Oleh: Ihya’
Di peradaban manapun, ingar-bingar pasar tidak akan pernah
bisa diredam. Apalagi pasar tradisional. Teriakan pedagang yang sedang
menjajaki dagangannya memenuhi langit-langit pasar. Pembeli yang bertanya-tanya
sambil memilah-milih barang ikut meramaikan panjangnya lorong pasar. Gejolak
tawar-menawar pun tidak kalah meriah. Ditambah obrolan antar pedagang yang
melantur ke sana ke mari.
Pagi hari, di Pasar Krajan,
geliat perdagangan sudah mulai terlihat. Gerai demi gerai dengan berbagai macam
barang jualannya terbuka berjajar dari pojok sampai pojok. Toko ikan, toko
daging, pakaian, sayur-mayur, hingga buah-buahan tersebar.
Di satu sudut, terdapat sebuah warung kecil. Letaknya
di samping buah-buahan yang dipajang dan digantung di toko buah milik Bi Inem. ‘Warung
Agung’ namanya. Kalau melihat tempatnya yang mungil, nama ‘agung’ mungkin
terasa bertolak belakang. Tidak ada agung-agungnya sama sekali. Namun, nama ini
menjadi masuk akal kalau sudah mengenal pemiliknya, Mbah Agung.
Yang menarik dari warung ini bukanlah seberapa nikmat
kopinya, atau seberapa lezat mie gorengnya, bukan juga tentang seberapa gurih mendhoannya.
Warung yang satu ini berbeda, ia selalu bisa menjadi tempat yang seru dan
menarik untuk berdiskusi. Perbincangan seputar budaya, filsafat, politik,
ekonomi, sosial, bahasa, psikologi, bahkan sampai tasawwuf pun pernah ada
di warung ini. Yang lebih luar biasa lagi, orang-orang yang membahas hal-hal
itu bukanlah akademisi, melainkan hanya masyarakat biasa dengan latar belakang
yang tidak terduga. Sungguh. Gila, bukan? Kok bisa? Siapa lagi yang
memantik diskusi-diskusi di tempat ini kalau bukan Mbah Agung sang pemilik
warung yang agung. Dari kebiasaan ini, orang-orang memanggilnya ‘kakek filsuf
yang sedang menyamar’.
Hari ini, di warung istimewa ini, mari kita lihat apa
yang akan menjadi bahan obrolan hangat Mbah Agung dan rekan-rekannya.
“Assalamu’alaikum.” Bi Inem mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam,” jawab pemilik warung sambil
melirik siapa yang datang.
“Sepi banget warung-e, Mbah?” tanya Bi Inem. Tangannya membawa sekantong salak untuk Mbah Agung. Logatnya khas sekali. Meja-meja di warung masih kosong, memang baru dibuka.
“Baru juga dibuka, Nem,” jawab Mbah Agung singkat. Ia tidak menoleh. Kakek enam puluh tahunan itu sedang sibuk menggoreng mendhoan dan merebus air.
“Si Sronto sama Pak
Sarpin mana. Biasanya jam segini udah ke sini, mbok?”
Sronto dan Pak Sarpin
adalah dua pelanggan tetap Warung Agung. Tidak ada hari tanpa mereka berdua di
warung. Dengan dua orang ini terbentuklah tiga serangkai Warung Agung. Terkadang
menjadi empat serangkai kalau Bi Inem ikut menimbrung. Memang banyak pelanggan
lain yang sering ikut ‘ngopi’ di warung ini – Kang Yasrun dan Yu Tiwen misalnya
– tapi mereka tidak setiap hari, yang benar-benar tidak pernah absen ke warung adalah
Sronto dan Pak Sarpin.
“Mbuh ya…,”
balas kakek filsuf singkat, tidak tahu. Ia sedang fokus dengan wajan, teko, dan
kompornya. Sampai-sampai tidak ngeh dengan salak yang dibawa Bi Inem.
“Salak buat sampeyan
ini, Mbah.” Bi Inem mengulurkan kantong plastik berisi salak.
Mbah Agung pun menoleh.
“Lho… repot-repot, Nem.” Suaranya pelan berwibawa.
“Wes lah, Mbah, kayak
sama siapa aja….”
“Minta tolong ditaruh
meja ya, Nem,” pinta Mbah Agung.
Bi Inem menaruh salak
Mbah Agung di meja lalu bertolak ke tokonya. “Nyong balik dulu ya, Mbah.”
“Yaa, maturnuwun,
maturnuwun.” Mbah Agung berseru dari tempatnya. Suaranya serak sesuai
umurnya. Masih berkutat dengan kompornya.
