bel pun
berbunyi menandakan pembelajaran di hari itu telah usai. Ahmad dan Adit pun
menutup pembelajaran mereka dan mempersilahkan para murid di kelas mereka untuk
pulang ke asrama.
Di tengah perjalanan pulang ke kamar, Ahmad
pun bertemu Adit, ia menyapa temannya dan berkata, “Huffhh … cukup
melelahkan yah jadi ustadz itu, padahal dulu ketika kita menjadi santri,
melihat ustadz itu sepertinya enak banget enggak terikat peraturan ini itu,
tapi setelah kita jadi ustadz ternyata tak seenak yang kita bayangin ketika
kita masih santri.”
Aditpun membalas, “Iya nihh cape banget enggak
kaya murid dulu yang mana kita cuma ngurus diri sendiri tinggal duduk dengerin
ustadz menjelaskan, udah selesai, nah … ini pas kita jadi ustadz harus buat
persiapan mengajar, terus ngomong berjam-jam di kelas, belum lagi istirahat
harus jaga kantin yang mana antreannya panjang banget.” Akhirnya mereka pun
sampai di kamar dan bersiap untuk salat dzuhur dan dilanjutkan istirahat.
Malam
hari pun tiba, setelah usai menunaikan salat isya’ mereka
bergegas menuju kelas lagi untuk membimbing belajar malam para murid. Tak
terasa jam pun menunjukkan pukul 22.00 menandakan jam belajar malam pun telah
usai dan para guru mencukupkan belajar malam, lalu murid-murid pun pulang ke
asrama. Ahmad dan Adit pun pulang ke kamar dan mulai menghitung penghasilan
kantin hari itu dan membukukan penghasilan di buku administrasi. Setelah
menuntaskan pekerjaan mereka pun beristirahat.
Hari
demi hari pun dilalui mereka dengan kegiatan yang sangat melelahkan bahkan tak
terasa mereka sudah melalui itu semua dalam kurun waktu 4 bulan. Di sana lah
watak mereka mulai terlihat di mana Ahmad yang punya watak yang keras menginginkan
adanya inovasi baru pada menu jajanan yang memakan waktu hingga larut malam..
Hal ini dilakukan Ahmad agar murid-murid tak bosan dengan jajan yang ada. Namun
Adit menolak hal tersebut dikarenakan ia punya kesibukan lain. Ahmad pun
bersikeras dengan tujuannya.
Di sisi lain, watak Adit mulai tampak, di mana
ia sering tak terlihat di kamar setelah usai mengajar dan jarang membantu
membersihkan kamar sehingga Ahmad pun berinisiatif untuk menaruh sapu dan
cikrak di depan lemari Adit sebagai sindiran untuk membersihkan kamar, namun
Adit pun masa bodoh dengan perlakuan Ahmad tersebut. Sehingga hubungan keduanya
pun mulai renggang.
Pak Jaya pun mengetahui hal tersebut sehingga
Adit dipindahkan sekamar dengan Pak Jaya dengan harapan Adit bisa berubah lebih
baik. Mengingat usia mereka yang masih tergolong remaja yang emosinya belum bisa
sepenuhnya terkontrol dan untuk menghindari pertengkaran antara Adit dan Ahmad.
Hari-hari pun dilewati Adit dan Ahmad dengan kegiatan mereka
masing-masing hingga tibalah di satu hari di mana Ahmad mulai merasakan pusing
dan tak enak badan hingga ia melewatkan satu pelajaran yang walhasil Ahmad
mendapatkan hukuman dari ustadz yang mengurus di bagian pembelajaran
Ahmad pun menghela napas dan berkata, “Ya
Allah mengapa cobaan-Mu begitu berat, Engkau telah memberikanku cobaan penyakit
lalu Engkau timpakan lagi cobaan hukuman dari bagian pembelajaran murid. Ahmad
pun termenung saat itu.”
Esok
harinya Ahmad mengajar dengan kondisi yang tidak fit dan akhirnya dia pun tak
kuat melanjutkan pembelajaran di jam berikutnya sehingga ia meminta izin ke
kantor bagian pembelajaran untuk melakukan cek kesehatan di rumah sakit.
Tibanya
di kamar, ia tak melihat Pak Jaya seniornya yang sering menasihatinya dalam
berbagai aspek kehidupan, yang Ahmad lihat hanya si Adit yang kebetulan hari
itu tidak mengajar karena ia piket jaga kantin. Ahmad pun meminta bantuan Adit
dengan gestur yang ogah-ogahan mengingat hubungan mereka belum kunjung membaik
karena di mata Ahmad, Adit ini adalah orang yang malas-malasan dalam
mengerjakan pekerjaan. Adit pun membalas permintaan Ahmad,” Ya entar tunggu
abis selesai jam istirahat.” Wajahnya datar.
Ahmad
pun pergi ke kamar dan mulai meragukan apa yang dikatakan Adit, ia bergumam
dalam dirinya, Ahh… sepertinya dia enggak mau nganterin ke rumah sakit, sebaiknya aku
telpon temen yang lain.
