Oleh: Aprilya
“Ini adalah suatu hal yang aku pelajari: bahwa bercerita atau berjuang untuk diri sendiri tidak akan pernah ada habisnya. Pantas manusia tidak pernah merasa puas.”
Sekarang menunjukkan pukul 2 malam,
waktu-waktu seperti ini whatsapp memasuki pencadangannya, lain hal
dengan otak yang masuk waktu overthinking-nya. Memang diciptakan
sendiri, tapi dia alami sehingga tidak ada yang mampu melerai. Kantuk saja
tidak berani, apalagi kamu.
Di tengah terangnya cahaya bulan ditemani
ingar-bingar klakson kendaraan, aku mulai mencari apa yang tidak aku ketahui,
aku menjawab yang bukan pertanyaan, aku bertanya apa yang telah kulakukan dan
apa yang belum kutuntaskan. Dalam alas empuk penguasa raga, aku membayangkan
hal yang sudah atau belum seharusnya, aku mengutuk diri yang kadang belum bisa
apa-apa.
Aku, aku,
aku, dan aku lainnya, sudah sampai mana dan akan sampai mana. Tidak ada
habisnya.
Iya, ini aku, April, gadis 20 tahun yang
sedang berjuang di negeri orang dengan segala riuh di kepalanya. Malam ini
sepertinya kepalaku mulai berisik lagi, banyak hal yang sedang aku resahkan,
hingga suara dering telepon memecahkan lamunanku, ternyata ibuku menelepon.
Sepertinya benar kata orang kalau ibu punya telepati terhadap anaknya.
Ibu mulai membuka obrolan, sekedar menanyakan
kabar dan keadaanku di sini serta hal-hal lainya. Sampai akhirnya aku pun
bercerita tentang sosok-sosok hebat seusiaku di luaran sana, entah teman
sekolahku ataupun orang yang kulihat di media sosial.
Aku pun merasa dihidupkan kembali setelah berani
bertanya pada ibu, “Aku bisa menjadi seperti mereka kan, Bu?”
Ibu
hanya mengiyakan pertanyaan singkatku itu, tidak ada yang paham betul makna
yang dititipkan. Aku kembali mengeluhkan
banyak hal kepada ibu, tentang ini dan itu, sampai akhirnya nada bicara
ibu mulai serius, aku hafal betul tarikan nafas ibu saat ingin menyampaikan
petuah-petuahnya.
Ibu pun berkata, “Nak, saat kamu sedang merasa
tidak memiliki apa-apa, coba lihat sekali lagi apa yang sedang kamu rasakan itu
kurang! Masih kurangkah dari yang orang lain punya dan rasakan? Jika belum
terasa, coba lihat sekali lagi!” Suara dari belahan benua lain itu membuatku
tertegun sejenak, ibu melanjutkan, “Nak, jika kamu masih bisa melakukan sesuatu
dengan apa yang kamu miliki sekarang, itu seharusnya sudah membuatmu bersyukur.
Kamu tahu kan, masih banyak orang di luar sana yang mengharapkan sesuatu itu meski
sedikit saja. Sedang kamu, untuk sesuatu yang seharusnya disyukuri kamu sudah
merasa bahwa itu kekurangan.”
Aku termangu memegang telepon genggamku,
berusaha mencerna semua kata.
“Sehat selalu anakku.” Suara telpon itu
berakhir bersama angin yang berdebar.
Begitulah ibu, penuh dengan petuah-petuah
hebatnya, dia juga gemar memberikanku cerita berharga. Pantas saja dia pernah
bilang bahwa yang tak boleh sia-sia dari kita adalah usia. Terlebih lagi di
masa muda. Masa itulah kita menanam banyak kisah yang nantinya akan
diceritakan.
Masa muda adalah masa tertinggi merasakan
segalanya. Transformasi dari masa kanak-kanak hingga dewasa adalah hal yang
berbobot dalam hidup. Katanya. Bukan beban, tapi lebih ke tanggung jawab
seakan semua ada di pundak bahkan punggung. Katanya.
Kala itu aku merasa perkataan ibu terlalu
berlebihan. Namun, saat aku terduduk sendirian menghalusinasikan hidupku, aku
membenarkan semua ujaran ibu. Ternyata ibu benar.
Ibu pergi meninggalkan pundaknya, peluknya,
nasihatnya, satu yang tidak hilang dan tetap ada meski jarak terlalu garang ia
adalah Doa. Doa yang akan mengantarku pulang dan mencapai tujuan.
0 Komentar