Tepat di depan pintu,
Bi Inem berpapasan dengan Pak Sarpin yang mau masuk ke warung. Panjang Umur.
Pak Sarpin adalah pria paruh baya yang sederhana. Pak Sarpin bekerja
serabutan. Tidak ada jadwal pasti. Karena itulah dia bisa mengunjungi warung
kopi ini setiap hari. Mengobrol menikmati hidup.
“Eh, mbekayune,”
sapa Pak Sarpin kepada ‘Mbekayu’ Inem.
“Monggoh, monggoh.” Bi
Inem mempersilakan layaknya sedang di rumah sendiri. Kemudian dia kembali ke
toko buahnya.
Pak Sarpin langsung
menuju ke meja. “Assalamu’alaikum.” Badannya tinggi ramping dengan rambut yang
sedikit keriting.
“Wa’alaikumussalam.”
Menjawab salam wajib. Mbah Agung mengangkat kepalanya, melihat siapa yang
mengucap salam.
“Kopi item pahit, kayak
biasa, Mbah.” Pak Sarpin langsung memesan tanpa basa-basi.
“Mendhoan?” Mbah Agung
menawarkan masterpiece-nya.
“Kalau itu tidak usah
ditanya sih, Mbah.”
Mendhoan yang dari tadi
digoreng Mbah Agung sudah matang, begitu juga air yang ia rebus juga sudah
mendidih. Perlahan dan hati-hati Mbah Agung menyiapkan pesanan pelanggannya.
Menyeduh kopi, dan menyajikan mendhoan ke atas piring. Di usia senjanya, ia
masih bisa melakukan ini dan itu dengan baik.
“Sekar kuliahnya lancar, Mbah?” Pak Sarpin bertanya
lagi, basa-basi.
“Alhamdulillah, Pin, yang penting banyak do’a.”
Pak Sarpin melihat sekantong
kresek di depannya. “Apa ini, Mbah?” Ia merogoh isinya penasaran.
“Salak itu, barusan
dikasih Inem.” Mbah Agung berjalan menuju meja, kopi item pahit di tangan
kanannya, sepiring mendhoan di tangan kirinya.
“Apa, Mbah, salah?” Pak
Sarpin meledek.
“Salak…,” timpal Mbah
Agung. Ekspresinya menyiratkan ‘apaan sih, garing tahu’.
“Owalah, salak.”
Pemilik warung menaruh
pesanan pelanggan setianya di meja. Postur Mbah Agung sedikit membungkuk,
urat-uratnya kelihatan, bukan karena kekar, tapi karena kurus kering. Badannya menuntutnya
untuk bekerja pelan-pelan sekali.
“Kalau mau, dimakan aja
salaknya, Pin.”
“Ndak bayar berarti?”
Mbah Agung ikut duduk
di hadapan Pak Sarpin. “Ndak usah, orang itu dikasih Inem.”
“Tadi ada kecelakaan
lo, Mbah.” Pak Sarpin memulai obrolan. Raut wajahnya santai tidak seserius
kabarnya.
“Kecelakaan? Di mana?” Suara
kencang terdengar. Bukan Mbah Agung yang bertanya, bukan Bi Inem. Adalah Sronto
yang entah dari mana, entah kapan datangnya, tahu-tahu sudah ada di pintu
warung. Suaranya keras mengagetkan. Badannya tambun, kulitnya hitam. Untung
sudah terbiasa, coba kalau belum, bisa-bisa Mbah Agung mengira pemuda
pengangguran satu ini adalah genderuwo.
Mbah Agung menoleh. “Salam
dulu apa gimana, datang-datang mengagetkan kayak setan.”
“Assalamu’alaikum.” Sronto
masuk, dan langsung menimbrung. Tangan kanannya memegang barang antik, koran.
Tangan kirinya membawa sekantong buah. Wajah bulatnya terlihat sedikit
bersungut-sungut.
“Wa’alaikumussalam.”
Jawab keduanya.
“Langsung lanjut, Pak,
gimana kecelakaannya?” Sronto duduk, asal menaruh koran dan kantong platik yang
ia bawa.
“Di depan pasar tadi,
tapi cuma serempetan kecil sih, biasa ibu-ibu.” Mimik wajah Pak Sarpin masih
santai, mengisyaratkan kejadian yang dia ceritakan memang tidak parah.
“Terus bagaimana itu?”
Sronto langsung ikut mengalir dalam obrolan. Ia memposisikan badan jumbonya di
kursi warung. Melihat Pak Sarpin memakan salak dia langsung mengambil buah itu,
tanpa basa-basi sama sekali.