Ia pun menelpon temannya yang berasal dari
Sumatra juga, dia sering di sapa Abid. Melalui telepon seluler, Ahmad menghubungi Abid, tak lama berselang
telepon pun diangkat. “Assalamu’alaikum, Bid, lagi
sibuk nggak? Hari ini gak ngajarkan?
Bisa anterin aku ke rumah sakit gak?” ucap Ahmad.
“Wa’alaikumussalam, waduh sorry banget,
Mad, aku lagi ada tugas dari senior ini.”
Abid membalas.
“Oalah oke Bid syukron ya,” balas Ahmad. Telepon pun ditutup, selang itu tibalah Adit menghampiri
Ahmad.
“Ayo gass … katanya mau ke rumah sakit”, ucap Adit.
Ahmad pun tertegun dan mengiyakan perkataan
Adit. Ahmad bergumam, Ini beneran Adit?
Mereka pun berangkat dengan motor. Setibanya
di rumah sakit Ahmad pun disarankan Adit untuk menuju ke Instalasi Gawat
Darurat (IGD) mengingat kondisi Ahmad yang sudah terlihat pucat.
Sesampainya di IGD, Ahmad pun diperiksa oleh
dokter dan diberitahu untuk rawat inap di rumah sakit karena Ahmad mengalami
masalah pada lambungnya yang disebabkan terlambat makan dan kurang istirahat.
Akhirnya Adit pun yang menemani Ahmad ketika ia dirawat di rumah sakit.
Ketika sudah berada di ruang rawat inap dengan
kondisi Ahmad di infus di bagian tangan kanannya, Adit pamit ke Ahmad untuk
mengambil pakaian Ahmad di pondok, Ahmad pun mengiyakan.
Sebelum Adit pergi, Ahmad berterima kasih
kepada Adit karena sudah mengantarkannya ke rumah sakit. Adit pun membalas, “Santuy kita kan teman, sudah selayaknya
teman saling membantu.” Adit pun
meninggalkan ruang inap dan pergi ke pondok untuk mengambil pakaian Ahmad.
Ahmad mulai berpikir, Kok Adit tiba tiba
baik gitu yah?
Selang
beberapa jam, akhirnya Adit tiba di rumah sakit dan menuju ke ruangannya Ahmad
dengan membawa beberapa kantong plastik. Adit pun menata pakaian Adit di dalam
lemari yang tersedia di ruangan tersebut. Dia mengeluarkan makanan dari kantong
plastik tersebut. “Nihh ada sedikit makanan tadi aku beli di toko swalayan,” ucap
Adit.
Ahmad pun berkata, “Makasih, Dit, kok tumben
kamu baik gini padahal kemarin marin jarang di kamar, jarang bersih-bersih,
jarang bantuin ngitung uang malem-malem. Emang kamu kemana aja kok jarang di
kamar?”
Akhirnya Adit memberi tahu Ahmad bahwasanya ia
diberi amanat untuk mengurus perpulangan murid yang berasal dari Jakarta yang
mana jumlahnya tidak sedikit kurang lebih ada 400 murid yang berasal dari
Jakarta. Makanya Adit jarang di kamar karena mengurusi hal tersebut. Akhirnya
Ahmad paham bahwasanya apa yang dikatakan Pak Jaya itu benar don’t judge the
book by its cover, lihat isinya bukan sampulnya. Hal yang membuat hubungan Ahmad dan Adit menjadi
senggang adalah kurangnya komunikasi antara mereka.
Beberapa
hari dilewati Ahmad dan Adit di rumah sakit dengan bercerita tentang kehidupan
mereka masing-masing hingga akhirnya Ahmad pun sudah
diperbolehkan dokter untuk pulang. Sejak saat itu hubungan antara Ahmad dan
Adit pun membaik dan akhirnya mereka pun saling membantu satu sama lain hingga
tibalah waktu perpulangan dan hari itu pun menjadi hari terakhir mereka dalam mengabdi
di pondok.
Hubungan
pertemanan mereka pun tak terputus walaupun sudah tak tinggal sekamar lagi
seperti di pondok dulu bahkan si Adit masih membantu Ahmad yang mana waktu itu
Ahmad memiliki kesempatan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri dan jam
keberangkatannya pesawatnya cukup pagi di Bandara Internasional Soekarno Hatta
sehingga Adit menawarkan Ahmad untuk menginap di rumahnya beberapa hari sebelum
keberangkatannya mengingat rumah Ahmad yang berada di Sumatra. Ahmad pun dengan
senang hati menerima tawaran Adit tersebut.
Kisah persahabatan mereka pun tetap
berlangsung walaupun jarak memisahkan Ahmad pun mendapat pembelajaran dari
nasehat seniornya untuk tidak menilai seseorang dari satu aspek dan Ahmad pun
berkata dalam hatinya, Aku akan selalu membantu Adit sebagaimana Adit selalu
membantuku ketika aku berada dalam keadaan yang sangat sulit.
0 Komentar