“Yaudah, untung tadi cepet ditolong sama berandalan
yang biasa di pasar itu,” Sarpin menambahkan. Ia menyeruput kopi, kemudian tangannya
meraih mendhoan hangat di depannya, tak luput cabe rawit hijau sebagai
pelengkap.
Mbah Agung mengangguk arif.
Sronto terkejut. “Yang nolong mereka?” Sekarang tangan Sronto meraih lembaran mendhoan. “Bisa begitu ya?” Selembar mendhoan masuk ke mulut. Nyam nyam nyam.
“Iya,” jawab Pak Sarpin
sambil memandangi tingkah Sronto.
“Anak-anak yang
tampilannya semrawutan itu?” Sronto memastikan.
“Iya.” Pak Sarpin
kembali menyeruput kopi item pahit miliknya.
Sadar belum ada
minuman, Sronto memesan, “Mbah, aku pesen kopi susu. Es kopi susu.”
Mbah Agung kembali ke
dapur menyiapkan es kopi susu untuk Sronto. Mengurusi gelas dengan bubuk kopi
dan susu saset. Perlahan tapi pasti. Seusai menyeduh, ia kembali ke meja.
Es kopi susu pesanan
Sronto ditaruk di atas meja. “Itu bawa apa di kresek, Sron?” Mbah Agung
menunjuk kresek yang Sronto bawa.
“Kedondong, mau buat
manisan di rumah.” Basa-basi sederhana.
“Beli di Yu Inem?” Pak
Sarpin mengisi obrolan.
“Iyalah, di mana lagi.”
Memang toko buah Bi Inem adalah yang terlengkap, buah apa saja ada. Tidak kenal
musim-musiman. Selalu komplit. Sronto tahu, pertanyaan Pak Sarpin hanya
basa-basi.
Lenggang sekian menit. Sronto
sibuk mencabik-cabik mendhoan hangat dengan giginya. Tidak lupa lombok
cengis – cabe rawit. Pak Sarpin kembali menyeruput kopinya. Mbah Agung kembali
sesaat menyeduh kopi untuk dirinya sendiri, bersiap untuk obrolan panjang.
Ketika ia kembali duduk, perbincangan sesungguhnya dimulai. Bertiga seperti
biasa. Seawal ini, belum ada pelanggan lainnya yang datang.
“Ada kabar terbaru apa,
Sron?” Mbah Agung mulai memantik perbincangan.
“Kabar?” Sronto yang masih sibuk mengunyah
mendhoan menoleh.
“Iya itu kamu bawa
koran. Jangan bilang cuma bawa tok tapi ora diwaca…”
“Oh, koran… Udah
kubaca, Mbah.” Raut wajahnya berubah kecut. Sronto menyeruput es kopi susu. “Soalnya
kenapa yah, kalau inget-inget berita itu, bawaannya emosi.”
“Ada kabar apa
emangnya?” Pak Sarpin menyahut.
“Banyak, tapi yang
paling heboh ya berita korupsi.” Sronto menunjukkan raut kecewanya.
“Berita korupsi lagi?” Pak
Sarpin menepuk dahinya lalu menggeleng. “Memang siapa yang korupsi?” tanyanya
penasaran.
Sronto membuka lembaran
korannya. Menunjukkan berita panas tersebut kepada Mbah Agung dan Pak Sarpin.
Terpajang di sana foto seorang laki-laki mengenakan baju oren. Keduanya
langsung mengenali sosok itu. Seorang petinggi negara.
“Padahal aku kira dia orang baik-baik, ternyata….”
Sronto mengungkapkan rasa kesalnya. “Padahal dia ini lulusan universitas
ternama, penampilannya baik, cara bicaranya baik, sering muncul di televisi, tapi
malah ndak punya hati nurani. Dasar koruptor, merugikan rakyat. Ini di sosmed
juga langsung rame. Viral ini.” Pemuda tambun itu memperlihatkan ponselnya.
Mbah Agung menyimak.
Mencerna informasi.
“Begitulah, Sron, citra
di luar ndak bisa secara pasti menggambarkan isi hati seseorang.” Pak Sarpin
menanggapi. Tangannya mengambil mendhoan keduanya.
“Setuju, Pak, apalagi
zaman sekarang, di media sosial aku ini sering lihat akun teman-temanku. Banyak
yang kelihatannya keren, baik, pintar, tapi kenyataannya mah ndak kayak gitu.” Slurp,
Sronto menyeruput minumannya. “Aku risih banget rasanya.”
“Berarti harusnya bagaimana?” Mbah Agung bersuara
juga. Tangannya meraih salak, jemarinya meraba kulit salak yang kasar. Bukan
sembarang pertanyaan.
“Kalau aku sih yang penting isi hatinya, Mbah, ndak
penting tampilan luarnya.”
Pak Sarpin memetikkan jari. “Setuju.”
“Nah, iya kan, Mbah?” Sronto terlihat yakin sekali.
“Begitu ya?” Mbah Agung memancing.
“Iya, mending seperti gelandangan pasar itu, yang
tampilannya ndak karuan, tapi mau membantu orang lain. Bukan malah membuat
susah orang lain, kayak koruptor. Yang penting isi hatinya. Iya kan, Mbah?”
Sronto berapi-api.
“Tapi citra kita juga tetap harus dijaga, tidak boleh
asal-asalan juga.”
“Loh, Mbah, tapi apa gunanya? Di luar baik di dalamnya
buruk.” Sronto tidak setuju.
“Terus seharusnya gimana?”
“Seharusnya ya ndak usah sibuk-sibuk memperbaiki
tampilan, kalau hatinya aja ndak semulus penampilannya.” Pengangguran satu ini
menyampaikan pendapatnya layaknya akademisi. Gesturnya terlihat mantap.
“Setuju.” Pak Sarpin memetikkan jarinya. Lagi.
“Sebentar.” Mbah Agung menyeruput kopinya. Lalu
tiba-tiba keluar warung.
Sronto dan Pak Sarpin mendongak. Dilihat dari arahnya
ia menuju ke toko buah Yu Inem. Dekat, jadi hanya sebentar. Sekembalinya ke
warung kakek itu terlihat membawa sesuatu. Langkah pelan ia titi sampai duduk
kembali.
“Habis
ngapain, Mbah?” Sronto penasaran.
Mbah Agung meminta satu
buah kedondong milik Sronto, mengeluarkan satu buah salak di depan Pak Sarpin, lalu
meletakkan buah duku ke atas meja. Salak, kedondong, dan duku ada di atas meja
sekarang.
“Coba kamu elus kulit kedondong itu,” pinta Mbah Agung
kepada Sronto.
“Kenapa,
Mbah?” Sronto melakukan apa yang diminta ‘filsuf’ ini. “Ya… halus.”
“Terus
dalamnya mulus juga, atau bagaimana?”
“Ya…
Berduri.”
“Coba
kamu, Pin, kalau salak gimana?” Sekarang pertanyaan ditujukan ke Pak Sarpin.
“Salak
ya kebalikannya.”
Mbah Agung memperbaiki
posisi duduknya. Ia gunakan buah-buah itu sebagai media untuk menjelaskan
pendapatnya. Kalimat-kalimatnya tenang menghanyutkan. “Kedondong ini seperti
koruptor tadi, luarnya mulus, tapi dalamnya berduri. Sedangkan salak ini
layaknya gelandangan pasar yang luarnya berduri, meski isi dalamnya mulus.”
“Ya masih sama, Mbah, mendingan
salak dong.” Sronto masih tangguh dengan argumennya. Slurp kembali ia
sruput es kopi susunya.
“Bisa jadi benar. Tapi,
yang kamu sebut itu seakan-akan tidak ada pilihan lain saja.” Intonasi pemilik
warung ini mampu menguasai audiensnya. Sronto dan Pak Sarpin tenggelam dalam
kalimat-kalimat Mbah Agung. “Jangan hanya karena kecewa akan sesuatu lantas
kita membanting stir, menolak semua nilai yang ada pada sesuatu atau seseorang
yang mengecewakan kita tadi.”
“Berarti…?” Sronto masih berusaha keras menangkap
pikiran Mbah Agung.
“Kalau bisa baik luar
dan dalam kenapa tidak? Kenapa harus mengorbankan satu sisi untuk menjadi
buruk?”
Pak Sarpin mengangguk-angguk. Sronto mengelus-elus
dagunya, mulai mengerti.
“Bisa sih, Mbah, tapi…” Pak Sarpin berusaha ikut dalam
pikiran Mbah Agung.
“Jadilah seperti buah duku, sisi luarnya mulus, pun
dalamnya.” Mbah Agung mengangkat buah duku yang ada di depannya. “Jadilah orang
yang selalu berusaha untuk menjadi baik, citra luarnya di pandangan manusia,
juga baik dalam hatinya di mata Tuhan. Tidak harus jadi orang besar, tidak
harus terkenal. Walau kecil seperti buah duku ini.” Mbah Agung menyandingkan
ketiga buah itu.
“Walau kecil nggih, Mbah?”
Mbah Agung mengangguk mantap. “Walau kecil.”
Dondong opo salak? Duku cilik-cilik.
0 Komentar